Yoga, Agama dan Pewarisan Budaya
YOGA, AGAMA DAN PEWARISAN BUDAYA

Kejadian ini bukan yang pertama di Malaysia. Beberapa bulan yang lalu, seorang menteri di Malaysia juga melarang umat Kristiani untuk menggunakan kata ‘Allah’ untuk sebutan Tuhan. Mereka hanya boleh memakai kata ‘God’ untuk menyebut Tuhan mereka.
Bicara agama memang susah, apalagi kalau kita bicara dengan sentimen-sentimen yang emosional. Sehingga yang muncul adalah keputusan-keputusan yang didasarkan emosi saja, dan tidak rasional.
Tidak bisa dipungkiri, yoga dalam sejarahnya memang terkait erat dengan agama Hindu dan budaya India. Tetapi zaman berubah, yoga tetap bertahan, melalui perjalanan menembus kabut waktu. Salah satu kemampuannya bertahan adalah karena yoga tidak mempersyaratkan seorang praktisinya untuk menjadi Hindu. Anda bisa tetap seorang muslim atau kristen, atau protestan, atau komunis sekalipun, namun berlatih yoga. Apalagi ketika yoga dibawa keluar dari India menuju barat yang rasional. Di barat, yoga (yang populer adalah hatha yoga) dikembangkan sebagai latihan untuk menjaga dan meningkatkan kesehatan dan kebugaran praktisinya. Latihan-latihan ini meliputi olah tubuh, olah nafas, olah pikir dan olah jiwa.
Hal ini agak mirip dengan Falun Gong yang dilarang di China pada dekade 1990-an, dan sampai sekarang larangan ini masih berlaku. Tak diragukan lagi bahwa latihan-latihan qigong/chikung (the art of breathing) adalah bagus untuk kesehatan dan kebugaran para praktisinya. Di China, budaya latihan fisik sudah ada sejak ribuan tahun sebelum Masehi. Namun di mata Pemerintah China, bukan manfaatnya yang dilihat, tetapi jumlahnya yang ditakuti, yaitu kalau jumlah peserta latihan falun gong meningkat terus, maka dia akan melebihi jumlah anggota Partai Komunis China. Jadilah keputusan yang tidak rasional itu dikeluarkan. Melarang Falun Gong!
Bicara agama memang susah, apalagi kalau agama-agama langit yang sangat menuntut ketaatan dan kepatuhan pada ajarannya tanpa boeh mengkritik ataupun melakukan kajian kritis. Yang ada hanyalah agama yang dogmatis, menuntut kesetiaan buta dari penganutnya.
Saya percaya bahwa apapun agama kita, baik karena kelahiran maupun karena pilihan sadar kita, Tuhan kita, atau Sang Pencipta Alam Semesta, tetaplah satu. Saya berpikir dengan sederhana saja, tidak perlu melihat ayat-ayat suci. Apakah kita Muslim, Kristen, Protestan, Buddhis atau Hindu, kita mempunyai organ tubuh yang sama. Bernafas dari dua lubang hidung, melihat melalui dua mata, mendengar melalui dua telinga, dan seterusnya, terrmasuk beranak pinak dengan alat-alat kelamin yang sama. Maksudnya, kalau Tuhan kita berbeda, seharusnya organ-organ tubuh kita berbeda juga, kecuali diantara para Tuhan itu ada standarisasi.
Kita mungkin sering melihat film-film tentang Shaolin Kungfu. Dalam salah satu film yang sempat saya lihat, ada seorang guru yang menyatakan bahwa ilmu Shaloin Kungfu tetap harus dipertahankan, tidak masalah apakah penerusnya buddhis atau bukan. Artinya, Shaolin Kungfu adalah cabang budaya yang sangat terbuka untuk siapa saja yang berminat, tanpa melihat suku atau suku bangsa, agama, ras, dan kepercayaannya.

Labels: Esai
1 Comments:
Wow!!! gue baru tau tentang hal ini... Tapi saya setuju sekali, bahwa inti dari sesuatu yang dipercaya adalah satu. katakan itu Tuhan, Dzat, ALLAH, GOD... Kepercayaan, keyakinan yang membedakan.
Jadi ingat beberapa minggu yang lalu, saat lab kosong dan tidak ada kelas, saya melakukan meditasi di ruangan sekitar 3 jam saya gak sadar ada teman yang masuk, setelah saya selesai, ia langsung mencecar saya dengan berbagai dalih tentang agama dan membawa kami dalam sebuah perdebatan atau diskusi ya, entah...
segitu banget sih, picik...
Post a Comment
<< Home