The Urheka Project : Mimpi Dalam Mimpi

"All that we see, or seem, is but a dream within a dream." - Edgar Allan Poe, A Dream Within A Dream, 1846.

Wednesday, August 15, 2007

Bukan Kota Imajiner (?) - Kota Labirin Mimpi

BUKAN KOTA IMAJINER (?) –
Kota Labirin Mimpi

: Italo Calvino

Kota ini dimulai dari hanya sebuah bandar kecil di muara sungai, lebih dari seribu tahun yang lalu. Sunda Kelapa, bandar kecil yang dikepung pohon kelapa, dibawah kerajaan Taruma., dengan rajanya yang katanya bijak, Purnawarman. Sang Raja yang berpandangan jauh ke depan, sadar bahwa daerah ini daerah banjir. Karenanya tahun 400 Masehi, ia sudah membangun saluransaluran air untuk mengendalikan banjir. Ia pun meninggalkan jejak kakinya pada sebuah batu, untuk anak cucunya, bahwa ia pernah ada, bukan sekadar dongeng, legenda atau mitos.

Kemudian datanglah orangorang kulit putih. Lalu bandar kecil ini menjelma sebagai benteng kecil, Batavia. Hanya orang kulit putih yang boleh tinggal di kota benteng ini, sementara kulit coklat, kulit kuning apalagi kulit hitam, tinggal bersama monyet, lutung dan macan di luar benteng. Auuummm….!!!

Di luar benteng, di kawasan Batavia en Ommelanden, mereka berkuasa di atas tanahtanah perdikan, melahirkan banyak cerita tentang pendekar dan jawara yang selalu membela rakyat. Ingat saja filmfilm tentang Jampang dan Pitung.

Melalui perjalanan panjang sekian ratus tahun, kota benteng ini bermetamorfosis menjadi sebuah kampung besar. Ia tidak berjalan apalagi berlari, tetapi ia merayap, untuk melabarkan wilayahnya. Tangantangannya menjangkau ke sudutsudut terjauh di pinggiran kota, meraih apa yang bisa dipegangnya, lalu menelannya menahmentah.

Ini adalah kota besar yang metropolis. Hutan beton menggantikan hutan belantara, menggusur puluhan kebun seperti kebon nanas, kebon singkong, kebon jahe, kebon kacang, kebon jeruk, kebon melati, kebon pala, kebon manggis dan lainlain. Sementara superblok pun menggantikan kampungkampung, jalan aspal menggantikan jalan tanah di antara kerindangan pohon pisang. Tetapi kota metropolitan ini tidak kehilangan ciri khasnya yang norak, genit dan kampungan.

Namun persoalan utama kota ini masih tetap sama seperti 1600 tahun yang silam. Banjir! Banjir datang setiap tahun, setiap saat kapan pun ia suka. Tanpa pemberitahuan, tanpa menelepon terlebih dahulu. Tidak peduli siapapun yang jadi gubernur, meskipun jenderal bintang tiga. Akhirnya yang ada hanyalah bintang toedjoeh. Dan penduduk kota pun tidak pernah belajar membaca iklim dan cuaca. Mereka telah menjadi bebal dan bodoh, karena sibuk mencari makan dan uang sebanyakbanyaknya. Sampai ada yang tidak tahu mau ditaruh di mana uangnya, ia taruh uangnya itu di beberapa ember di kamar mandi.

Persoalan lainnyamenumpuk seperti kemacetan lalu lintas dan pedagang kaki lima. Itu hanyalah bonus untuk para gubernur. Ditambah premanisme dan centengisme di terminal, stasiun kereta api, pasar, dan setiap pojok kota. Mereka mengambil alih prinsip para pendekar,’ente jual, ane beli’ untuk membela yang membayar mereka dan memalak rakyat kecil. Tidak ada lagi nama pendekar, yang ada namanama seperti Johny Sembiring dan Hercules.

Kota ini berkembang ke atas, dan juga menyamping. Di beberapa kawasan, kota ini lebih mirip labirin yang suka membuat orang tersesat dan terjebak. Penuh dengan gang, lorong, jalan tikus dan jalan buntu. Hahaha…kuldesak!

Orangorang kulit putih masih suka datang untuk memotret dan melukis kota. Mereka menjelajahi bagianbagian kota untuk mencari sesuatu yang eksotis, seperti gramofone, plat piringan hitam, lampu gantung, setrikaan tua, pedang samurai lama ataupun buku bekas. Sementara penduduknya sudah tidak ambil pusing dengan siapa yang datang. Emang gue pikirin!

Kota ini adalah mimpi untuk semua pendatang. Mimpi untuk mendapatkan uang dan pekerjaan. Para pendatang bekerja keras membanting tulang dan memeras keringatnya, lalu membeli tanah dan membangun rumah di atasnya. Sementara penduduk asli menjual tanahnya, naik haji, dan sisanya untuk membeli motor agar anaknya bisa jadi tukang ojek. Syukur kalau juga bisa jadi sopir bajaj.

Ini Jakarta. Kota yang terbuka untuk siapa saja. Orang baik, orang alim, sarjana, petualang, penjahat, koruptor, tikus, bunglon, bajingan, preman, pelacur perempuan atau pelacur intelektual atau siapapun juga, termasuk penyair, ada di sini. Yang penting, punya nyali. Silakan datang untuk mewujudkan mimpimimpi yang paling musykil sekalipun.

Sawangan, 04/08/2007 – Jakarta, 15/08/2007

Urip Herdiman K.


Catatan :
Diinspirasikan dari novel Kota-kota Imajiner, karya Italo Calvino (1923 – 1985),
terbitan Fresh Book, Jakarta, 2006.

1 Comments:

Blogger savic said...

tulisannya oke brur...

8:41 PM  

Post a Comment

<< Home