The Urheka Project : Mimpi Dalam Mimpi

"All that we see, or seem, is but a dream within a dream." - Edgar Allan Poe, A Dream Within A Dream, 1846.

Sunday, August 21, 2011

TERSESAT DALAM LUPA

Urip Herdiman Kambali

TERSESAT DALAM LUPA

Aku belajar. Aku sedang belajar. Aku selalu belajar. Aku belajar untuk lupa. Aku ingin bisa melupakan apa yang aku baca, apa yang aku lihat, apa yang aku dengar. Aku belajar untuk melupakan apa yang kubaca di suratkabar dan majalah. Aku belajar untuk melupakan apa yang aku lihat di televisi. Aku belajar untuk melupakan apa yang aku dengar dari radio, apa yang aku dengar dari mulut ke mulut.

Aku ingin belajar melupakan banyak skandal, kasus, kejadian, isu, rumor dan entah apapun namanya, yang tidak pernah jelas akhir dari penyelesaiannya. Semua persoalan tidak pernah ada yang selesai. Semua adalah konspirasi, semua adalah pengalihan isu, semua adalah alibi. Semua tidak pernah lepas dari uang dan kursi. Aku pun belajar untuk melupakan nama-nama tikus, kecoa, bangsat, lintah, kutu busuk, benalu dan parasit yang menghiasi ruang publik negeri ini.

Semua selalu diawali dengan sumpah demi Tuhan atau atas nama Tuhan, tetapi akhirnya berakhir sebagai sampah. Di negara ini, Tuhan pun sudah menjadi sampah yang bisa diinjak setiap saat.

Aku masih belajar. Aku sedang belajar. Aku senang belajar. Aku belajar untuk lupa. Aku lupa. Aku lupa apa yang kubaca, aku lupa apa yang kulihat, aku lupa apa yang kudengar. Aku lupa pernah belajar. Aku lupa bahwa aku pernah belajar untuk lupa.

Jakarta, 17 Juni 2011 - 22 Agustus 2011

Labels:

BENDERA PUSAKA

Urip Herdiman Kambali


BENDERA PUSAKA

Bulan Agustus tiba-tiba berdiri di depan pintu. Seperti biasa, bendera Merah Putih ada dimana-mana. Di pinggir jalan. Di gerobak dorong. Semua dijajakan.

Dan tiba-tiba aku pun selalu diingatkan, seperti juga pada tahun-tahun yang lalu. Aku ingin membeli bendera baru. Bendera Merah Putih yang cemerlang dan berkibar gagah di tiang bambu.

Di rumahku, bendera yang ada adalah bendera tua warisan ibu. Merahnya sudah luntur menjadi oranye, putihnya pun sudah menguning. Lebih antik dari bendera pusaka jahitan Ibu Fatmawati.

Tetapi ketika akhirnya Agustus pergi, aku belum lagi membeli bendera baru.

Jakarta, 2 Agustus 2011

Labels:

Tuesday, August 09, 2011

Setangkai Bunga Seribu Tahun Kemudian

Urip Herdiman Kambali

SETANGKAI BUNGA SERIBU TAHUN KEMUDIAN

"I will bring you flowers, in the morning
Wild roses, as the sun begins to shine
..."

Suatu pagi yang cerah. Hujan semalaman baru saja berhenti. Matahari hangat bersinar. Burung-burung bernyanyi di antara ranting pepohonan. Di depan pintu rumah yang mungil, kuletakkan setangkai bunga mawar merah. Segar dan merona.

Dan setelah itu angin menderu-deru. Daun-daun berguguran. Tahun-tahun berlalu menjadi debu. Candi-candi megah dibangun. Candi-candi terkubur dibawah tanah. Raja-raja datang dan pergi, bersama dengan musim yang selalu berganti. Aku tidak lagi menghitung berapa kali aku turun ke bumi.

