Jalan Menuju Stadela
JALAN MENUJU STADELA
Setiap pagi, dari rumah di Sawangan, saya menuju ke Depok, tepatnya Stasiun Depok Lama. Ada yang menyingkatnya dengan nama berbau Italia, Stadela. Keren, kan?
Untuk mencapai Stadela, saya turun angkot D-03 di Jalan Dewi Sartika atau pasar lama, lalu dilanjutkan dengan jalan kaki sekitar 300 meter. Saya malas naik ojek, karena rasanya saya sudah mabuk ojek (ojek’s drunks hehehe…). Saya pikir lebih sehat untuk berjalan kaki daripada naik motor. Saya tidak suka memanjakan tubuh. Jadilah pilihan jalan kaki menjadi pilihan pertama. Tokh, tak ada ruginya jalan kaki.
Sepanjang jalan kecil, jalan kampung, ada banyak yang bisa saya lihat. Jalan kecil yang rusak, sebagian aspal, sebagian beton, sebagian lagi genangan air. Rumah-rumah petak, kamar-kamar kost, dan kehidupan penghuninya. Pakaian-pakaian yang bergantungan. Eh, yang ini jelas bukan pemandangan yang menyenangkan.
Ada seorang ibu yang keluar rumah masih dengan daster tidurnya, belum cuci muka, lantas mencari tukang sayur. Ada gadis remaja yang baru pulang mengaji. Ada pembantu rumah tangga yang sedang menyirami kebun kecil rumah majikannya. Ada yang sedang sibuk mondar-mandir di depan toilet umum. Hehehe…
Ada pemadangan lain yang sudah lebih maju. Ada pedagang yang sedang mempersiapkan dagangannya. Ada bakul jamu yang sudah keluar dari rumah petaknya. Bakul jamu selalu punya badan yang bagus, langsing dan singset. Enak dilihatlah. Dan ada anak yang mencium telapak tangan ibunya sebelum berangkat sekolah. Hm…
Pemandangan-pemandangan seperti ini membuat kaki saya terus menginjak bumi, sebelum masuk Jakarta. Setelah masuk Jakarta, kaki saya tidak menginjak bumi, tetapi menginjak lantai-lantai gedung bertingkat, namun kepala saya tidak menggantung di atas awan.
Kehidupan sesungguhnya begitu sederhana, tinggal menjalaninya saja. Yang bikin rumit ‘kan pikiran kita, manusianya. Terlalu banyak kemauan dan keinginan, yang tidak sebanding dengan kemampuan dan kebutuhan.
Dengan berjalan kaki, saya beruntung bisa tetap membumi. Bisa melihat kehidupan orang lain. Ada yang susah, ada yang senang. Syukur dapat pemandangan yang bagus dan gratis. Misalnya perempuan yang hanya mengenakan handuk untuk membungkus tubuhnya di depan kamar mandi umum, tanpa risih atau malu. Saya melihatnya, dia santai saja, dan saya pun menikmatinya. Tentu yang saya ingat yang masih muda, bukan yang sudah tua. Hahaha…
Atau sebenarnya, mungkin pada dasarnya kita – manusia – memang senang melihat orang lain berikut kehidupannya. Mengintip. Karena itu, acara-acara infotainment di berbagai stasiun televisi tak pernah sepi. Orang selalu senang mengintip dan membicarakan orang lain. Gossip. Ah, mungkin saya harus cari teman saya yang lulusan psikologi. Minta tolong diperiksa kepala saya. Hiks… *** (2 April 2008, Urip Herdiman K.)
Labels: Esai
2 Comments:
Masih sukup waras kok Om Urip!
Justru ketika isi kepala tidak dipenuhi hal-hal yang nyata, disitulah letak kegilaannya.
Tapi pada dasarnya manusia itu gila.. Percaya ndak?
Pernah terpikir melakukannya pd malam hari??
Mgkn gak ada bakul jamu sintal atau perempuan dgn handuk di depan kmr mandi umum..tp mgkn kehidupan malam di jalan-jalan kayak gitu juga sama menariknya...
(sori, yg muncul di kepalaku malah kata safari malam, hehe..)
Post a Comment
<< Home