The Urheka Project : Mimpi Dalam Mimpi

"All that we see, or seem, is but a dream within a dream." - Edgar Allan Poe, A Dream Within A Dream, 1846.

Tuesday, March 30, 2010

Dongeng Tentang Lelaki Yang Mencintai Payung Warna Hitam

DONGENG TENTANG LELAKI
YANG MENCINTAI PAYUNG WARNA HITAM


1/
Setiap sore, ketika langit sudah tampak mendung, ibu akan berkata pada anak kecil itu. “Bawa payung ini dan segera jemput bapakmu di depan pasar.”

Anak kecil itu pun berlari-lari menuju pasar dan menyeberangi jalan, berlomba dengan rintik hujan yang mulai turun. Ia akan menunggu untuk bebrapa saat, sambil memandangi sekeliling warung tempat ia menunggu.

Lalu ketika bus kota tiba, anak itu akan menatap satu per satu siapa yang turun. Jika ada sosok bapaknya, maka ia akan berteriak,”Pak, bapak, di sini, di sini payungnya!”

Ah, anak kecil itu mengatakan ‘di sini payungnya’, bukan tentang dirinya. Ia lebih mementingkan payungnya daripada dirinya sendiri.

Setelah itu, ia pun akan berpayungan dengan bapaknya kembali ke rumah, dibawah siraman hujan menjelang senja.

2/
Suatu hari, ibunya berkata,”Sedia payung sebelum hujan! Jadi kamu akan selalu siap jika hujan turun suatu waktu.”

Anak kecil itu hanya mengangguk-angguk saja.

3/
Hingga suatu hari, setelah agak dewasa, ibunya memberinya dua payung hitam. Yang satu panjang, sepanjang tongkat. Yang satu lagi pendek dan bisa dilipat. “Payung ini adalah payung sakti, warisan dari kakekmu. Ia mendapatkannya juga dari bapaknya. Ibu wariskan dua payung ini padamu. Jaga dua payung hitam ini dengan baik, kamu akan mengerti pada waktunya. Dan kamu nanti harus wariskan payung-payung ini pada anakmu.”

Ah, ibunya tidak memberikan warisan uang yang banyak. Demikian pula bapaknya. Ia hanya mewariskan setumpuk buku dan ribuan prangko. Anak itu mewarisi kecintaan pada payung dan buku, sementara kakak dan adiknya mencintai buku dan prangko.

3/
Setelah dewasa, lelaki itu selalu membawa payung kemanapun ia pergi. Ia selalu punya payung lebih dari satu. Setiap kali ia punya uang, dan bingung mau membeli apa, pilihannya pasti selalu membeli payung. Padahal di rumah, sudah ada banyak payung. Yang hitam, yang merah, yang jingga, yang biru, yang hijau, yang berwarna-warni. Di setiap sudut ruangan, dari ruang tamu di depan sampai kamar kecil di belakang, pasti ada payungnya. Tidak ada ruangan yang tidak ada payung. Ia sendiri tidak pernah menghitung berapa banyak payung yang ia punya.

4/
Ia sekolah membawa payung. Ia kuliah membawa payung. Ia bekerja membawa payung. Ia berkencan membawa payung. Ia bercinta pun dengan payung disebelahnya.

Cinta pertamanya memang pada payung, bukan pada perempuan yang dikencani. Ia lebih sering mengelus payungnya, daripada perempuan yang jalan bersamanya. Karena itu perempuan-perempuan yang dikencani selalu merasa dinomordukan, kalah sama payung yang dibawa lelaki itu.

5/
Payung selalu ada di dalam tasnya. Jika ia tidak membawa tas, maka yang dibawa pastilah payung itu. Dan ia tidak pernah kehilangan payungnya barang sekali pun. Yang lain boleh hilang, asalkan jangan payung.

6/
Suatu malam, ia bermimpi bertemu seorang tua dengan jenggot putih yang panjang, seperti seorang rahib. “Lihatlah dua payung hitammu warisan dari ibu. Jangan lupakan payung –payung itu. Yang panjang untuk bertempur, yang pendek untuk melindungi dirimu sendiri. Jadilah ksatria yang selalu membela keadilan dan kebenaran.”

Paginya, lelaki itu mencoba mengingat-ingat mimpinya. Apakah payung-payung itu juga berfungsi sebagai senjata? Demikian pikirnya.

Namun sejak itu, ia selalu membawa dua payung warna hitam. Ketika ia memegang payung panjang, ia merasa dirinya adalah ksatria abad pertengahan yang membawa tongkat panjang sembari berkuda. Jika ia memegang payung pendek, ia merasa dirinya adalah ksatria dari Singasari yang selalu membawa keris.

7/

Dengan payung hitamnya, ia menjelajahi dunia, berpindah-pindah ruang dan waktu. Kembali ke masa silam, loncat ke masa depan. Menegakkan keadilan dan kebenaran, membasmi kejahatan dan angkara murka.

Ia pun masyhur dengan gelar Ksatria Payung Hitam.

8/
(To be continued)

Jakarta, 31 Maret 2010

Urip Herdiman K.
http://www.theurhekaproject.blogspot.com

Labels:

Monday, March 29, 2010

Pulang

PULANG

: Dadang Rachmat Pudja


Lalu pagi pun tiba,
burung-burung bernyanyi di luar jendela kamar,
sinar mentari menembus tirai.
Pagi yang hangat.

Ia memelukmu erat-erat
seakan tidak ada waktu lagi untuk bertemu.
“Papa pergi ke kantor sebentar ya,
ada urusan yang harus diselesaikan,”
katamu.

Wanita itu tidak menjawab,
matanya hanya terpejam.

Tidak ada kata-kata yang terucap,
tidak ada pesan.

Semua berlalu dengan tenang
saat kau merebahkan dirinya di pembaringan.

Semua telah siap untuk pulang
karena ia pun telah memintanya.

Sebelum matahari meninggi
kau telah kembali.

Kau menatapnya sesaat
lalu berjalan ke ruang perawatan bertemu dengan para perawat.
Ketika kau berjalan menuju lantai bawah,
handphonemu bergetar.
Air matamu jatuh

Semua telah selesai,
semua telah berakhir.
Perjalanan dua setengah tahun yang panjang
dari rumah sakit satu ke rumah sakit yang lain,
dari satu penyembuh ke penyembuh berikutnya.
Berjuang melawan kanker payudara.

Dan kau membawanya pulang ke rumah,
karena ia memang telah meminta untuk pulang.


Jakarta, 5 – 29 Maret 2010

Urip Herdiman K.

Catatan :
Mengenang Irma Rachmawati (6 Juni 1970 – 10 Agustus 2009)

Labels:

Thursday, March 25, 2010

Mendengarkan Old And Wise, Maaf...

MENDENGARKAN OLD AND WISE, MAAF...

“...And someday in the mist of time
When they asked me if I knew you
I’d smile and say you were a friend of mine
And the sadness would be lifted from my eyes
Oh when I’m old and wise...


Setiap mimpi pasti akan berakhir. Dan ketika mimpi cepat itu pecah, aku menemukan diriku terjatuh. Aku tidak tahu, apakah mimpi itu berakhir lebih dahulu kemudian aku terjatuh. Ataukah aku terjatuh lebih dahulu kemudian mimpi itu berakhir.

Semua berawal ketika aku salah membaca pikiranmu. Aku salah menangkap maksudmu. Akhirnya, aku pun salah ketika harus berbicara.

Ketika kesalahanku disiram kemarahanmu, menyalakan api kemarahan didalam diriku juga. Tiba-tiba aku kehilangan kendali diriku. Kemarahan ini membuatku sangat lelah, aku kehilangan energi sendiri. Aku kehilanganmu di saat aku merasa begitu dekat.

Aku tahu luka itu tidak akan hilang begitu saja. “Times heal,” tulismu singkat. Mungkin waktu akan menyembuhkan, tetapi tidak akan melupakan. Luka itu, sakit hati itu, akan menetap perlahan-lahan di bagian tubuhmu. Entah dimana. Mungkin di bagian tubuh yang lemah, yang sangat merasakan perih akibat kata-kataku. “Maaf...,” kataku berbisik.

Dan aku pun tidak akan pernah bisa lepas dari rasa bersalah ini. Rasa bersalah ini juga akan menetap di bagian tubuhku yang lemah, di bagian tubuh yang seharusnya memikul tanggung jawab itu.

(Semua yang terjadi karena pikiran, perkatan dan perbuatan kita, akan terbawa menembus pintu-pintu perjalanan jiwa.)

Aku telah berbicara pada angin untuk tidak melukai hatimu. Tetapi aku tidak tahu apakah angin mendengarkanku. Aku pun telah berbicara pada waktu. Tetapi detik jam terus melaju, hari berlalu, meninggalkan aku duduk termangu. “Maaf...,” kataku berbisik lewat jarum jam.

“...And someday in the mist of time
When they ask you if you knew me
Remember that you were a friend of mine
As the final curtain falls before my eyes
Oh when I’m old and wise
As far as my eyes can see...


Sawangan – Jakarta, 26 Maret 2010

Urip Herdiman K.

Catatan :
Petikan lirik Old and Wise dari The Alan Parsons Project
dalam album Eye in The Sky, 1981.

Labels:

Thursday, March 04, 2010

Bayangan yang Mengendap-endap Mengintip Kesempatan

BAYANGAN YANG MENGENDAP-ENDAP
MENGINTIP KESEMPATAN


: Riana Sudarma


(Caesar terhuyung-huyung.
Tubuhnya bermandikan darah.
Ia duduk terjatuh.
Sesosok bayangan mendekatinya.
Caesar menatapnya.
“Kau juga, Brutus?” tanya Caesar.

Bayangan itu tidak menjawab, tetapi menghunjankam belatinya.

Tanggal 15 Maret 44 SM.
Julius Caesar menghadiri sidang Senat di Roma.
Caesar dihabisi komplotan yang dipimpin
Marcus Junius Brutus, orang kepercayaannya.
Ia tewas dibawah patung lawan politiknya, Pompeius
)

1/
Pengkhianatan?
Pengkhianatan seperti sebuah bayangan
yang selalu mengikuti diri kita.
Ia tidak akan berdiri jauh,
tidak akan pernah,
karena pengkhianatan tidak akan datang dari orang jauh.

Ia mungkin saja berdiri dekat dengan kita,
sangat dekat
tetapi kita tidak menyadarinya.
Seperti saat kita berdiri di tempat teduh,
dan bayangan pun menghilang.

2/
Pengkhianatan?
Pengkhianatan adalah bayangan yang mengendap-endap
mengintip kesempatan di dalam kesempitan.
Ia berjalan bersama kita
dalam diam sembari membisu seribu bahasa.
Ia bisa makan malam bersama kita,
tertawa sepanjang malam.

Atau mungkin ia sembunyi di bawah selimut,
tidur bersama kita.
Mungkin sekali kita mengenal bibirnya,
permainan lidahnya
dan lekuk-lekuk tubuhnya.

3/
Tetapi darimana pengkhianatan dimulai?
Apakah ketika pikiran ini terbelah
dan melihat kesempatan itu terbuka?
Atau ketika kesempatan itu terbuka
dan pikiran menjadi terbelah?
Ataukah karena lidah yang tidak bertulang ini bercabang?
Entahlah...

4/
Lalu ketika bayangan bersembunyi dalam keteduhan,
ketika kita tidak berpikir bahwa ia akan melakukannya,
tiba-tiba saja ia akan menghunjamkan
sebilah belatinya di dalam kegelapan.

“Ugh!”

Mungkin tidak ada darah yang menetes,
tetapi luka itu akan terus terbawa menembus
pintu-pintu kelahiran dan kematian.

5/
Pengkhianatan tidak pernah datang dari orang jauh,
ia akan datang dari orang dekat,
sangat dekat.

Mungkin ia ada di dalam diri kita sendiri,
mungkin ia adalah kita sendiri.

Pernahkah kau mengkhianati pikiranmu sendiri,
hati nuranimu sendiri?

Maaf,
aku hanya bertanya saja padamu,
karena kebetulan aku sedang bercermin.

6/
Pengkhianatan bisa datang dari mana saja,
tetapi ia tidak akan datang dari orang jauh,
ia datang dari orang dekat.

7/
Hati-hati dengan orang terdekat.

Hahaha...!

Jakarta, 18 Februari – 5 Maret 2010

Urip Herdiman K.

Labels:

Wednesday, March 03, 2010

Perempuan yang Berjalan Dalam Letih

PEREMPUAN YANG BERJALAN DALAM LETIH

1/
Let’s talk about me for a minute
Well how do you think
I feel about what’s been going on...


2/
Seberapa jauh kau sudah berjalan memanggul keletihan itu?
Seberapa jauh kau melangkah meninggalkan luka dan sepi
yang pernah kulihat di matamu,
dan menetap di dalam hatimu?

Kau memutuskan tidak perlu lagi mencari,
menolak maupun membenci,
karena kau merasa letih.
Kau mencoba belajar untuk menerima
karena dengan menerima kau merasa lebih baik.

3/
Lalu tiba-tiba kau berpikir tentang kematian.
Kematian?
Ah, ada banyak arti kematian yang dijual di toko-toko buku.

Kematian adalah situasi batas terakhir,
kata Karl Jaspers,
dan tak ada orang yang pergi ke sana lalu kembali.

