The Urheka Project : Mimpi Dalam Mimpi

"All that we see, or seem, is but a dream within a dream." - Edgar Allan Poe, A Dream Within A Dream, 1846.

Monday, September 15, 2008

Lebaran Sebentar Lagi...

LEBARAN SEBENTAR LAGI…

“Lebaran sebentar lagi…” Itu sepotong lirik lagunya Bimbo yang selalu dinyanyikan menjelang Lebaran tiba. Yes, tinggal (atau masih?) dua minggu lagi, maka Ramadhan pergi dan Syawal pun datang. Sebagian karena kita punya memori tentang Lebaran pada tahun-tahun yang lalu, sebagian lagi karena tanda-tanda alamnya sudah mulai kelihatan.

Tanda alam yang pertama, tentu saja, karena pikiran kita sudah tidak terkonsentrasi lagi pada ibadah puasa Ramadhan yang sedang kita jalani. Puasa memang jalan terus, tetapi pikiran kita sudah kemana-mana, menembus waktu. Pikiran kita sudah berpikir tentang acara mudik, cari mobil sewaan, makanan saat Lebaran, baju baru, sepatu baru, cari pembantu pengganti, berapa banyak uang receh yang harus disiapkan untuk anak-anak, dan lain-lainnya yang menyita energi dan bisa membatalkan (atau mengurangi) puasa kita.

Diakui atau tidak diakui, suasana pekerjaan kita di kantor(baca ; tempat kerja) sehari-hari juga menurun perlahan-lahan, bahkan mungkin cenderung menunggu selesainya Ramadhan. Tetapi Ramadhannya tidak salah, manusianya yang salah. Maklumlah, manusia ‘kan memang tempatnya salah.

Entah mana yang harus disalahkan, tetapi suasana Ramadhan sudah jauh berubah dibandingkan yang saya alami tahun-tahun 1970-an sampai 1980-an. Setelah itu, dengan berkembangnya industri televisi, maka ibadah puasa di bulan Ramadhan mengalami komersialisasi. Ramadhan menjadi pasar, festival dan karnaval. Ada ceramah, ada keramaian, ada transaksi bisnis,, ada pameran, ada yang sok pamer, ada yang sosial dan sok sial, dan ada-ada yang lain-lainnya. Semua ada di televisi.

Di bulan Ramadhan ini, tiba-tiba banyak orang berubah 180% menjadi baik. Pakai baju muslim atau baju koko, pakai peci, pakai sarung. Lalu menyumbang kesana, menyumbang kemari. Memberikan santunan pada anak-anak yatim piatu. Ada yang melakukannya dengan ikhlas dan tulus, tetapi banyak juga yang melakukannya dengan harapan diliput media cetak dan elektronik, meningkatkan citranya, menaikkan ratingnya. Lho, kok jauh sekali pikiran saya melantur? Ah, kayak Anda tidak tahu saja.

Anda percaya semua itu datang dari hati mereka yang terdalam, karena kesadaran diri mereka sendiri menuntun mereka untuk memenuhi kewajiban pada Allah Swt.? Ketika agama mengalami komersialisasi dan menjadi komoditas ekonomi, apalagi yang tersisa?

Hal ini tidak hanya terjadi pada Ramadhan dan Idul Fitri. Hampir semua perayaan hari-hari besar keagamaan mengalami proses komersialisasi. Bisnis, bisnis, bisnis. Uang, uang, uang. Dan uang pun telah menjadi Tuhan! *** (16 September 2008, UHK)

Labels: