The Urheka Project : Mimpi Dalam Mimpi

"All that we see, or seem, is but a dream within a dream." - Edgar Allan Poe, A Dream Within A Dream, 1846.

Thursday, September 06, 2007

Negara dan Premanisme Negara

NEGARA DAN PREMANISME NEGARA

: Indra Setiawan

Negara? Apa yang kita ketahui tentang negara? Kau mungkin akan menjawab suatu kesatuan geografis yang ada rakyatnya, pemerintahannya dan ada pengakuan dari negara lain.

Ah, ini jawaban yang aku dan kau dapatkan di bangku sekolah, saat aku masih punya rambut tebal sehingga bisa bikin jambul, dan saat rambutmu masih dikepang dua. Bahagianya masa sekolah. Di mana kau sekarang?

Negara adalah suatu makhluk yang selalu memungut pajak darimu setiap tahun, pajak penghasilan, pajak bumi dan bangunan, setiap kau berbelanja apapun dan di mana pun juga. Negara memang sedikit mirip dengan tukang palak.

Tetapi setelah itu, apa yang kau dapatkan? Kesejahteraan? Keamanan?

Kita berurusan dengan negara saat mengurus ka-te-pe, saat melaporkan kehilangan ayam tetapi malah menjadi tertuduh, saat berurusan dengan jaksa dan hakim, saat kehabisan uang karena mengurus anakanak yang mau sekolah, saat mau mengantarkan rawat inap keluargamu tetapi ditolak karena kau tidak mampu membayar uang muka untuk sepuluh hari, saat rumahmu digusur aparat pemerintah karena akan ada pembangunan jalan tol.

Negara juga selalu menyesuaikan harga dan tarif untuk kepentingan pemilik modal, dan mengorbankan kepentingan masyarakat yang lebih luas. Semuanya naik, tidak ada yang turun.

Ah, negara tidak lebih dari tukang peras dan tukang gusur. Melelahkan sekali berurusan dengan negara. Membuang waktu, membuang energi dan kehabisan uang.

Hanya itu?

Ada lagi. Aku ke Jogja bulan Maret lalu, dan yang kutemukan di terminal adalah preman dan petugas berseragam. Tidak ada bedanya. Mereka hanya memeras habis penumpang yang terjebak dalam kebingungan. Tiba di Pulogadung lewat tengah malam, tak kulihat ada petugas. Yang ada hanyalah preman dan orangorang yang hidup di jalanan.

Lihatlah tempattempat seperti stasiun kereta, terminal bus, perempatan lampu merah, dan pasarpasar. Anakanak kecil dan orang dewasa berkeliaran, mengemis, mengamen dan menodong. Beberapa dari mereka mengaisngais sisa makanan. Ada juga yang mencari tempat untuk melampiaskan birahinya.

Rumah mereka adalah langit terbuka, baik malam maupun siang hari, dalam hujan dan panas terik. Mengerikan sekaligus menyedihkan.

Masihkah kita memerlukan negara, yang selalu abai terhadap anakanaknya? Masihkah kita memerlukan negara yang ikut tidur bersamaan dengan pulangnya para pegawai dan petugas usai jam kantor? Ataukah negara memang selalu tidur ?

Ah, tibatiba aku teringat seorang temanku yang menulis tentang masyarakat Samin. Apa kabarmu? Masihkah kau membuat filmfilm protes yang selalu mengkritik negara? Di matamu, negara adalah preman. Dan sekarang, aku pun berpikir demikian.

Jakarta, 7 September 2007

Urip Herdiman K.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home