The Urheka Project : Mimpi Dalam Mimpi

"All that we see, or seem, is but a dream within a dream." - Edgar Allan Poe, A Dream Within A Dream, 1846.

Wednesday, June 17, 2009

Isu Pertahanan Dalam Kampanye Pilpres 2009

ISU PERTAHANAN DALAM KAMPANYE PILPRES 2009

Bulan Mei 2009 lalu, ketika saya sakit dan menginap di rumah sakit selama empat hari, pesawat Hercules milik TNI – AU jatuh di Magetan, Jawa Timur yang menewaskan sekitar 100 orang. Setelah itu, dua pesawat heli militer menyusul jatuh. Pesawat heli MBB milik TNI – AD jatuh di Cianjur, lalu heli Super Puma milik TNI – AU jatuh di Lanud Atang Sanjaya. Keduanya terjadi minggu lalu, saat latihan. Sekali lagi, jatuh dalam latihan, bukan jatuh dalam operasi militer. Menyedihkan dan memalukan.

Semua pejabat militer dari yang paling rendah sampai yang paling tinggi, Panglima TNI, dan juga Menteri Pertahanan, tidak mengatakan apa penyebab sebenarnya. Ada yang mengatakan faktor cuaca, ada yang menyebutkan kesalahan manusia (human error). Semua mengakui usia pesawat yang sudah tua, tetapi tidak menyalahkan kurang dan minimnya anggaran pertahanan, termasuk anggaran untuk pemeliharaan alat utama sistem persenjataan (alutsista) TNI.

Itu baru tiga kecelakaan terakhir yang belum terlalu jauh dari ingatan kita. Sebelumnya sudah banyak kecelakaan yang melibatkan alutsista TNI. Semuanya bisa disederhanakan. Usia alutsista TNI yang sudah uzur, rata-rata diatas usia 30 tahun, dan kurangnya biaya perawatan, sudah seharusnya diganti. Tetapi kemauan politik Pemerintah termasuk politik anggaran Pemerintah membuat peremajaan mesin-mesin perang tersebut terlambat, sehingga sistem pertahanan Indonesia masuk dalam ruang gawat darurat. Tegasnya, Pemerintah tidak memberikan prioritas pada pembangunan TNI yang professional, kuat dan modern.

Situasi ini bisa kita tarik jauh ke awal periode Orde Baru, ketika Soeharto memulai kekuasaannya. Soeharto, untuk meredam kecemasan Malaysia dan Singapura, mengembangkan kebijakan politik luar negeri yang bertetangga baik. Anggaran militer dialihkan ke sektor ekonomi, pembangunan militer direm, dan sebagai kompensasinya, banyak petinggi-petinggi militer mendapat imbalan jabatan-jabatan politik di luar militer, yang dikenal luas sebagai dwifungsi ABRI. Politik pertahanan Pemerintah saat itu adalah membangun tentara yang kecil, efektif dan efisien, dengan ujung tombak pada TNI – AD.

Namun kemudian situasi politik regional berubah, ironisnya, politik luar negeri dan politik pertahanan Indonesia tidak berubah, sekalipun Soeharto sudah jatuh pada bulan Mei 1998. Karena tuntutan reformasi, maka ABRI dikembalikan menjadi TNI dan Polri, serta harus meninggalakn gelanggang politik. Sebagai imbalannya, Pemerintah menjamin akan memberikan anggaran yang cukup bagi TNI untuk dapat mentransformasikan dirinya menjadi tentara yang professional, kuat dan modern. Nyatanya, sampai saat ini hal tersebut tidak dapat direalisasikan.

Pemerintah selalu beralasan bahwa ada sektor pembangunan yang lebih penting dan diprioritaskan, sehingga anggaran pembangunan militer selalu menjadi pilihan pertama untuk disunat, karena Pemerintah kita tetap menjalankan politik luar negeri bertetangga baik sesuai dengan spirit ASEAN.

Akibatnya jelas, pembangunan militer menjadi tertinggal jauh dibandingkan dengan negara-negara tetangga. Banyak ahli yang menaruh perhatian pada masalah ini menggungkapkan kekhawatirannya, karena anggaran pertahanan Indonesia merupakan yang paling rendah di Asia Tenggara, sementara cakupan wilayah laut, udara dan darat yang harus dicovernya adalah paling luas.

Kasus Ambalat hanya merupakan akibat saja dari melemahnya kemampuan dan kesiapan TNI dalam menjaga wialayah NKRI. Malaysia pasti tahu betul bahwa kemampuan alutsista TNI yang ditempatkan di Ambalat tidak ada apa-apanya dibandingkan milik mereka yang lebih muda tahun pembuatannya dan lebih canggih sistem persenjataannya. Makanya mereka berani memprovokasi Indonesia, sementara Indonesia hanya bisa melayangkan protes. Tidak ada kekuatan diplomasi yang tidak didukung oleh kekuatan militer yang memadai. Dan Indonesia merasakan hal itu, dilecehkan negeri jiran.

Kasus Ambalat bukan satu-satunya. Masih ingat, ‘kan dengan perjanjian kerjasama Indonesia – Singapura yang ditandatangani beberapa tahun lalu di Denpasar? Indonesia butuh uang, Singapura butuh lahan untuk latihan pesawat-pesawat tempurnya. Untung saja perjanjian itu macet dan gagal, karena dikaitkan dengan perjanjian ekstradisi yang juga merugikan Indonesia.

Banyak contoh kecil lainnya yang bisa ditambahkan. Perlahan tapi pasti, kontrol atas Selat Malaka pun menjadi lemah, dan Singapura menjadi lebih menentukan dibandingkan Indonesia. Pencurian ikan di wilayah perairan Indonesia oleh nelayan-nelayan dari negeri-negeri tetangga seperti Thailand, Vietnam, Malaysia, Filipina bahkan Taiwan, jelas sekali menunjukkan lubang-lubang kelemahan dalam sistem radar pertahanan laut Indonesia.

Ketertinggalan Indonesia juga diperparah oleh paradigma berpikir para perwira tinggi TNI, yang masih menempatkan TNI – AD sebagai ujung tombak dari sistem pertahanan kita. Seorang jenderal bintang empat yang pernah menjabat sebagai KSAD pernah mengatakan, biarkan saja musuh menyerang dan akan digempur habis-habisan di daratan Indonesia. Benar-benar suatu kesalahan yang konyol punya jenderal bintang empat seperti itu.

Di era post modern ini, keunggulan udara dan atau maritime merupakan suatu keharusan yang mutlak dalam membangun tentara yang professional, kuat dan modern. Memang biaya untuk itu sangatlah besar, karena angkatan laut dan udara full technology, tetapi ini merupakan konsekuensi kita sebagai negara maritime.

Nah, di masa kampanye pilpres 2009 ini, dari tiga pasangan calon, ada tiga jenderal yang semuanya dari angkatan darat. Dan ketiganya mewakili cara pandang militer Indonesia yang sudah ketinggalan zaman, yang berorientasi pada pertahanan darat, namun mengabaikan peretahan udara dan laut. Menurut pandangan saya, ketiganya sangat menyedihkan dalam hal wawasan pertahanan. Ketiganya tidak punya wawasan pertahanan yang komprehensif bagaimana seharusnya membangun pertahanan Indonesia. Memang satu calon presiden, yang sedikit lebih punya visi dan menaruh perhatian pada masalah ini, walau seperti slogannya, dia ingin membereskan masalah pertahanan ini lebih cepat lebih baik.

Tetapi apakah mungkin membangun militer yang profesional, kuat dan modern hanya dalam tiga bulan atau seratus hari? Omong kosong ini membuat saya tertawa terpingkal-pingkal. *** (UHK, 17 - 18 Juni 2009)

Labels:

0 Comments:

Post a Comment

<< Home