Sampailah suatu pagi yang cerah. Hujan semalaman baru saja berhenti. Matahari hangat bersinar. Burung-burung bernyanyi di antara ranting pepohonan. Aku berhenti di depan sebuah rumah yang mungil. Di depan pintunya, kutemukan setangkai bunga mawar merah. Masih sama seperti saat kuletakkan dahulu. Segar dan merona.

Aku memungutnya dan menatap bunga mawar itu. Dan kuletakkan setangkai bunga mawar merah yang baru. Di depan pintu hatimu.

Jakarta, 9 Agustus 2011

Catatan :
Petikan dari lirik lagu Flowers in The Morning milik Doris,
yang kemudian dinyanyikan juga oleh Blond
dengan judul I Will Bring You Flowers in The Morning.

Labels:

Saturday, June 11, 2011

Malioboro yang Telanjang

MALIOBORO YANG TELANJANG

Menggigil sepi
di pagi buta
- becak berlalu

Prawirotaman, Rabu, 25 Mei 2011

Urip Herdiman Kambali

Labels:

Friday, April 01, 2011

Petikan III dari "Rembulan, Matahari dan Bayangan"

Petikan III dari “Rembulan, Matahari dan Bayangan”

Lima Kecup untuk Masa Silam

bilik-bilik kasih kasip merenggang
asap-asap tak sedap menyusup riang
di celah-celah yang belalak,
sementara pintu-pintu yang celangak
menyambut girang ciprat-ciprat air parit
gelegar guntur gemuruh meruntuh genting

kujemput pigura anak mata,
yang sebelum badai datang
berhias asmara,
bertabur renjana,
satu kecup di lengan
satu kecup di dahi
satu kecup di punggung tangan
satu kecup di bibir
dan satu kecup yang melambai...
perlahan,
lalu menjauh

Singapura, Oktober 2010

Maureen Sumolang

***

Anak-anak Matahari Penjaga Pintu

Sama-sama anak matahari yang menjaga pintu,
pagi dan senja tak pernah saling bertemu muka.

Pagi selalu berdiri di timur dan bertugas membuka pintu,
membiarkan sinar mentari bertamu dengan hangat.

Senja selalu berdiri di barat dan bertugas menutup pintu,
membiarkan mentari pergi ke balik cakrawala mengejar mimpi.

Pagi dan senja saling mengetahui bahwa mereka ada dan saling
merindukan.
Mereka berkirim kabar melalui angin yang membawa berita,
melintasi piringan jam dinding.
Tetapi itu tidaklah cukup.
Dan mereka pun memutuskan untuk saling berkirim kartu pos.

Senja menerima kartu pos dari pagi, dan membaca kata-katanya,
”Inilah aku, pagi.
Ayah datang dari timur membawa kehangatan.
Lihat senyumnya!”

Pagi menerima kartu pos dari senja, dan membaca kata-katanya,
”Inilah aku, senja.
Ayah pergi ke barat mengejar mimpi.
Lihat punggung dan pantatnya!”

Sawangan, Oktober 2007 – Jakarta, Desember 2010

Urip Herdiman Kambali

Labels:

Wednesday, March 23, 2011

Petikan II dari "Rembulan, Matahari dan Bayangan"

Petikan II dari “Rembulan, Matahari dan Bayangan”

Memento Homo, Quia Pulvis Es,
Et in Pulverem Reverteris


“…sebab engkau debu dan engkau akan kembali menjadi debu.”
Kejadian 3:19

menjelang Rabu Abu

sebuah niat
dalam hening
dalam sujud
bukan beban
bukan uji

hasrat tanggalkan
megah dan ratna
sudi kekang
perangai dan nafsu

sebuah tekad
dalam batin
sebuah janji
pada Ilahi,
terpatri di dahi

Hong Kong, Februari 2010

Maureen Sumolang

***

Kebersatuan, Bukan Keterpisahan

: Ric A.Weinman

“Aku ada dalam Bapa dan Bapa ada dalam Aku,”
sabda Yesus

Aku hanyalah sehelai daun, seperti juga kau
tetapi kita berada pada sebatang pohon yang sama,
pohon kehidupan

Lalu ketika aku menggeser kesadaranku
dari sehelai daun menjadi sebatang pohon
maka tak ada lagi keterpisahan diantara kita

Aku adalah kau
kau adalah aku

Aku merasakan apa yang kau rasakan
aku berfikir seperti apa yang kau pikirkan

Kita adalah satu

Sawangan, Juni 2007

Urip Herdiman Kambali

Catatan :
Diinspirasikan dari buku (terjemahan) Tangan Anda Dapat Menyembuhkan,
karya Ric A. Weinman (seorang healer), 1990.

Labels:

Petikan dari "Rembulan, Matahari dan Bayangan"

Petikan dari “Rembulan, Matahari dan Bayangan”

Lipur

lima kuntum mawar merah
teduh dalam pasu bunga
tabur seribu aroma
ronakan yang hambar
serbak sinar dalam gulita
lima kuntum untuk asmara
yang tlah lampaui sejuta lara

Hong Kong, Maret 2010

Maureen Sumolang

***

(Selangkah Menuju) Selingkuh

1/
Bayangan dan sepi
yang bercumbu
di balik punggung

2/
Bayangan dan sepi
yang bercinta
di depan hidung

Sawangan, September 2007

Urip Herdiman Kambali

Labels:

Tuesday, December 14, 2010




















Urip Herdiman Kambali

BAYANGAN YANG MENARI

: the DanCer

Seperti di negeri yang jauh
Jauh di dalam ingatan
Jauh di masa silam
Jauh di dalam gelap warna hitam
Sebelum kelahiran yang sekarang

Melintasi malam-malam bulan purnama
Yang tak pernah berakhir

Selalu ada yang tertinggal di sudut mata
Sebuah bayangan
Menari di batas cakrawala
Menyambut pagi
Di musim hujan yang panjang
Di tahun tanpa musim kemarau

Menjadi kabur
Di dalam cermin yang kusam

Bogor – Jakarta, 14 -15 Desember 2010

Labels:

Wednesday, November 10, 2010

Dream Express

















Urip Herdiman Kambali

DREAM EXPRESS

Kereta cepat berlari diantara bintang-bintang

Petikan gitar
dentuman bass
denting piano
ketukan pada drum
dan suara yang menghiasi malam kelam

Jelang pagi
nyala api
membakar mimpi

Seseorang menunggu di stasiun berikut
tanpa nama
tanpa wajah
tanpa nomor

Jakarta, 12 April – 8 November 2010

Labels:

Monday, October 11, 2010

Dari Bibir Ke Bibir














Urip Herdiman Kambali

DARI BIBIR KE BIBIR

1/
Bibir yang merah
Bibir yang merekah
Bibir yang resah
Bibir yang gelisah
Bibir yang basah
Bibir yang kering
Bibir yang mengundang
Bibir yang menggoda
Bibir yang mencumbu
Bibir yang mencinta
Bibir yang mungil
Bibir yang tipis
Bibir yang tebal
Bibir yang penuh
Bibir yang dower
Bibir yang kesepian
Bibir yang mengembara

2/
Seperti apapun bibirmu
Dan dimanapun bibirmu pernah singgah
Ada suka, ada cerita
Ada luka, ada derita
Ada duka, ada berita

3/
Dimana sajakah bibirmu pernah singgah?

Depok, 12 Oktober 2010

Labels:

Thursday, October 07, 2010

Dalam Tirai Hujan

Urip HerdimanKambali

DALAM TIRAI HUJAN

Ketika pintu senja terbuka
hujan deras menerpa
meninggalkan tanda tanya

Dedaunan yang basah
merunduk rendah
tanpa mendesah

Depok, 27 September 2010

Labels:

Thursday, September 16, 2010

A Dream Within A Dream




















Urip Herdiman Kambali

A DREAM WITHIN A DREAM

Aku memikirkannya sepanjang malam
aku memikirkannya sepanjang waktu

Aku mendengarkannya sepanjang malam
dalam tirai air hujan
mengalir bersama denting piano
menembus kabut waktu

All that we see, or seem
Is but a dream within a dream.


Aku memikirkan sebuah frase
sejak saat pertama aku menemukannya

Sawangan, 11 Januari 1992 – Jakarta, 22 Januari 2006

Catatan :
A Dream Within A Dream, sebuah puisi dari Edgar Allan Poe, 1846.
Diinterpretasikan oleh The Alan Parsons Project
dalam album Tales of Mystery and Immagination of Edgar Allan Poe,
1976.

Labels:

Monday, September 06, 2010

Potret Bangsa di Sekitar Lebaran

Urip Herdiman Kambali

POTRET BANGSA DI SEKITAR LEBARAN


Setelah sebulan berpuasa
Setelah gali lubang tutup lubang mencari tambahan uang
untuk menyiapkan hidangan sahur dan buka puasa
Setelah jungkir balik mencari tambahan uang
untuk beli baju-baju baru
Setelah menggadaikan barang
untuk mencari tambahan uang biaya mudik
Setelah bersusah payah mencari tiket pergi-pulang
Setelah berdesak-desakan di dalam kereta dan bus antar kota
Setelah menempuh perjalanan jauh di atas sepeda motor
Setelah saling dorong-mendorong
memperebutkan zakat, infak dan sedekah

Minal Aidzin Wal Faidzin...

Setelah kemarahan ditambah kekecewaan
begitu banyak persoalan bangsa ini yang tidak terselesaikan
Setelah kita hanya selalu ribut diantara kita sendiri
Saling menyalahkan, saling menghujat,
saling mencaci maki
Setelah tidak ada seorang pun pemimpin bangsa
yang berani tampil ke depan dan menyatakan bertanggung jawab
atas semua persoalan carut marut bangsa ini
Setelah ada tetangga dari utara masuk ke halaman rumah kita,
menginjak kaki kita di halaman sendiri,
mencuri ikan milik kita dan mengultimatum kita

Maafkan lahir dan bathin...”

Hati-hati dengan makanan dan minuman
di sekitar hari Lebaran
karena akan membuat kolestreol dan kadar gula darah kita melonjak tinggi

Selamat para pemimpin,
Dirinya makmur terjamin
....”

Dan setelah itu kita kembali bertengkar dan berkelahi
kembali melempar batu sembunyi tangan
kembali melihat sandiwara nasional
di layar kaca dan halaman-halaman suratkabar
kembali melihat angka-angka korupsi yang sedemikian tinggi
kembali ke jatidiri bangsa yang mengaku beragama...


Jakarta, 6 September 2010

Catatan :
Mohon maaf untuk pencipta lagu Idul Fitri,
yang pernah dipopulerkan Bimbo.
Syairnya sedikit saya pelesetkan.

Labels:

Wednesday, September 01, 2010

Seorang Wanita Menghias Malam

Urip Herdiman Kambali

SEORANG WANITA MENGHIAS MALAM

: nina yuliana

Kau sedang menghiasi wajah malam
dan aku pun bertanya,
“Seperti apakah wajah malam?”

Kau mungkin juga tidak tahu
seperti apa wajah malam setelah kau menghiasnya.
Aku pun sudah mengantuk untuk memikirkannya.

Setelah subuh,
ketika aku keluar rumah berangkat menuju stasiun
masih sempat kulihat langit pagi,
sisa malam sebelumnya.

Aku tahu seperti apa wajah malam yang kau hias itu.
Kulihat jejak langit malam penuh bintang.

Jakarta, 2 September 2010

Labels:

Tuesday, August 31, 2010

Menonton Para Pencari Tuhan

Urip Herdiman Kambali

MENONTON PARA PENCARI TUHAN

Mencari potongan-potongan Tuhan
diantara pesan sponsor dan canda konyol

Sawangan, 26 Agustus 2010

Labels:

Wednesday, August 25, 2010

Suara yang Mengantarku Bermimpi

Urip Herdiman Kambali

SUARA YANG MENGANTARKU BERMIMPI

: Nana Mouskouri

Di luar,
rintik hujan masih turun
menari dan menyanyi
bersama orkestra desir angin
yang menggoyang dedaunan basah

Di dalam,
masih kudengar suaramu
diantara denting-denting piano
begitu jernih
begitu bening

A day in the life of a fool
A sad and a long lonely day
I walked the avenue and hope I’ll run into
The welcome sight of you coming my way...


Menyelinap ke dalam tidurku

Jakarta, 24 – 25 Agustus 2010

Catatan :
Nana Mouskouri, penyanyi Yunani kelahiran Kreta, 1934.

Labels:

Monday, August 23, 2010

Jejak Dalam Senyap

Urip Herdiman K.

JEJAK DALAM SENYAP

: Toto Sudarto Bachtiar (1929 – 2007)

Kutemukan jejakmu dalam senyap
saat sunyi berbisik pada tengah malam

Membawa mimpi dalam mimpi,
mengembara dari satu mimpi ke mimpi yang lain

Salam untuk malam kelam
salam untuk masa silam

Jakarta, 23 – 24 Agustus 2010

Catatan :
Diinspirasikan dari puisi Senyap milik Toto Sudarto Bachtiar
dalam antologi Etsa, 1976.

Labels:

Monday, August 02, 2010

In The Region of The Summer Stars




















IN THE REGION OF THE SUMMER STARS
(The Tower of Babel)


Setelah banjir besar
Pada awalnya adalah keheningan

(Apa yang kita ketahui tentang Menara Babel?)

Tiupan trumpet
Dengung keyboards
Petikan guitar

Sunyi
Tenang
Bayangan di bawah sinar rembulan

Angin malam yang bertiup sepoi-sepoi
Menyibakkan rambut-rambut

(Apa arti kata ‘babel’?)

Dibangun diantara dua sungai besar
Lebih tinggi, melewati awan
Lebih tinggi, menyentuh langit

(Dimanakah letak Menara Babel?)

Lalu semuanya berubah
Suara guitar meraung
Cepat
Menghentak
Kasar
Bertenaga
Menari disaksikan bintang-bintang musim panas

(Untuk apa Menara Babel dibangun?)

Keangkuhan
Kesombongan
Pemuasan diri

(Siapakah yang membangun Menara Babel?)

“Dari puncak menara ini kita bisa memanah matahari,”
kata Nimrod, putra Cush, putra Ham, putra Nuh

(Kenapa Menara Babel hancur?)

Turunnya kutukan yang mengacaukan bahasa sebuah bangsa
Dan memecahnya untuk terserak ke seluruh muka bumi

Kekacauan
Kekonyolan

Raungan guitar menderu-deru

Keruntuhan
Kehancuran
Puing-puing

Dan senyap...

(Adakah yang tertinggal dari Menara Babel?)

Kelahiran kembali
Pada awalnya adalah keheningan...

Mereka berbicara dalam bahasa yang berbeda-beda

Jakarta, 29 Juli – 3 Agustus 2010

Urip Herdiman Kambali

Catatan :
Diinspirasikan dari nomor The Tower of Babel, dalam album
In The Region of The Summer Stars, milik kelompok The Enid,
Dirilis pertama kali tahun 1976, dirilis ulang tahun 1984.

Labels:

Wednesday, July 28, 2010

Ketika Mata Ketemu Mata

KETIKA MATA KETEMU MATA
(Puisi III dari Tiga Puisi)


1/
Aku turun dari angkot, masuk ke dalam kompleks perumahan tempat kakakku tinggal. Setelah pertigaan kedua, aku berbelok ke kiri dan berjalan sedikit ke tengah. Dan tiba-tiba mobil Trooper hitam itu berhenti mendadak di depanku.

