The Urheka Project : Mimpi Dalam Mimpi

"All that we see, or seem, is but a dream within a dream." - Edgar Allan Poe, A Dream Within A Dream, 1846.

Wednesday, May 28, 2008

Ke Bontang? Jangan Lupa Mampir dan Makan Ikan Baronang di Bontang Kuala

KE BONTANG? JANGAN LUPA MAMPIR DAN MAKAN IKAN BARONANG DI BONTANG KUALA

Awal bulan Mei ini, karena tugas kantor, saya bersama rekan Dadang RP (fotografer) dan Syahrino Putama (kameraman Pertamina TV) berangkat Ke Bontang, Kalaimantan Timur. Naik pesawat Garuda dari Bandara Soekarno-Hatta pukul 06.20 WIB, tiba di Balikpapan sekitar pukul 09.20 WITA (atau 08.20 WIB).

Dari Balikpapan, setelah menunggu dua jam, kemudian melanjutkan dengan pesawat charter Dash-7 milik Pelita Air. Tiba di Bontang Sabtu siang sekitar pukul 12.40 WITA.

Nah, di sini saya lebih ingin menceritakan pengalaman ke Bontang Kuala. Tentang kampung ini, bukan soal makannya. Maklum, saya tidak ahli soal makanan.

Bontang adalah sebuah kota yang masih muda, terletak persis pada garis Khatulistiwa, yang berkembang bersamaan dengan dibangunnya industri LNG di daerah Badak, Bontang, Kalimantan Timur, pada pertengahan tahupertama n 1970-an. Kemudian diikuti juga pembangunan industri pupuk di sana. Kota ini awalnya hanyalah sebuah kampung nelayan bernama Bontang Kuala.

Hari Minggu (11/5), saya, Dadang, Rino diantarkan Panca Purnama (LNG – TV) jalan ke Bontang Kuala, yang selalu dikatakan sebagai kota tua dan wajah asli Bontang, sebelum menjadi kota industri LNG dan pupuk.

Pertama turun di ujung jalan aspal, mobil parkir, lalu ada dua pilihan jalan. Kami mengambil ke arah kanan. Suassana kampung nelayan sangat terasa. Bau amis ikan menguar. Tetapi yang menarik perhatian saya justru bangunan-bangunan di Bontang Kuala.

Bontang Kuala persis terletak di tepi pantai. Namun tidak berarti rumah-rumah hanya dibangun di atas daratan. Bontang Kuala dibangun di atas laut. Bukan rawa-rawa, tetapi laut. Jalan-jalan mengular kesana-kemari seperti kota-kota biasanya yang dibangun di atas daratan.

Kota tersebut dibangun di atas fondasi kayu ulin. Jalan-jalan, jembatan, rumah-rumah, bahkan mesjid, lapangan sepakbola, lapangan bulutangkis, semua di atas tiang-tiang dan papan kayu ulin. Kayu ulin ini khas Kalimantan, sangat kuat dan tahan air, kata Panca yang mengantarkan saya. Bisa sampai seratus tahun.

Kami jalan menuju tengah laut mengikuti jalanan papan. Sebelah kanan dan kiri, selalu ada kaveling laut . Ada yang sudah jadi dan atau sedang dibangun. Ataupun masih kosong. Tiang pancang ditancapkan dalam jarak sekitar 0,5 meter. Jalanan terdiri dari dua lajur, yang setiap lajur lebarnya sekitar 3 meter, dan bisa dilewati motor. Tujuan kami adalah restoran di atas laut, yaitu Café Kapal, yang memang asli berbentuk kapal.

Di sana saya juga melihat rumah yang berdiri kokoh di tengah laut, semacam villa. Bisa dibayangkan, setiap pemilik atau penghuninya kalau mau beraktivitas, harus naik turun perahu kecil yang lalu disambung dengan jalan kaki atau naik ojek.

Selasa (13/5) malam, saya kembali ke Bontang Kuala, kali ini dengan rombongan yang lebih besar dari PT Badak NGL. Dari tempat parkir mobil, kami mengambil jalan lurus, tidak seperi yang kami tempuh Minggu siang.

Di jalan ini, saya lebih terkejut lagi. Dari bangunan yang ada, saya mengenali bangunan rumah yang sudah tua. Misalnya saja, dari gaya jendelanya, saya yakin mungkin itu rumah peninggalan sebelum masa awal kemerdekaan, atau bahkan sebelum Perang Dunia II. Gaya jendelanya mengingatkan saya gaya bangunan tua di kota-kota di Jawa.

Di bagian ini, ada rumah yang dibangun bertingkat dua lantai. Ada mesjid, ada lapangan sepakbola, dan juga lapangan bulutangkis. Termasuk beberapa rumah makan besar. Salah satunya yang kami tuju adalah RM Anjungan Indah, dengan gaya seperti rig pengeboran minyak di tengah laut.

Baik waktu di Café Kapal maupun di Anjungan Indah, saya merasa nyaman. Udara tidak terlalu panas, bahkan cenderung sejuk.

Suasana kampung sendiri bisa dikatakan bersih dan tertib. Agak berbeda dengan Pademangan atau Penjaringan yang saya lihat di Jakarta Utara, yang kotor dan kumuh dan bau.

Pemandangan lain yang saya dapatkan adalah hilir mudiknya perahu-perahu nelayan setempat (disebut ketingting). Perahu-perahu itu lalu-lalang di kolong bangunan kota Bontang Kuala.

Yang membuat saya tak habis pikir, bagaimana mereka membangun sistem air bersih, listrik dan jaringan telepon? Memang saya sempat melihat ada jaringan pipa di kolong. Artinya, pihak pembangun pun sudah memikirkan infrastruktur Bontang Kuala.

Kaveling-kaveling itu bisa dibeli dari kelurahan setempat. Tetapi saya juga belum tahu, apakah penduduknya punya KTP dan kena pajak. Maklum, aparat kelurahan biasanya cuma mau duitnya, tetapi tidak mau mengurus apa yang menjadi hak warga.

Eh, tetapi ngomong-ngomong, mana ceritanya tentang makan ikan baronangnya?

Iya, saya memang makan ikan baronang di Bontang Kuala. Tetapi karena saya tidak ahli dan tidak banyak tahu tentang dunia kuliner, saya tidak bisa cerita tentang ikan baronang ini. Saya cuma tahu bahwa semua makanan enak, apalagi yang gratis. Jadi, silakan ngiler saja setelah membaca esai ini. Hehehe… *** (16 – 28 Mei 2008, Urip Herdiman K.)

Labels: