The Urheka Project : Mimpi Dalam Mimpi

"All that we see, or seem, is but a dream within a dream." - Edgar Allan Poe, A Dream Within A Dream, 1846.

Sunday, February 03, 2008

Hujan Lagi, Banjir Lagi, Jakartaku Terendam Lagi

HUJAN LAGI, BANJIR LAGI, JAKARTAKU TERENDAM LAGI

Hujan lagi, banjir lagi, dan Jakarta terendam lagi. Mau bilang bosan, bagaimana lagi? Memang itu yang terjadi. Jumat kemarin (1/2/2008) hujan lebat mengguyur Jakarta sejak tengah malam hingga siang. Hasilnya seperti sudah kita lihat di media cetak dan televisi, Jakarta nyaris tenggelam.

Sampai tahun lalu, selalu dikatakan bahwa Jakarta punya siklus banjir lima tahun sekali. Kita masih ingat banjir tahun 2002 yang jatuh pada 1 Februari 2002. Tahun 2007 lalu juga pada 1 Februari 2007. Belum habis tahun 2007, Jakarta terendam banjir lagi. Dan sekarang di tangan gubernur baru yang katanya ahli dan berpengalaman, Jakarta terendam banjir lagi. Pas 1 Februari 2008. Dahsyat, man!

Kalau membaca media cetak dan melihat televisi, tampaknaya wilayah yang terkena banjir semakin luas saja setiap tahunnya. Selamat! Setidaknya ini adalah suatu prestasi marketing yang luar biasa. Hahaha… Dan yang paling mudah adalah menyalahkan alam. Lho?

Kenapa alam yang harus disalahkan? Alam tidak pernah salah, manusialah tempatnya salah. Mari kita tanyakan pada hujan yang sedang turun dengan penuh semangat. “Hey, hujan, kenapa kau turun begitu deras dari tengah malam hingga siang ini?” kataku bertanya pada hujan. “Kau menyebabkan banjir lagi di Jakarta. “

“Tugasku memang turun ke bumi. Aku memandikan planetmu dari segala kekotoran dan dosa-dosa. Aku tidak menyebabkan banjir. Aku mencari tanah lapang yang terbuka, empang, situ, danau atau apapun, namun tidak kutemukan. Aku mencari saluran air yang lancar, tidak juga kutemukan, semuanya mampet. Aku mencari sungai dan kali, semua sudah penuh dengan sampah. Aku harus ke mana lagi? Jadilah aku melimpah ke mana-mana, masuk ke jalan-jalan, termasuk jalan tol, ke perumahan dan pemukiman warga , ke pusat kota, kantor-kantor sampai istana dan ke daerah-daerah pinggiran lainnya. Maaf, merepotkan, tetapi ini tidak sengaja,” jawab hujan sederas turunnya.

Ah, Pak Gubernur Jakarta tidak membaca sejarah. Banjir di Jakarta sudah ada sejak zaman Hindia Belanda, dan tidak cuma sekali, tetapi berkali-kali. Maka dari itulah dibangun Banjir Kanal Barat itu. Bayangkan, saat itu Jakarta masih hutan belukar, belum banyak villa, bungalow, rumah mewah, wisma, hotel, resort dan lain-lainnya di Puncak Pass, daerah hulu Sungai Ciliwung.

Kalau dia mau lebih jauh lagi, banjir di dataran rendah Jakarta bahkan sudah ada sejak zaman Purnawarman, Raja dari Kerajaan Tarumanegara, sekitar tahun 400 – 500 Masehi. Mestinya dia bisa bilang,”Tuh, kan, dari dulu juga Betawi emangnya daerah banjir!”

Jakarta tidak perlu resah, karena daerah banjir semakin banyak, semakin luas. Jakarta tidak sendirian kok…! Di luar negeri pun sama saja. Banyak temannyalah. Tetapi Jakarta juga tidak bisa berkilah bahwa ini adalah akibat pemanasan global (global warming). Hehehe…bisa-bisa warga Jakarta ongkang-ongkang kaki, main gaple dan tidur. Dasar pemalas!

Tetapi ngomong-ngomong, kalau setiap ada hujan lebat satu jam atau dua jam saja sudah banjir setinggi lutut atau sepinggang orang dewasa, bagaimana kalau satu hari, dua hari, tiga hari atau seminggu hujan terus? Mungkin tidak perlu sampai lima tahun lagi, banjir sudah sepinggang Monas. Nah, lho…rasain! *** (4 Februari 2008, Urip Herdiman K.)

Labels:

0 Comments:

Post a Comment

<< Home