Aku bisa dengan jelas menatap lelaki yang duduk di belakang kemudi itu. Dan aku yakin ia pun bisa melihatku dengan jelas dari dalam. Mata kami saling beradu.

Aku berpikir cepat dalam waktu sedetik itu. Apakah aku harus melangkah ke samping dan memberinya jalan? Ataukah tetap berdiri dihadapan mobil itu dan membiarkan ia melajukan mobilnya?

2/
Aku melihat wanita itu di kereta ekspres. Pertama kali melihatnya, aku pikir ia seekor anak kucing yang imut, manja dan kinyis-kinyis. Setelah aku mendekatinya, ia sudah menjelma menjadi wanita yang jungkir balik mencari biaya untuk menghidupi keluarganya.

3/
Aku mengenal lelaki itu di kereta ekspres juga. Bercakap-cakap setiap pagi. Kupikir ia seorang lelaki yang baik dan kepala rumah tangga yang bertanggung jawab. Tetapi aku kurang suka kalau ia sudah berbicara tentang barang-barang bermerek yang ia kenakan. Mungkin ia butuh dipuji, sementara aku tidak pernah memuji penampilan seseorang.

4/
Aku memperkenalkan keduanya. Namun seperti kata pepatah, kalau sedang jatuh cinta, jangan jalan bertiga, karena orang ketiga akan menjadi setan.

Pengkhianatan memang selalu datang dari orang dekat. Aku tidak tahu pada saat mana ia menelikungku. Ada wanita yang membutuhkan banyak uang, ada pria yang punya banyak uang. Dan tiba-tiba mereka menghilang seperti bayangan ditelan kegelapan.

5/
Hingga akhirnya kabar angin itu berhembus kencang dan menjadi nyata ketika aku harus menjawab pertanyaan istri lelaki itu. “Apakah wanita ini teman Mas?” katanya bertanya sembari menyorongkan sebuah foto wanita cantik.

Aku tidak mengelak dari pertanyaan itu. Dan setelah itu diikuti serentetan pertanyaan lainnya. Kulihat mata ibu itu basah.

6/
Hidup kadangkala seperti kita membuka pintu. Buka pintunya, masuklah ke dalam dan lupakan bahwa pintu itu pernah ada. Kita tidak bisa memutar balik jarum waktu. Tetapi kita bisa saja bertemu kembali dengan masa silam di masa depan. Siapa yang tahu?

7/
Suatu pagi, masa silam itu ada di dalam angkot bersamaku. Kami sama-sama turun di terminal. Lelaki itu masih sempat bertanya dengan muka manis,”Apa kabarnya? Sudah lama ya kita tidak bertemu?”

Aku menatapnya dingin. Aku yakin aku masih bisa memukulnya jatuh saat itu juga. Namun aku memutuskan untuk tidak melakukannya. “Anda salah menegur orang, saya tidak kenal anda.” kataku singkat dan meninggalkannya.

8/
Dan pagi itu, kembali aku bertemu dengannya. Mata ketemu mata.

Aku menatapnya, sementara ia tetap duduk di dalam Trooper hitamnya. Entah berapa lama. Sampai akhirnya aku melangkah ke samping kiri perlahan-lahan, tanpa melepaskan pandanganku padanya. Mobil melaju perlahan, ia setengah menunduk saat melewatiku.

9/
Apa yang kita dapatkan sekarang adalah hasil dari masa silam, dan apa yang kita lakukan sekarang akan menentukan seperti apa kita di masa depan.

Apa yang kita lihat, apa yang kita perlihatkan, tidak lain hanyalah suatu mimpi dalam mimpi.


Jakarta, 27 Juli 2010

Urip Herdiman Kambali

Labels:

Monday, July 26, 2010

Doa Malam Seorang Bandot

DOA MALAM SEORANG BANDOT
(Puisi II dari Tiga Puisi)


1/
Baby Benz itu melambat, dan masuk ke dalam kompleks perumahan. Penjaga pintu gerbang mengangkat portal. “Selamat malam...” katanya pada penjaga.

“Selamat malam, Pak Haji,”
kata penjaga menyapa salamnya.

2/
Ia masuk ke dalam rumahnya. Dilihatnya istri tertidur di sofa. Ditengoknya dua anaknya di kamarnya masing-masing. Anak pertama tak perlu ditengok, karena sudah kuliah di luar kota. Pukul 02.00 dinihari.

3/
Selesai shalat, ia berdzikir. Dan kemudian berdoa.

“Tuhan, terima kasih untuk semua anugerah yang Kau berikan padaku. Istri yang setia, anak yang-anak yang sehat, cerdas dan sedikit bandel. Tidak apa, karena dulu aku juga bandel seperti mereka. Sampai sekarang pun aku masih bandel, tetapi bandel di luar rumah.”

“Tuhan, sudah dua puluh lima tahun aku menikah. Dimulai sejak aku pertama aku datang ke Jakarta, naik turun buskota, mencari order pekerjaan untuk kantor pertama, hingga sekarang aku memiliki semuanya. Kedudukan tinggi. Mobil Trooper dan Baby Benz. Rumah di sini, rumah di kampung, dan villa di Puncak. Tabungan di banyak bank. Tanam uang di sana, tanam uang di sini. Uang datang tanpa sempat aku menghitung lagi. Tuhan, terima kasih atas rezeki yang kau berikan ini. Terima kasih. ”

4/
“Tetapi Tuhan, istri di rumah sudah tidak muda lagi, tubuhnya sudah melebar, sudah tidak menarik lagi, sementara aku merasa masih perkasa. Akupun susah membawanya keluar rumah untuk menghadiri acara-acara. Padahal ia setia walaupun cerewet.”

“Tuhan, di luar rumah, ada perempuan-perempuan muda yang menarik. Mereka selalu manja dan menggoda. Mereka butuh uang untuk tampil trendy, aku punya uang yang mereka butuhkan, dan kudapatkan kehangatan yang tidak lagi kutemukan di rumah ini.”

5/
“ Maafkan aku harus mengatakan ini, Tuhan. Aku sebenarnya ingin menikah lagi, punya istri kedua, ketiga sampai keempat. Aku sanggup membiayainya, tetapi istriku tidak mengizinkan. Jadi aku terpaksa menempuh jalan seperti ini.”

6/
“Tuhan, aku sadar rezeki dari-Mu ini hanya sementara. Ketika aku pensiun dua tahun lagi, aku tidak tahu apakah aku masih bisa memeliharanya, kecuali masa dinasku diperpanjang. Karena butuh biaya besar untuk memelihara perempuan cantik seperti dirinya. Belum lagi masih ada lelaki lain yang mengincarnya. ”

“Tuhan, maafkan aku, ampuni aku. Kalau aku mati, aku berharap bisa masuk surga. Kalaupun tidak, aku sudah pernah merasakan surga di dunia ini.”

7/
“Pertama kuajak, ia malu-malu dan terlihat enggan. Tetapi ketika aku datang dengan Baby Benz dan mengajaknya ke Plaza Senayan, ia begitu senang dan bahagia. Setelah itu, semuanya menjadi mudah. “

“Terakhir Tuhan, aku minta maaf karena untuk mendapatkannya itu, aku telah mengkhianati seorang teman yang memperkenalkanku dengannya. Wanita ini terlalu sayang untuk dilewatkan. Persetan dengan persahabatanku dengannya. “

8/
Ia tersenyum dan merebahkan diri di ranjang. Besok ia masih harus berangkat kerja seperti biasa. Dan malamnya ia sudah berjanji untuk mengajaknya ke Puncak, menghabiskan weekend.

Jakarta, 27 Juli 2010

Urip Herdiman Kambali

Labels: