The Urheka Project : Mimpi Dalam Mimpi

"All that we see, or seem, is but a dream within a dream." - Edgar Allan Poe, A Dream Within A Dream, 1846.

Thursday, November 20, 2008

Pertahanan Indonesia Tanpa Daya Pertahanan

PERTAHANAN INDONESIA TANPA DAYA PERTAHANAN

Hari ini, Kamis, 20 November 2008, Koran Opmet (sorry, tolonga bacanya dibalik) memuat dua berita yang menarik saya. Pertama, berita di halaman dalam yang cukup besar tentang bajak laut Somalia yang merajalela dan membuat negara-negara Teluk Arab kewalahan, termasuk kapal-kapal US Navy, NATO dan jug a India yang bertugas di kawasan itu pusing tujuh keliling.

Saya membaca berita ini sebagai berikut: Sehebat-hebatnya teknologi maju atau teknologi tinggi dalam bidang pertahanan, ternyata masih bisa ditembus dengan cara-cara yang tradisional dan agak kuno. Kapal-kapal US Navy tentu diperlengkapi dengan teknologi radar yang canggih, informasi dari satelit, dan pesawat-pesawat atau heli pemburu yang tak ada tandingnya. Tetapi di hadapan bajak-bajak laut Somalia, itu bisa dipatahkan, entah bagaimana caranya. Yang jelas, mereka punya otak untuk mengakali kecanggihan teknologi perang Amerika.

Yang kedua, berita kecil saja. Wakil Presiden MJK menyatakana bahwa pertahanan masih tetap merupakan perhatian Pemerintah, walaupun anggaran pertahanan kita minim. Hal itu dikemukakan saat ia membuka pameran Indodefense di Pangkalan Udara Halim Perdana Kusuma, kemarin, Rabu..

Saya membaca berita ini sebagai berikut: Harap sabar, Pemerintah masih tetap memberikan perhatian pada sektor pertahanan, tetapi juga harap maklum, Pemerntah tidak bisa berbuat banyak untuk meningkatkan kekuatan pertahanan Indonesia karena anggaran yang minim.

Gabungan kedua berita tersebut bisa dibaca begini: Walaupun pertahanan kita lemah dan keropos, tetapi sebenarnya kalau kita mau memutar otak, kekuarangan anggaran bisa diatasi. Kira-kira begitulah.

Sepuluh tahun reformasi Indonesia,sejak 1998, reformasi sektor pertahanan dan keamanan hanya berkutat di sekitar pemisahan TNI dan Polri, peran sosial politik tentara dan polisi, serta upaya penghapusan bisnis militer. Tidak lebih jauh dari itu. Padahal ada hal yang tidak kalah penting dari itu, yaitu bagaimana membangun kekuatan postur pertahanan Indonesia yang ideal, yang sesuai dengan kondisi geografis Indonesia.

Makmur Keliat dalam artikelnya menyambut ulang tahun TNI di harian Sampok (sekali lagi, bacanya dibalik ya…hehehe…), kalau tidak salah tanggal 6 Oktober 2008, menulis bahwa pertahanan Indonesia adalah pertahanan tanpa daya pertahanan, menjadikan Indonesia sebagai anomaly di Asia Tenggara. Ketika negara-negara kawasannya terus memperkuat diri, Indonesia justru terus melemah.

Angkatan perang yang kecil, dengan persenjataan yang sudah tua dan ketinggalan zaman, serta tidak sesuai dengan kondisi geografis Indonesia yang adalah negara kepulauan.

Ketika Soeharto berkuasa, Soeharto mengembangkan politik luar negeri bertetangga baik, dengan salah satunya menggurangi kemampuan tempur ABRI, dan hanya membangun TNI-AD saja sebagai kekuatan inti. Sementara TNI-AU dan TNI-AL diabaikan.

Namun setelah Soeharto jatuh, ternyata Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri dan SBY tidak juga punya gagasan cemerlang bagaimana seharusnya membangun postur ideal pertahanaan Indonesia dan mensiasati minimnya anggaran militer yang bisa disediakan. Pemerintah tahu dan sadar hal ini, tetapi tidak bisa berbuat banyak.

Kita tentu tahu bagaimana perang terselubung antara Indonesia dan Australia di Timor Timur menjelang penentuan jajak pendapat 1999. Kita juga ingat bagaimana pasukan TNI di Aceh kehabisan nafas ketika harus mengejar GAM. Di kawasan timur Indonesia, bukan rahasia lagi, begitu mudah ditembus oleh pesawat-pesawat asing tidak dikenal yang datang dari selatan. Dan terakhir, kita juga bisa melihat bagaimana kapal-kapal TNI-AL yang sudah tua harus berhadapan dengan kapal-kapal Malaysia yang lebih maju teknologi di perairan Ambalat, Kalimantan.

Saya percaya, bahwa salah satu kesalahan ini diawali dari doktrin pertahanan Indonesia yang berorientasi pada daratan.” Silakan lawan atau musuh datang ke Indonesia, dan akan kita gempur di darat. “ Doktrin ini jelas sudah tidak tepat, karena membiarkan lawan masuk dan menggempurnya kemudian.

Padahal dengan kondisi Indonesia sebagai negara kepulauan, seharusnya Indonesia mengembangkan kekuatan udara (air power) sebagai payung pertahanan, dan kekuatan angkatan laut agar musuh tidak sempat mencapai daratan Indonesia. Doktrin pertahanan modern adalah kita seharusnya bertempur di luar wilayah kita.

Ah, untunglah sekarang ada calon presiden yang berpikir dan berbicara perlunya Indonesia membangun kekuatan pertahanan yang bertumpu pada angkatan laut, yaitu Sri Sultan Hamengku Buwono X, sementara yang lain hanya bicara soal petani dan nelayan, mengurangi kemiskinan, membuka lapangan kerja. Atau bahkan tidak bicara apa-apa.

Tetapi apakah saya akan memilih dia sebagai presiden tahun depan? Ah, siapa yang tahu. Di dalam bilik pemungutan suara, cuma saya dan Tuhan yang tahu. Wakakakaka… *** (UHK, 20 – 21 November 2008)

Labels:

2 Comments:

Blogger Unknown said...

Opsss... trak kira calon presiden tahun depan yang memikirkan itu semua adalah UHK... Kalau UHK jadi calon presiden, apa ya yang akan dikembangkan untuk Indonesia?

4:25 PM  
Blogger The Urheka Project: Mimpi Dalam Mimpi said...

Pembangunan ekonomi tetap nomor satu, untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. TEtapi pembangunan pertahanan harus, minimal mendekati 1% dari GDP (atau GNP ya? Hehehe...bingung juga) , biar Indonesia kuat dan tidak dipandang sebelah mata oleh negara tetangga.

6:13 PM  

Post a Comment

<< Home