The Urheka Project : Mimpi Dalam Mimpi

"All that we see, or seem, is but a dream within a dream." - Edgar Allan Poe, A Dream Within A Dream, 1846.

Wednesday, January 30, 2008

Membaca Ramalan

MEMBACA RAMALAN

Di awal tahun ini, atau setiap menjelang Imlek, selain membuat resolusi, apa yang menarik? Hahaha… Anda mungkin malu untuk mengakuinya. Melihat atau membaca ramalan diri Anda sendiri, yaitu nasib, karir, kesehatan dan percintaan serta hubungan pernikahan Anda. Anda mungkin mencari majalah atau tabloid yang memuat ramalan, bisanya astrologi ataupun kartu tarot dan feng shui yang semakin popular. Atau juga menunggu acara ramalan di televisi, yang umumnya lebih global.

Lepas dari apakah Anda percaya atau tidak percaya, bagaimana seharusnya membaca dan mensikapi sebuah ramalan?

Sebuah ramalan dibuat dengan suatu metode tertentu dan memerlukan persyaratan atau kondisi-kondisi tertentu untuk terlaksananya ramalan tersebut. Jika hal itu tidak ada atau tidak terpenuhi, maka ramalan itu tidak akan terjadi atau meleset. Juga perlu batasan waktu, misalnya enam bulan atau setahun. Lewat dari batas waktu itu, maka ramalan itu memang tidak terjadi.

Seseorang pergi ke ahli ramal, karena ia lebih ingin mendengar apa yang ia mau dengar, dan tidak ingin mendengar apa yang akan dikatakan sesungguhnya oleh si peramal. Pendeknya, ia hanya mau mendengar yang menyenangkan hatinya, dan tidak mau yang lain, yang mungkin lebih mendekati peramalan sebenarnya. Sehingga seringkali terjadi, ada informasi yang mungkin terlewatkan.

Banyak orang yang mengaku tidak percaya pada ramalan, namun diam-diam mengintip ramalan yang berserakan di media-media cetak. Dan kadang-kadang minta dibacakan secara pribadi ke ahlinya yang berpraktek. Tetapi ketika ramalan itu disampaikan, siapa yang akan tahu apakah ramalan itu diingat atau dilupakan oleh orang itu? Yang jelas, alam bawah sadarnya telah merekam ramalan terebut

Hal itu saya dapat dari pengalaman saya bermain dengan pendulum sebagai media peramalan saya. Dan untungnya saya tidak terlalu sukses sebagai peramal, mungkin karena saya terlalu jujur, tidak bisa tipu-tipu sedikit biar manis. Padahal meramalkan juga perlu seni mengelabui perasaaan orang yang diramalkan. Hahaha…

Ada satu kisah yang saya baca di Tabloid Detik periode pertama, sebelum dibredel oleh rezim Orde Baru, menceritakan pertemuan Ali Sadikin dengan Permadi. Ali Sadikin ( Gubernur DKI Jakarta 1966 – 1977), kesal pada Permadi, paranormal yang selalu berbaju hitam. Dahulu Permadi di awal tahun, selalu membuat ramalan bahwa Soeharto akan jatuh pada tahun itu juga. Nyatanya, bertahun-tahun Soeharto tidak jatuh-jatuh juga, hingga membuat Bang Ali kesal.

Suatu ketika Bang Ali bertemu Permadi dan seperti biasa, dengan meledak-ledak, ia bertanya pada Permadi. Apa jawab Permadi? “Suatu ramalan membutuhkan persyaratan dan kondisi tertentu untuk terjadi. Dan peluang untuk terjadi itu, 90% hampir pasti terjadi, karenanya you boleh percaya itu, 9% milik si peramal, dan 1% milik Tuhan,” kata Permadi.

“Lho, kenapa Tuhan cuma 1%?” tanya Bang Ali yang terkejut.

“Tuhan memang hanya dikasih 1%, tapi tanpa izin-Nya, semua tidak akan terjadi,” jawab Permadi tegas.

“Lalu kenapa untuk si peramal harus 9% itu?” Bang Ali mengejar lagi.

“Ya, karena si peramal perlu memikirkan jalan keluar kalau ramalannya tidak tepat,” jawab Permadi cengengesan.

“Hahaha…,” tawa Bang Ali pun meledak. “ You cuma cari-cari alasan saja namanya.”

Tetapi mereka berdua pun tertawa bersama-sama. Ini bukan karena Bang Ali yang orang Sunda itu tidak pernah bisa benar-benar marah, tetapi karena peramal pun masih manusia yang bisa salah. *** (4 – 31 Januari 2008, Urip Herdiman K.)

Labels: