The Urheka Project : Mimpi Dalam Mimpi

"All that we see, or seem, is but a dream within a dream." - Edgar Allan Poe, A Dream Within A Dream, 1846.

Wednesday, August 29, 2007

Indonesia yang Memble

INDONESIA YANG MEMBLE

badanmu memang besar, bongsor, tetapi loyo dan lunglai. kau tidak berotot, tidak punya gigi, tidak punya kuku, bahkan tidak punya batu. bagaimana kau akan berkelahi jika ada wargamu yang dipukuli dan digebuki oleh orang di kampung sebelah?

kau cuma bisa berteriakteriak, tetapi tak akan ada yang membantumu. kau perlu latihan beban supaya berotot, memanjangkan kuku agar bisa mencakar, dan pasang gigi plus taring untuk menggigit preman kampung sebelah.

dan kau perlu menambah anggaran belanjamu untuk membeli pesawat tempur, kapal perang, tank, peluru kendali, dan bom canggih, agar kau tidak selalu dilecehkan oleh kampungkampung sebelah, bahkan kampung yang cuma sepetak itu di halaman depan.

tak akan ada yang membelamu kecuali kau belajar menggertak. hubungan baik dengan tetangga tanpa disertai otot, gigi dan kuku hanya akan membuat kau selalu dipermainkan dan ditertawakan mereka.

(aku pun mentertawakanmu hahaha…)

Jakarta, 30 Agustus 2007

Urip Herdiman K.

Monday, August 27, 2007

Segera Terbit : Antologi Puisi "Karna, Ksatria di Jalan Panah"

Segera Terbit :

Antologi Puisi
“KARNA, KSATRIA DI JALAN PANAH”

“Indra mencoba memberikan kembali apa yang telah diterimanya,
tetapi Karna menolaknya
“Aku tak pernah menarik katakataku.
Aku tak pernah meminta kembali apa yang telah kuberikan.””

(Mencuri Kesaktian Karna)


Siapakah Karna? Apa hubungannya dengan Pandawa (Yudhistira, Bhima, Arjuna, Nakula dan Sadewa)? Bagaimana situasi batinnya menghadapi perang Bharatayudha? Adakah pilihan lain untuknya? Konspirasi apa untuk menghancurkan Karna?

Terinspirasikan oleh kisah-kisah Mahabharata. Mengangkat salah satu karakter yang paling kontroversial. Karna, seorang adipati dari Negeri Angga. Mengisahkan kehidupan Karna, dari lahir hingga kematiannya dalam perang Bharatayudha.

“Ibu, aku adalah ksatria yang hidup di jalan panah.
Busur selalu melepaskan anakanak panah,
dan tidak dapat ditarik kembali.
Demikianlah mulut kita,
ia adalah busur yang melepaskan katakata sebagai anak panah
yang tak dapat ditarik kembali.”

(Ksatria di Jalan Panah)

Kisah kehidupan Karna menginspirasikan banyak seniman. Kanjeng Gusti Pangeran Ario Adipati Mangkunegaran IV menulis tembang Tripama untuk melukiskan gugurnya Karna, sebagai gugur yang utama. Teladan untuk para ksatria. Di Solo, kisah Karna diangkat sebagai drama tari di mana Karna diinterpretasikan sebagai seorang ksatria di jalan pedang. Di internet, ditemukan artikel percakapan Karna dan Kunti yang ditulis oleh Rabindranath Tagore.

“Dan setelah perang ini selesai,
anakmu tidak akan berkurang.
Tetap lima, apapun yang terjadi,
apakah aku yang gugur, atau Arjuna yang gugur.”

(Ksatria di Jalan Panah)

Antologi puisi yang digarap dengan pendekatan concept anthology, mengadaptasi istilah concept album, seperti dalam penggarapan album-album musik rock progressive. Puitis, melayang-layang, menghentak, kasar, menyentuh, mencekam, tetapi juga menggairahkan.

Menghadirkan 23 puisi epik, terdiri 15 puisi Sajak-sajak Karna I - XV, plus 8 puisi dari berbagai fragmen Mahabharata lainnya.

“Karna menatap mata Arjuna
sekali lagi, ia mencoba mengingat mantra Brahmastra
dan siap melepaskan anak panah
tetapi peluh keringat menutupi pandangannya
sesaat ia mengerjapkan mata
kemudian yang dilihatnya adalah Pasopati,
anak panah sakti milik Arjuna
datang lebih cepat
dan menembus batang lehernya

“Crash!!!””

(Karna Tanding)

Diterbitkan oleh Cakrawala Publishing, Jakarta. Akan terbit sekitar Oktober 2007 (setelah Idul Fitri 2007). Launching direncanakan (awal) November 2007.

Penerbitan ini terselenggara berkat bantuan sahabat-sahabat meditasi dari Perkumpulan Meditasi Bali Usada. Semoga semua hidup berbahagia. *** (Urip Herdiman K., 0815 – 9042515, http://theurhekaproject.blogspot.com )


DAFTAR ISI

Terima Kasih
Kata Pembuka : Panah Menjamah Raga, Kata Meraih Jiwa
Oleh : Wayan Sunarta

1. Dewabrata Bersumpah Selibat
2. Mantra Inseminasi Durwasa (Sajak-sajak Karna I)
3. Kunti Membuang Karna (Sajak-sajak Karna II)
4. Orgasme yang Dikutuk
5. Belajar Memanah
6. Karna, Anak Sais Kereta (Sajak-sajak Karna III)
7. Karna Mengguncang Hastina (Sajak-sajak Karna IV)
8. Karna Tak Mengerti (Sajak-sajak Karna V)
9. Kutukan Parasurama (Sajak-sajak Karna VI)
10. Main Dadu
11. Krishna Membujuk Karna (Sajak-sajak Karna VII)
12. Krishna yang Licin
13. Salya yang Bermuka Dua
14. Mimpi Karna (Sajak-sajak Karna VIII)
15. Mencuri Kesaktian Karna (Sajak-sajak Karna IX)
16. Ksatria di Jalan Panah (Sajak-sajak Karna X)
17. Karna Menolak Bhisma (Sajak-sajak Karna XI)
18. Karna Meminta Maaf (Sajak-sajak Karna XII)
19. Tombak Indra Membunuh Gatotkaca (Sajak-sajak Karna XIII)
20. Malam Terakhir (Sajak-sajak Karna XIV)
21. Karna Tanding (Sajak-sajak Karna XV)
22. Setelah Perang
23. Kunti, Kekasih Para Dewa

Kata Penutup : Karena Karna
Oleh : Totok AB Wibisono

Catatan Penyair
Biografi

Tuesday, August 21, 2007

Filsafat

FILSAFAT

pikiran yang mengembara
di daerah perbatasan, menjawab keraguan
menggeser cakrawala

Bedahan 14 - 20 Agustus 2007

Urip Herdiman K.

Wednesday, August 15, 2007

Bukan Kota Imajiner (?) - Kota Labirin Mimpi

BUKAN KOTA IMAJINER (?) –
Kota Labirin Mimpi

: Italo Calvino

Kota ini dimulai dari hanya sebuah bandar kecil di muara sungai, lebih dari seribu tahun yang lalu. Sunda Kelapa, bandar kecil yang dikepung pohon kelapa, dibawah kerajaan Taruma., dengan rajanya yang katanya bijak, Purnawarman. Sang Raja yang berpandangan jauh ke depan, sadar bahwa daerah ini daerah banjir. Karenanya tahun 400 Masehi, ia sudah membangun saluransaluran air untuk mengendalikan banjir. Ia pun meninggalkan jejak kakinya pada sebuah batu, untuk anak cucunya, bahwa ia pernah ada, bukan sekadar dongeng, legenda atau mitos.

Kemudian datanglah orangorang kulit putih. Lalu bandar kecil ini menjelma sebagai benteng kecil, Batavia. Hanya orang kulit putih yang boleh tinggal di kota benteng ini, sementara kulit coklat, kulit kuning apalagi kulit hitam, tinggal bersama monyet, lutung dan macan di luar benteng. Auuummm….!!!

Di luar benteng, di kawasan Batavia en Ommelanden, mereka berkuasa di atas tanahtanah perdikan, melahirkan banyak cerita tentang pendekar dan jawara yang selalu membela rakyat. Ingat saja filmfilm tentang Jampang dan Pitung.

Melalui perjalanan panjang sekian ratus tahun, kota benteng ini bermetamorfosis menjadi sebuah kampung besar. Ia tidak berjalan apalagi berlari, tetapi ia merayap, untuk melabarkan wilayahnya. Tangantangannya menjangkau ke sudutsudut terjauh di pinggiran kota, meraih apa yang bisa dipegangnya, lalu menelannya menahmentah.

Ini adalah kota besar yang metropolis. Hutan beton menggantikan hutan belantara, menggusur puluhan kebun seperti kebon nanas, kebon singkong, kebon jahe, kebon kacang, kebon jeruk, kebon melati, kebon pala, kebon manggis dan lainlain. Sementara superblok pun menggantikan kampungkampung, jalan aspal menggantikan jalan tanah di antara kerindangan pohon pisang. Tetapi kota metropolitan ini tidak kehilangan ciri khasnya yang norak, genit dan kampungan.

Namun persoalan utama kota ini masih tetap sama seperti 1600 tahun yang silam. Banjir! Banjir datang setiap tahun, setiap saat kapan pun ia suka. Tanpa pemberitahuan, tanpa menelepon terlebih dahulu. Tidak peduli siapapun yang jadi gubernur, meskipun jenderal bintang tiga. Akhirnya yang ada hanyalah bintang toedjoeh. Dan penduduk kota pun tidak pernah belajar membaca iklim dan cuaca. Mereka telah menjadi bebal dan bodoh, karena sibuk mencari makan dan uang sebanyakbanyaknya. Sampai ada yang tidak tahu mau ditaruh di mana uangnya, ia taruh uangnya itu di beberapa ember di kamar mandi.

Persoalan lainnyamenumpuk seperti kemacetan lalu lintas dan pedagang kaki lima. Itu hanyalah bonus untuk para gubernur. Ditambah premanisme dan centengisme di terminal, stasiun kereta api, pasar, dan setiap pojok kota. Mereka mengambil alih prinsip para pendekar,’ente jual, ane beli’ untuk membela yang membayar mereka dan memalak rakyat kecil. Tidak ada lagi nama pendekar, yang ada namanama seperti Johny Sembiring dan Hercules.

Kota ini berkembang ke atas, dan juga menyamping. Di beberapa kawasan, kota ini lebih mirip labirin yang suka membuat orang tersesat dan terjebak. Penuh dengan gang, lorong, jalan tikus dan jalan buntu. Hahaha…kuldesak!

Orangorang kulit putih masih suka datang untuk memotret dan melukis kota. Mereka menjelajahi bagianbagian kota untuk mencari sesuatu yang eksotis, seperti gramofone, plat piringan hitam, lampu gantung, setrikaan tua, pedang samurai lama ataupun buku bekas. Sementara penduduknya sudah tidak ambil pusing dengan siapa yang datang. Emang gue pikirin!

Kota ini adalah mimpi untuk semua pendatang. Mimpi untuk mendapatkan uang dan pekerjaan. Para pendatang bekerja keras membanting tulang dan memeras keringatnya, lalu membeli tanah dan membangun rumah di atasnya. Sementara penduduk asli menjual tanahnya, naik haji, dan sisanya untuk membeli motor agar anaknya bisa jadi tukang ojek. Syukur kalau juga bisa jadi sopir bajaj.

Ini Jakarta. Kota yang terbuka untuk siapa saja. Orang baik, orang alim, sarjana, petualang, penjahat, koruptor, tikus, bunglon, bajingan, preman, pelacur perempuan atau pelacur intelektual atau siapapun juga, termasuk penyair, ada di sini. Yang penting, punya nyali. Silakan datang untuk mewujudkan mimpimimpi yang paling musykil sekalipun.

Sawangan, 04/08/2007 – Jakarta, 15/08/2007

Urip Herdiman K.


Catatan :
Diinspirasikan dari novel Kota-kota Imajiner, karya Italo Calvino (1923 – 1985),
terbitan Fresh Book, Jakarta, 2006.

Monday, August 13, 2007

Telinga Kita Memang Beda

TELINGA KITA MEMANG BEDA

di sana,
di ruang kau berada
jam dindingnya bernyanyi,
“tik…tok…tik…tok…tik…tok…”

di sini,
di ruang aku berada
jam dindingnya bernyanyi,
“tok…tik…tok…tik…tok…tik…”

Sawangan, 04/08/2007

Urip Herdiman K.

Thursday, August 09, 2007

Aih, Kau (Ingin) Menciumku?

AIH, KAU (INGIN) MENCIUMKU?

: anastasia

Aih, kau (ingin) menciumku? Hohoho…

Kita belum pernah bertemu muka, walau aku sering mendengar suaramu dari seberang telepon. Aku merekonstruksi seperti apa bibirmu. Tipis ataukah tebal? Mungil ataukah lebar? Kering ataukah basah? Apa warna lisptikmu? Hmm…bagaimana rasanya?

Tibatiba aku ingin mencium bibirmu. Aih!

Sawangan, 10 Agustus 2007

Urip Herdiman K.

Wednesday, August 01, 2007

Penjual Ayat

PENJUAL AYAT

1/
di bibir mereka
mama-Mu hanya sekadar
lipstik

2/
di mulut mereka
nama-Mu tak lebih
obat kumur

3/
di lidah mereka
nama-Mu menjelma
pedang

4/
di mata mereka
yang hijau
rupiah berkibarkibar

Sawangan, 8 - 9 Januari 2007

Urip Herdiman K.