The Urheka Project : Mimpi Dalam Mimpi

"All that we see, or seem, is but a dream within a dream." - Edgar Allan Poe, A Dream Within A Dream, 1846.

Sunday, June 08, 2008

Kilang LNG dan Maximum Security

KILANG LNG DAN MAXIMUM SECURITY

Ini bukan tentang judul sebuah film laga yang dibintangi Jean Claude van Damme. Cerita ini masih tentang kunjungan ke Bontang awal bulan Mei 2008 lalu, tepatnya Kilang LNG PT Badak NGL (Natural Gas Liquefaction). Kilang LNG (liquefied natural gases) ini terletak di Kota Bontang, dan dibangun pertama kali pada tahun 1973. Bontang dan Arun di Aceh menjadi tonggak sejarah gas alam di Indonesia, yang sekaligus mengukuhkan Indonesia sebagai eksportir gas alam terbesar di dunia.

Saya beberapa kali sempat masuk kilang, diantaranya kilang di Balongan, daerah Indramayu. Namun yang saya alami di Bontang, sangat berbeda dengan masuk kilang BBM yang biasa.

Jika kita masuk ke kilang, maka semuanya harus diperiksa dan ditinggal di pos penjagaan. Handphone, barang-barang elektronik dan mancis yang bisa menyebabkan percikan api, biarpun kecil, tidak boleh masuk. Kamera foto boleh masuk, tetapi tidak boleh menggunakan lampu blitz. Karena percikan api ini bisa menyebabkan kebakaran besar.

Di luar kompleks kilang pun, kita harus hati-hati. Dimana-mana selalu ada tanda peringatan yang berkaitan dengan safety, health and environment (SHE). Di kompleks kilang BBM, seingat saya untuk masuk hanya melalui satu lapis pagar pengamanan saja. Tetapi di kilang LNG, beda. Ada tiga lapis pagar pengaman, yang untuk masuk dan keluar mempergunakan system sensor elektronik.

Jarak pintu pertama dengan pintu kedua, dan kemudian ketiga, masing-masing tidak lebih dari 100 meter. Saya pikir hanya ada sekali pemeriksaan. Ternyata tidak. Jadi ketika kami datang dengan naik mobil dengan isi enam orang, termasuk sopir, maka tak terhindarkan lagi, kami harus naik turun mobil berulangkali, kecuali sopir. Naik, turun, naik lagi, jalan, turun lagi, naik lagi, jalan lagi, turun lagi, naik lagi dan jalan lagi. Yang tetap di dalam mobil hanya sopir. Benar-benar melelahkan dan berkeringat, apalagi mengingat udara di sekitar kilang, umumnya panas dan kering.

Kalau saya dan teman-teman dari Jakarta, yang datang hanya sekali, mungkin tidak masalah walaupun terkejut. Tetapi mereka, para pekerja yang setiap hari bertugas di dalam kilang, mau tidak mau harus mengikuti aturan seperti itu. Setiap hari, pagi dan sore, atau sore dan malam. Atau kapan pun mereka mau masuk dan mau keluar.

Pengalaman di kilang ini mengingatkan saya dengan kontroversi tentang apakah perlu Indonesia memiliki pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN). Dalam salah satu wawancara dengan pakar pembangkit listrik dari UI yang tidak menyetujui PLTN, disinggung bahwa kelemahan bangsa kita adalah tidak punya disiplin yang kuat untuk patuh pada aturan.

Tetapi dengan melihat apa yang ada di kilang LNG Badak di Bontang, pikiran saya agak berubah, walau saya masih belum setuju dengan PLTN. Saya yakin, bangsa kita juga bisa mempunyai disiplin kuat dan patuh pada aturan yang ketat, seperti yang diterapkan di tempat-tempat khusus. Sebagai perbandingan, insiden kebakaran di kilang LNG bisa menyebabkan ledakan yang besar, mendekati ledakan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki. Namun untungnya, hal itu belum pernah terjadi di Indonesia ini maupun di dunia.

Dan jangan lupa, Statoil dari Norwegia, Qatar, dan Yaman, mengirimkan para teknisinya ke kilang LNG Badak di Bontang untuk belajar mengoperasikan kilang-kilang LNG mereka.

Artinya, kita jangan meremehkan kemampuan bangsa kita sendiri. Kita bisa…! Ah, kok jadinya saya pinjam kata-kata orang lain ya… Entah kata-kata iklan minuman energi atau Presiden yang ngomong begitu duluan. Hahaha… *** (29 Mei - 9 Juni 2008, Urip Herdiman K.)

Labels:

0 Comments:

Post a Comment

<< Home