Panah Tidak Dibuatnya, Kepaklah yang Dikibaskannya
Panah Tidak Dibuatnya, Kepaklah yang Dikibaskannya
: UHK
Dulu kuanggap kupu-kupu adalah kakekku. Maka perempuan kecil itu berseru,"kakek datang, kakek datang". Digiringnya kupu-kupu itu perlahan dengan sapu agar dapat masuk ke dalam kamar tidurnya. Berharap akan ada belaian lembut dari kakek yang tidak pernah dikenal sepanjang hidupnya.
Lucunya. Perempuan kecil itu sering kali bermimpi terbang dan melayang-layang di udara. Hingga juga begini dewasa. Tidak ada sayap, tidak ada juga kepak selayaknya seekor kupu-kupu. Tapi perempuan kecil itu bisa menari-nari di angkasa.
”Apakah kepak sayap kupu-kupu kecil di hutan belantara Brazil akan menghasilkan angin tornado di Texas?”
"Aah, manalah tau!"
Tapi perempuan kecil itu percaya kalau kepak kupu-kupu dapat menggelitik isi perutmu. Apalagi ketika kau bertemu dengan yang cantik atau rupawan. Dia dapat mendesirkan angin halus-halus di dalam hatimu. Hingga menderu-deru tak menentu.
Perempuan kecil itu kini sudah menjadi dewasa. Tigapuluh usianya.
Ia bangunkan kepaknya sendiri. Diberikannya warna yang ia mau. Djingga bertabur bubuk cemerlang berwarna ungu. Disobek-sobekannya sedikit ujung kepaknya yang licin. Agar terlihatlah motif yang tergirai melambai-lambai hingga menyapu peluh.
Begitulah kepaknya dibuat. Hingga ia menjadi begitu cantik dan jelita. Yang demi membiarkan kepaknya terperangkap pada jaring-jaring kupu yang dibawa oleh tangan gadis-gadis lucu. Atau sengaja menaburkan abu kepaknya di lorong hati yang tak menentu. Lalu hinggap pada hati seorang tua yang selalu merindu. Aah, siapa yang tau.....
Tuan Ksatria Karna memang benar, panah tidak dibuatnya. Kepaklah yang dikibaskannya. Mana tau hati Tuan Karna dapat pula merindu, biarlah waktu yang akan memberitahu. Siapa kelak yang akan jatuh terpanah terlebih dahulu. Bukankah begitu, Tuanku?
Jakarta, 29 November 2007
Vera Ernawati
0 Comments:
Post a Comment
<< Home