The Urheka Project : Mimpi Dalam Mimpi

"All that we see, or seem, is but a dream within a dream." - Edgar Allan Poe, A Dream Within A Dream, 1846.

Monday, September 22, 2008

Kenapa Harus Mudik?

KENAPA HARUS MUDIK?

Lebaran tinggal seminggu lagi. Pikiran orang-orang sudah berlari pada rencana mudik, atau mengantisipasi jika para pembantu mudik. Soal puasanya, sudah masuk ke urusan yang sekunder atau tertier. Hehehe… Maksudnya, boleh puasa, boleh juga ditinggal. Hahaha…

Di Stasiun Depok Baru, setiap pagi selalu ada orang-orang dengan tas-tas besar lengkap dengan kardusnya. Kereta Depok Ekspres dan Pakuan pun tidak lagi berhenti di Stasiun Gambir, tetapi dari Gondangdia langsung ke Djuanda. Artinya, ada peningkatan frekuensi perjalanan kereta api ke arah Jawa Tengah dan Jawa Timur dari Gambir.

Mudik punya banyak arti. Bisa ‘pergi ke udik (hulu sungai, pedalaman)’. Bisa pula ‘pulang ke kampung halaman’. Nah, dalam konteks berlebaran, berarti pulang ke kampung halaman. Kembali ke asal.

Saya masih ingat artikel yang ditulis harian Sapmok beberapa tahun lalu. Kalau pergi bisa kemana saja, sesuka hati, sesuka kaki melangkah. Tetapi yang namanya mudik, pasti pulang kembali ke rumah, ke kampung halaman, ke tempat orang tua. Tidak ada mudik ke tempat lain. Kalau ada, ya namanya bukan mudik donk… Gheeto aja kok repot.

Kenapa seeh mudik, sekarang ini, selalu bikin heboh, bikin repot? Saya juga tidak tahu persis. Tetapi seingat saya, mudik menjadi suatu aktivitas ekonomi sejak sekitar akhir 1990-an. Mudik bukan lagi sekedar kegiatan sekelompok kecil masyarakat, namun sudah melibatkan masyarakat yang lebih luas lagi.

Tahun 1970-an, walau tidak setiap tahun, keluarga saya masih sempat mudik ke Semarang dengan santai dan ceria. Tidak ada yang berdesak-desakan, tidak ada yang berjejal-jejal. Pelayanan bus antar kota pun masih oke. Kereta juga tidak mengecewakan.

Tahun 1980-an, suasana berubah. Mungkin juga karena masyarakat berubah. Hidup yang lebih makmur dan sejahtera ternyata tidak cukup. Mereka, orang-orang sukses itu, juga perlu dikagumi, dipuji-puji atas sukses mereka di perantauan yang jauh dari kampung halaman. Kalau yang memuji orang sebelah rumah sih, bisa dicurigai sebagai iri hati. Tidak cukup tetangga. Mereka ingin keluarga besar mereka, dan orang-orang sekampung, tahu bahwa mereka sukses. Sukses dalam karir, sukses dalam pekerjaan, sukses dalam mencari uang, sukses untuk bisa memamerkan kekayaan, dan sukses punya banyak istri dan simpanan. Sukses perlu dipamerkan!

Sampai tahun 1997, saya masih sempat ke rumah nenek di Wonodri Baru, Semarang. Berangkat naik kereta pada hari kedua, menginap semalam di Semarang, lalu keesokan harinya balik ke Jakarta. Jadi saya tidak pernah terjebak dalam keruwetan mudik yang konyol.

Sekarang mudik adalah suatu upaya yang luar biasa keras, penuh penderitaan, penuh kesengsaraan, sampai meminta korban jiwa. Mulai dari jauh hari, bahkan sebelum Ramadhan tiba, banyak yang sudah kasak-kusuk mencari tiket kereta dan pesawat untuk hari-hari sekitar Lebaran itu. Bayangkan, mereka rela antri beberapa jam dari tengah malam hanya untuk mendapatkan beberapa lembar tiket. Dan itu dilakukan dengan mengorbankan puasa mereka.

Mudik sekarang merupakan suatu aktivitas ekonomi yang luar biasa. Melibatkan banyak pihak. Mulai dari pemerintah sebagai pembuat regulasi, polisi yang mengamankan perjalanan pemudik, instansi pemerintah yang harus mempersiapkan infrastruktur transportasi, perusahaan-perusahaan besar yang bergerak dalam sektor-sektor energi, transportasi, telekomunikasi, perbankan, jamu, restoran dan rumah makan, penyewaan kendaraan bermotor, bengkel, rumah sakit dan dokter, dan lain-lain. Bisa juga ditambahkan dengan partai-partai politik dan ormas-ormas.

Mudik menjadi suatu aktivitas ekonomi yang punya nilai triliunan rupiah, suatu jumlah yang tidak kecil. Mudik telah bermetamorfosa menjadi roda penggerak kegiatan ekonomi yang membawa uang sampai ke desa-desa, dusun-dusun dan kampung-kampung yang jauh di pedalaman.

Namun pertanyaannya adalah tetap sama. Kenapa harus mudik? Apakah sebanding dengan penderitaan dan pengorbanan yang harus dialami banyak pihak? Apakah cara untuk memamerkan sukses mereka hanya dengan mudik? Apakah hanya dengan mudik saja, maka uang yang trilunan rupiah itu bisa menetes sampai ke pedalaman yang jauh?

Aih, repotnya… *** (23 September 2008, UHK)

Labels: