The Urheka Project : Mimpi Dalam Mimpi

"All that we see, or seem, is but a dream within a dream." - Edgar Allan Poe, A Dream Within A Dream, 1846.

Monday, November 19, 2007

{Diskusi 2 Pekan Apsas} Concept Anthology (4 - Terakhir)

Concept Anthology :
Alternatif Dalam Penggarapan Kumpulan Puisi

(Bagian 4 - Terakhir)


Sebuah Alternatif yang Menarik

Ketika tahun 2005 saya menyusun antologi puisi saya pribadi, Meditasi Sepanjang Zaman di Borobudur, saya masih berpikir menyusun antologi itu sebagai antologi puisi konvensional, namun saya menempatkan tiga puisi Meditasi Panjang di Borobudur 1 – 3 dan Borobudur sebagai kerangka utamanya. Dan kemudian seorang teman melihat ada tema yang lebih besar dalam buku itu yang ia lihat, yaitu tema penjelajahan spiritual dan hubungan dengan Tuhan, yang tercermin dalam puisi-puisi Poison Arrows, Nyanyian Peziarah, Chiffer, Transendensi yang Bersembunyi, Impian Abdi dan Aku Makhluk Cahaya. Hal ini mengingatkan ia pada model kerja para musisi rock yang menghasilkan album-album konsep. Ia melihat bahwa puisi-puisi saya ditulis itu bukan berdasarkan ilham, tetapi memang sengaja di-design setelah membaca sebuah buku atau mendengarkan lagu.

Mungkin ia benar, walau saya tidak terlalu berani membenarkan sepenuhnya. Jadi saya hanya berani menyebutnya – setengah bercanda - antologi pertama saya itu sebagai semi concept anthology.

Ketika saya menggarap antologi kedua, Karna, Ksatria di Jalan Panah, semula saya pun ragu apakah ini bisa disebut antologi konsep. Tetapi setelah seluruh teks selesai, antologi yang memua Sajak-sajak Karna I – XV plus delapan fragmen lain dari Mahabharata ini, saya baru berani mengatakan bahwa ini adalah antologi konsep.

Tentu ada persoalan yang muncul. Seberapa banyak puisi yang bisa ditampung dalam antologi konsep ini? Jika di dalam musik, rekaman album rata-rata berdurasi sekitar 40 sampai 60 menit. Para pemusik bebas melakukan eksplorasi atas segala kemampuan musical mereka. Tidak heran, lagu Close to The Edge milik Yes dari album yang berjudul sama bisa mencapai sekitar 23 menit. Jethro Tull juga menghasilkan album Thick as A Brick yang lagu-lagunya sangat panjang.

Nah, bagaimana dengan antologi konsep?

Saya pikir tidak ada keharusan dalam antologi konsep puisi-puisinya harus berpanjang-panjang, walau saya melakukannya di dalam antologi Karna, dengan menulis dua puisi yang panjang, yaitu Ksatria di Jalan Panah dan Karna Tanding.

Namun saya menulis di bagian akhir dari buku Karna, tentang concept anthology sebagai “…mengusung suatu tema besar yang didukung beberapa puisi, atau sebanyak-banyaknya puisi. Dengan kata lain, puisi-puisi tersebut dirancang untuk mendukung tema, dan terkait satu sama lainnya.”

Jika suatu antologi puisi seratus persen berisikan puisi dengan tema yang sama, dari awal sampai akhir, mungkin tepat disebut sebagai antologi konsep. Jika tidak mencapai seratus persen, namun separuhnya , hanya bisa disebut semi antologi konsep. Sekali lagi, ini hanya sebuah pemikiran saja.

Jadi tidak ada aturan yang baku berapa banyak puisi yang harus ditulis untuk bisa disebut antologi konsep, kecuali sebanyak-banyaknya.

Secara pribadi, saya pikir, antologi konsep bisa menjadi jalan keluar untuk men-trigger penyair menulis puisi dan menerbitkannya sebagai suatu buku, diluar antologi yang konvensional, yang membutuhkan waktu lebih panjang untuk mengumpulkannya. Dalam antologi konsep, seorang penyair bisa menulis secara tuntas dengan mengeksplorasi tema yang ditentukannya dari berbagai sudut dengan berbagai pendekatan.

Antologi konsep hanyalah salah satu alternatif dalam menggarap sebuah antologi puisi, bukan satu-satunya. Tidak tertutup kemungkinan ada cara lain dalam menggarap antologi puisi seorang penyair. Tetapi saya yakin, cara ini sangat menarik. Dengan memikirkan sebuah tema untuk antologi, kita (baca : penyair) ditantang untuk terus gelisah, menggalinya lebih dalam dan menuliskannya hingga tuntas.

Salam. Semoga semua hidup berbahagia. *** (Jakarta, November 2007/UHK)

0 Comments:

Post a Comment

<< Home