Dangdut Elpiji dan Nasi Uduk Kayu Bakar
DANGDUT ELPIJI DAN NASI UDUK KAYU BAKAR
Pemerintah yang tolol punya rencana, Pertamina keluar uang, dan aku harus mandi keringat. Huh!
Orang nomor dua pergi ke China setahun yang lalu, dan ia terkejut, melihat mereka sudah memakai gas untuk kebutuhan ruumah tangganya. Gasnya datang dari berbagai penjuru dunia, dan Indonesia salah satunya. “Lho, kok, kenapa kita tidak memakai gas juga, untuk menggantikan minyak tanah?“ begitu pikir wakil presiden.”Lehih hemat, lebih murah, ramah lingkungan dan meringankan a-pe-be-en.”
Ide yang bagus, seperti ilham yang jatuh dari langit. Dan menjadi sabda sang pandito ratu. Harus segera dilaksanakan. Tanpa perencanaan yang matang, tanpa komunikasi publik. Tiba-tiba palu diketokkan. “Tok!”
“Apa? Minta SMS? Aduh, panas-panas begini minta SMS. Sudah habis pulsanya, bo!”
kata si penyanyi dengan kenes, mengedipkan matanya yang lentik.
“Tetapi gak papa, saya sudah dibayar, kok, untuk nyanyi di sini.”
“Bang, SMS siapa ini, bang?
Pesannya kok pake sayang-sayang
Bang nampaknya dari pacar abang
Bang hati ini mulai tak tenang…”
lantun si penyanyi di atas panggung menggoyang pinggulnya.
Pertamina yang dianggap kaya raya diajak, disuruh bikin tabung elpiji tiga kilo warna hijau lumut berikut kompor, tanpa standarisasi. Pemerintah ongkang-ongkang kaki, dan yang lain cuci tangan, buang muka. Jadilah Pertamina pun menuai caci maki, kutukan, protes dan demo di seluruh negeri.
Pertamina menggelar panggung-panggung dangdut di mana-mana untuk sosialisasi konversi minyak tanah ke elpiji. Penyanyinya bergoyang mengajak masyarakat untuk berdangdut di depan kompor gas elpiji. Melupakan derita gagap teknologi, malu bilang tidak punya duit.
Sementara aku menatap cewek-cewek panitia yang cantik, molek, sintal dan kinyis-kinyis. “Kembang-kembang desa yang sedang ranum, “gumamku dari tepi lapangan yang berdebu, menelan ludah. Glek!
“Kelakuan si kucing garong
Ora kena ndeleng sing mlesnong
Main sikat main embat
Apa sing liwat…”
si penyanyi menggoda dengan goyangannya.
Setiap pagi, di stasiun kereta Depok Lama, aku duduk di warung nasi uduk yang dibungkus daun pisang. Sarapan pagi bersama orang-orang yang, katanya, sudah menikah. Lho, apa hubungannya? Ya, mereka menikah, tetapi berangkat dari rumah dengan perut lapar, tanpa sempat minum kopi dan sarapan pagi. Buat apa mereka menikah? Huh!
“Duh, kayu bakar sekarang susah banget nih,”
kata ibu pedagang nasi uduk.
“Hareee gini masih pakai kayu bakar?”
tanyaku kaget.
“Iya, pak. Saya gak pernah pakai minyak tanah, apalagi elpiji. Mahal!”
jawab si mpok orang Betawi Depok itu.
“Saya mah pakai kayu bakar biar masakan saya enak.
Orang-orang bilang, nasi uduk saya wangi. Benar, ya, pak?”
Peluit kereta datang berbunyi. Aku membayar nasi uduk.
“O oo…kamu ketahuan
Pacaran lagi
Dengan dirinya
Teman baikku…”
Yang ini dari pedagang di emperan stasiun. Murah meriah dengan sound system yang memecahkan gendang telinga. Orang-orang bergoyang di dalam kereta. Aku menatap betis yang indah, dan membaui wangi shampoo dari rambut perempuan yang masih basah.
“O oo aku ketahuan
Pacaran lagi
Dengan dirinya
Teman baikmu…”
Jakarta, 4 September 2007
Urip Herdiman K.
2 Comments:
huwahahahah...
cukup menggelitik. ugh.. om urip mang asik!
gak kenal umur.. mo protes protes aja. pake' cara begini bikin seger. sayangnya para petinggi kayaknya gaptek jadi gak kenal ama yang namanya blog/milist dll.
padahal gak semua argumen semacam ini tertampung di media.
he..he..he..
gimana om.. ada buku baru gak??
klo ada, aku dikirim ya.
huwahahaha ngarep*
kapan ya bisa bertemu lagi..?
duh kangen bisa ketemu dan mendengarkan segala ocehan ocehan bapak bapak tua.
gpp deh, biarpun aku jadi kambing congek.
maaf om jadi kepanjangan komentnya.
qzz0705
salomon shoes
furla handbags
polo ralph lauren
swarovski outlet
michael kors outlet
cheap jordans
pandora charms
oakley sunglasses
coach handbags
off white
Post a Comment
<< Home