The Urheka Project : Mimpi Dalam Mimpi

"All that we see, or seem, is but a dream within a dream." - Edgar Allan Poe, A Dream Within A Dream, 1846.

Tuesday, June 23, 2009

Renungan Bhisma Di Depan Pintu Maut

RENUNGAN BHISMA DI DEPAN PINTU MAUT

: Anwar Holid


1/

Hari kesepuluh Perang Bharatayudha di padang Kurusetra. Matahari ada di sebelah selatan.


Menjelang petang, akhirnya ksatria tua itu tumbang setelah dihujani panah oleh Srikandi, tanpa perlawanan. Tubuhnya seperti landak, rebah di atas puluhan anak panah yang menyangganya sehingga tidak jatuh di atas tanah.

Seperti ketika ia mengucapkan sumpahnya dahulu untuk hidup selibat, hujan bunga-bunga nan wangi jatuh di Kurusetra yang panas dan penuh darah.

Pertempuran terhenti. Semua pihak tergopoh-gopoh datang menghampiri Bhisma dan memberikan sembah hormatnya. Arjuna membuat bantalan dari anak panah untuk menyangga leher dan kepala kakeknya.

“Aku belum akan mati saat ini. Aku menunggu matahari kembali ke titik baliknya di utara,” kata Bhisma perlahan-lahan pada yang hadir di sekitarnya, baik dari pihak Pandawa maupun Kurawa.

Hanya Bhisma satu-satunya manusia yang bisa menentukan sendiri kapan waktu yang tepat untuk kematiannya.

“Pulanglah, dan hentikan perang yang sia-sia ini. Perang ini tidak ada manfaatnya, perang ini hanya membawa kehancuran dan luka-luka!”

2/

Padang Kurusetra menjadi sepi. Hanya ada kesunyian dan bau anyir darah yang mengambang. Di bawah tenda darurat yang didirikan untuk melindunginya dari panas dan hujan, Bhisma menatap langit malam penuh bintang. Sang Resi mencoba memahami mengapa perang saudara ini harus terjadi.

3/

Ia sadar bahwa semua sebab akan menghasilkan akibat. Sesuatu yang terdahulu menyebabkan sesuatu yang datang belakangan. Sesuatu yang kecil akan bisa mengakibatkan sesuatu yang besar di kemudian hari.

Ia mengingat-ingat bagaimana ia dahulu bersumpah selibat hanya untuk memberikan jalan pada ayahnya menikahi seorang wanita muda, putri seorang nelayan. Apakah ini yang menjadi penyebab?

Ia menolak permintaan ibu tirinya untuk menikahi salah satu dari istri-istri kedua adik tirinya, agar wangsa Bharata punya keturunan. Apakah ini yang menjadi penyebabnya?

Ia mendidik cucu-cucunya, anak-anak Pandu dan Destrarastra sejak mereka kecil. Ia menyayangi Pandawa dan Kurawa sama rata sama rasa, tidak membeda-bedakan keduanya. Tetapi ia melihat mereka berkembang ke arah yang berlawanan. Apakah ini yang menjadi penyebabnya?

Ia bersedih hati ketika Pandawa kalah bermain dadu dan harus mengembara di hutan selama dua belas tahun. Sementara Kurawa memegang kekuasaan di Hastina. Apakah ini yang menjadi penyebabnya?

Ia bisa menerima ketika Pandawa menuntut hak atas takhta Hastina, dan marah dengan penolakan Kurawa. Apakah ini yang menjadi penyebabnya?

Ia sadar bahwa kata-katanya hanya didengar oleh Pandawa, dan diabaikan oleh Kurawa. Apakah ini yang menjadi penyebabnya?

4/

Kata-kata Bhisma tidak bisa menghentikan peperangan. Di hari kesebelas, perang berlanjut kembali. Derap kereta kuda bergemuruh. Panah-panah beterbangan, pedang-pedang beradu, darah dan air mata membasahi bumi.

5/

Ia sadar bahwa kematiannya di perang besar telah digariskan dewata. Ia sadar pula bahwa cara kematiannya adalah karma masa lalunya, ketika ia menolak cinta Amba yang setia mengikuti kemana pun ia pergi. Amba yang tewas tertembus anak panahnya tanpa sengaja. Amba yang bersumpah untuk menitis dalam tubuh prajurit wanita untuk menjemputnya.

Airmata menitik dari sudut matanya.

Dan ketika ia melihat Srikandi hadir di medan perang, ia tahu bahwa waktunya telah tiba. Ia melihat inkarnasi Amba menitis di dalam diri prajurit wanita itu, istri Arjuna. “Aku datang untuk menjemputmu, Kakanda. Kita akan bersama menuju alam keabadian,” kata Amba.

Ia menikmati hujan panah yang diarahkan ke tubuhnya, tanpa perlawanan.

6/

Perang berakhir di hari kedelapan belas. Hanya Pandawa yang datang menjenguk, tak ada lagi Kurawa. Tetapi matahari belum kembali ke titik baliknya di utara. Dan masih ada pertanyaan yang menggantung di depan pintu maut. Kenapa ia bisa sampai terlibat di dalam perang ini?

“Aku tidak memusuhi Pandawa, karenanya aku tidak bertempur melawan mereka. Tetapi aku juga bukan membela Kurawa, walau aku makan dari mereka. Apakah aku benar, ataukah aku salah, ketika aku memutuskan maju berperang membela negeriku, tanah airku?”
tanya Bhisma pada Krishna, sebelum perang pecah.

“Kakek Bhisma, kau tidak bersalah. Tugasmu sebagai ksatria, sebagai prajurit, adalah berperang membela negara. Kau berperang untuk membela negaramu,”
jawab Krishna.

7/

Dan kini, di malam-malam yang panjang, pertanyaan itu menggema kembali. “Apakah aku benar? Apakah aku salah?”

“Dewabrata, anakku, kau telah mengambil keputusan yang benar. Kau lahir dari kelas ksatria. Kau makan dari hasil bumi negerimu, dan kau minum air tanah negerimu sendiri. Sudah tugasmulah berperang untuk membela negara. Keputusanmu sudah benar, anakku,”
bisik ibunya, Dewi Gangga, dalam mimpinya di malam terakhir.

8/

Malam terakhir yang sunyi, malam yang penuh bintang. Bhisma tersenyum dan menutup mata. Wajahnya tenang dan bercahaya.

9/

Matahari telah berada di titik baliknya di sebelah utara.

Semua yang berdaging dan berdarah, akan menjalani penyucian setelah kematiannya. Dari tanah kembali ke tanah, dari cahaya kembali ke cahaya.


Jakarta, 23 – 24 Juni 2009

Urip Herdiman K.

Labels:

1 Comments:

Blogger Unknown said...

Ingin menjadi bagian dalam cerita dan kisah itu...

Gue suka, suka, suka suka sekali ...
terima kasih sudah menuliskannya...

6:36 PM  

Post a Comment

<< Home