4/
Banyak orang yang melihat kematian sebagai jalan keluar
dari semua persoalannya.
Mereka berpikir jika mereka mati, maka persoalan akan selesai.
Tidak, kematian tidak menyelesaikan persoalan.

Kematian terjadi hanya pada tubuh,
tidak pada jiwa.
Ketika tubuh mati, jiwa melanjutkan perjalanan.

(Hmm..., maaf, aku percaya pada kehidupan yang berulang kali,
bukan pada satu kali kehidupan.)

Ketika seseorang dilahirkan,
maka yang sudah dipastikan adalah sertifikat kematiannya.
Pada hari apa, jam berapa dan dengan cara apa.

5/
Let’s talk about you and your problems
All that I seems to do is spend the night
Just talking ‘bout you and your problems
No matter what I say I can’t get it right...


6/
Mengapa tiba-tiba kau berpikir ingin mati?
Apakah kau hanya akan duduk berpangku tangan saja
menunggu kematian itu datang?
Aku yakin kau tidak seperti itu.
Ada yang bisa kau kerjakan dengan jarum-jarum di tanganmu.

Diri kita seperti ini adalah akibat dari masa (kehidupan) lalu kita,
dan apa yang kita lakukan sekarang,
akan menentukan seperti apa kita di masa (kehidupan) yang akan datang.

7/
Lalu tiba-tiba kau berbisik,
“Aku berharap bisa memutus rantai kehidupan dan kematian ini!”

Samsara?

“Samsara!’
bisikmu dibawah sinar mentari pagi.

Saat dimana rantai kehidupan dan kematian terputus
mencapai tahapan arahat
yang tidak lagi harus hidup dalam wujud apapun
dalam tingkatan alam manapun.

Kau mengenali perasaan itu dan mencoba mengendalikannya
tanpa meneruskan menjadi keinginan.

Di saat itu,
kematian tidak lagi menjadi persoalan.

Kelahiran bukanlah awal, kematian bukanlah akhir,
kata Chuang Tzu jauh sebelum masehi.

8/
Kutemukan kau saat sedang duduk di atas bunga teratai
dan kau masih akan duduk terus untuk waktu yang lama.
Tak peduli apakah orang akan ingat padamu atau tidak,
tak peduli apakah kau diinginkan atau tidak.

Dengan duduk,
kita adalah bagian dari alam semesta ini.

9/
Atau ketika kita sujud,
saat dahi menyentuh lantai,
maka kita hanyalah setitik debu saja di hadapan-Nya.

10/
Talk about me for a minute
I’m the one who’s losing
Talk about me, for a minute
I’m the one who’s always losing out...


Jakarta, 18 Februari – 4 Maret 2010


Urip Herdiman K.

Catatan :
Petikan dari lirik lagu Let’s Talk About Me, milik
The Alan Parsons Project dalam album Vulture Culture, 1985.

Labels:

Tuesday, March 02, 2010

Aku Melihat Luka dan Sepi di Hatimu

AKU MELIHAT LUKA DAN SEPI DI HATIMU

: FN

Kau kirimkan email padaku dan kubaca permintaanmu.
tetapi apa yang bisa kutulis tentangmu,
kecuali apa yang kulihat dan kuingat?

Aku tak tahu banyak tentangmu,
aku tak kenal siapa kau
dan kita tak pernah dekat

Aku masih ingat titik di antara dua alis matamu
dan rambut berwarna kekuningan saat pertama bertemu
serta seorang anak yang selalu kau pangku

Kau selalu datang dan hadir membawa keceriaan
mengingatkanku pada iklan sebuah minuman ringan untuk berbagi ceria

Suara dan tawamu menjangkau sudut-sudut ruangan
tempat di mana kita berkumpul,
dan kau bertanya,
“Ngapain lo ngelihatin gue terus?”

Hahaha...:-)
Karena kau lebih banyak mengunyah dan bicara daripada bekerjanya

Lebih dari itu,
aku menangkap kesan bahwa kau selalu ingin diingat
seolah khawatir bahwa orang-orang akan melupakanmu

Hingga malam itu saat kau baru datang
tiba-tiba mata kita bertemu pandang
mataku dan matamu sempat saling menatap
dan aku percaya bahwa mata adalah jendela hati

Adakah sesuatu yang ingin kau katakan padaku?
Atau sesuatu yang ingin kau ceritakan?
Aku melihat luka dan sepi di hatimu

Mungkin aku salah,
maafkan,
karena aku hanya menulis berdasarkan apa yang kulihat,
apa yang kuingat

Jakarta, 10 - 12 Januari 2007

Urip Herdiman K.

Labels: