The Urheka Project : Mimpi Dalam Mimpi

"All that we see, or seem, is but a dream within a dream." - Edgar Allan Poe, A Dream Within A Dream, 1846.

Friday, February 06, 2009

Betis Ken Dedes

BETIS KEN DEDES

Ken Dedes turun dengan hati-hati dari kereta kencana,
sedikit mengangkat kainnya,
dan menginjakkan kaki ke dingklik di bawah.
Melangkah dengan anggun
kaki kanan pertama
kaki kiri kemudian.

Pagi yang ceria
ketika matahari tersenyum hangat
dan angin bertiup nakal
menyingkap ujung kain
memperlihatkan betis sang permaisuri

Aih…

Betis yang indah bak puting padi,
betis yang memancarkan sinar;
betis seorang wanita nareswari.

Tanpa sengaja seorang pengawal utama melihat betis kiri Ken Dedes.
Membuatnya terkejut, terpaku sesaat dan terpesona.
Kelelakiannya bangkit mengaum bagai singa.

Berhari-hari Ken Arok, pengawal itu,
tidak bisa tidur,
tak bisa memicingkan matanya.
Selalu terbayang-bayang dengan apa yang dilihatnya pagi itu,
di Taman Baboji.

Dan berhari-hari kemudian
betis itu masih ada di dalam matanya
melekat dalam pikirannya.

Tumbuh menjelma sebilah keris sakti yang haus darah,
menjadi sejarah.

Jakarta, 3 – 4 Februari 2009

Urip Herdiman K

Labels:

Pertamina dan Stigma Negatif (Revisi)

PERTAMINA DAN STIGMA NEGATIF
(Revisi)

Stigma, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, diartikan (1) ciri negatif yg menempel pd pribadi seseorang krn pengaruh lingkungannya; (2) tanda.

Keluarga tapol yang terkait Peristiwa G.30.S/PKI terkena stigma ‘kiri’. Aktivis Petisi 50 terkena stigma ‘pembangkang’. Megawati terkena stigma ‘pendiam’. Amien Rais punya stigma ‘plin-plan’. Tim nasional PSSI tidak bisa lepas dari stigma ‘kalah melulu’. Dan lain-lain. Termasuk BUMN terkena stigma ‘kinerjanya buruk’. Di sini, stigma menjadi semacam kutukan yang diterima turun-temurun, dari generasi ke generasi. Dan sulit untuk menolak atau menghindarinya, apalagi menghapusnya. Mungkin sampai terbawa ke dalam mimpi.

Minggu malam, 18 Januari 2009 sekitar pukul 21.30, Depot Plumpang di Jakarta Utara, milik Pertamina, meledak dan mengakibatkan kebakaran dahsyat sepanjang malam. Ketinggian api sampai 100 meter, bisa dilihat dari jarak 20 Km dari lokasi, sementara suasana panas karena kobaran api terasa sampai sejauh sekitar 1 Km dari pusat api.

Sebelumnya, kita hiruk pikuk dengan kasus minyak Zatapi. Belum sampai sebulan yang lalu, kita dipusingkan dengan (berita-berita) ‘hilangnya’ Elpiji (LPG) dari pasaran selama beberapa hari. Baru pulih dari demam LPG, disusul dengan krisis BBM di sekitar pergantian tahun 2008 menuju 2009. Krisis BBM reda, lalu tiba-tiba muncul kasus ledakan Depot Plumpang.

Ada apa dengan Pertamina? Kenapa segala sesuatu yang terjadi di BUMN itu selalu menarik perhatian orang?

Pertamina tentu saja baik-baik. Hehehe… Yang tidak baik adalah orang yang selalu ingin campur tangan urusan intern Pertamina, atau selalu mencari keuntungan dari semua persoalan yang dihadapi Pertamina.

Dalam banyak hal yang berkaitan dengan energi minyak dan gas bumi di negara ini, Pertamina selalu berada dalam keadaan serba salah. Hal ini bisa terjadi karena tidak banyak yang menyadari posisi hukum Pertamina.

Pertamina, yang didirikan pada 10 Desember 1957, pernah berkembang menjadi konglomerasi BUMN pertama di Indonesia, dibawah Ibnu Sutowo sampai kejatuhannya tahun 1975 karena terbelit skandal keuangan ratusan juta dollar tahun itu. Pertamina saat itu, sesuai dengan UU No. 8 tahun 1971 tentang Migas (ini satu-satunya undang-undang tentang badan usaha milik negara) mengemban dua tugas utama. Pertama, Pertamina sebagai regulator dimana semua kontraktor production sharing (KPS) tunduk pada Pertamina. Dan kedua, Pertamina sebagai player. Namun di era ini, peran Pertamina sebagai regulator yang lebih menonjol. Bahkan di tahun 1980-an, selama beberapa tahun APBN Indonesia ditulangpunggungi hasil dari ekspor minyak dan gas bumi. Tidak salah, karena saat itu produksi minyak Indonesia sedang top mendekati 2 juta barrel dengan jumlah penduduk masih di sekitar angkat 130 – 140 juta jiwa.

Inilah yang membuat orang melihat Pertamina dilihat sebagai agent of governement, tidak lebih dari kepanjangan tangan Pemerintah. Pertamina masuk ke semua sektor, seperti perhotelan, perumahan, pertanian, pupuk, penerbangan, dan lain-lain. Semua datang ke Pertamina untuk minta duit, termasuk Pemerintah. Sehingga Ibnu pun sering disebut sebagai presiden bayangan.


Namun pada saat yang sama, terjadilah pembusukan itu. Sehingga image Pertamina sebagai sarang korupsi mulai tumbuh dari era ini. Pertamina tidak perlu aktif berbisnis, semua datang ke Pertamina untuk berbisnis. Tidak ada satupun konglomerat Indonesia yang mulai tumbuh di tahun 1970-an hingga 1990-an, eranya Soeharto, yang tidak karena uang minyak Pertamina. Tetapi dari era inilah, BBM mulai disubsidi Pemerintah, yang sebenarnya merupakan politik Soeharto untuk membungkam masyarakat.

Zaman berubah, Soeharto jatuh, undang-undang pun berganti. Pertamina tunduk pada UU No. 22 tahun 2001. Peran Pertamina sebagai regulator diserahkan pada BP Migas (Badan Pelaksana Migas) di sektor hulu, yang embrionya adalah BPPKA, sebuah badan di dalam Pertamina untuk mengatur kontraktor production sharing (KPS). Sementara di sektor hilir, dibentuk BPH Migas (Badan Pengatur Hilir Migas). Dan Pertamina dikembalikan sebagai entitas bisnis yang harus mencari profit. Sebagai entitas bisnis, Pertamina juga tunduk pada UU tentang Perseroan Terbatas. Sehingga pada 2003, Pertamina pun berdiri sebagai badan hukum dengan nama PT Pertamina (Persero).

Namun, sebagai BUMN, Pertamina tetap harus mengemban tugas-tugas yang diberikan Pemerintah, yang dikenal sebagai public service obligation (PSO). Masyarakat mengenalnya sebagai BBM Bersubsidi, yaitu Premium, Kerosene (minyak tanah) dan Solar (boleh disingkat PKS tetapi bukan partai, atau PSK tetapi bukan pelacur). Dengan kata lain, tidak banyak yang berubah.

Posisi inilah yang tidak disadari masyarakat. Mereka terlena dengan jargon bahwa Indonesia negeri yang kaya, kaya sumber daya alam, kaya minyak dan gas. Tetapi mereka lupa bahwa jumlah penduduk bertambah lebih cepat, sementara jumlah produksi menurun lebih cepat lagi. (Dan jangan lupa, negeri yang kaya minyak dan gas, anehnya, terkena semacam kutukan. Pemerintahannya yang tidak demokratis, atau masyarakatnya menjadi malas dan tidak mau berpikir, atau jatuh miskin dan terlibat utang luar negeri yang besar)

Semua bisnis yang disubsidi, adalah bisnis yang tidak sehat. Itu dikatakan sendiri oleh Prof. Soebroto, mantan Menteri Pertambangan dan Energi yang flamboyant dengan dasi kupu-kupunya. Contohnya BBM yang bersubsidi, tarif listrik PLN, tarif ekonomi Kereta Api Indonesia, tarif Pelni, dll. Semua adalah bisnis yang tidak sehat secara ekonomis. Perusahaannya tidak sampai collapse atau ambruk, tetapi sering mengalami demam, meriang, batuk dan bersin.

Saya bisa mengerti, tidak sehat karena sebenarnya supply and demand yang riil seringkali tidak didapatkan, dengan berbagai alasan politis atau manipulasi. Ditambah berbagai penyimpangan di lapangan yang sulit dijangkau hukum, termasuk pengoplosan dan penyelundupan BBM ke luar negeri karena adanya disparitas harga. Inilah yang dimanfaatkan para petualang.

Misalnya contoh kasus konversi minyak tanah ke Elpiji 3 Kg. Target semula tahun 2014, maju menjadi 2012, maju lagi menjadi 2010, sampai akhirnya harus selesai tahun 2009 ini. Jelas target program yang dicanangkan Wapres Jusuf Kalla terlalu kental dengan nuansa politisnya. Akibatnya, percepatan pembangunan infrastruktur dan pasokan harus berlomba dengan target politis Sang Wapres memasuki gelanggang Pemilu dan Pilpres 2009.

Dalam beberapa kesempatan, seorang petinggi Pertamina mengatakan bahwa di Indonesia ini, tidak ada sektor kehidupan yang tidak lepas dari (produk) Pertamina, bahkan 24 jam. Mulai dari isi tanki mobil atau motor kita, pelumas yan dipakai, bahan bakar di dapur, lilin, plastik, aspal jalanan, dan masih banyak lagi, lebih dari 100-an, produk turunan yang berasal dari minyak dan gas bumi.

Pertamina berbisnis di bisnis minyak dan gas bumi. Banyak pihak yang ingin menikmati uang hasil minyak ini. Mulai dari anak-anak Presiden Soeharto, kroninya, pensiunan jenderal-jenderal, orang-orang partai politik. Dalam suatu kesempatan wawancara dengan Prof. Dr. Bambang Permadi S. Brodjonegero, Dekan FE-UI saat ini, berkaitan dengan Seminar Mafia Minyak di UI, menyebutkan begitu banyak orang yang tertarik dengan uang minyak ini dan bermain di belakang layar.

Dalam hal PSO, Pemerintah memberikan tugas pada Pertamina, dan Pertamina tidak pernah bisa menolaknya. Ketika terjadi suatu krisis, Pemerintah tidak pernah membela Pertamina, dan Pertamina pun tidak bisa menyalahkan Pemerintah. Karena hitungan bisnis yang riil tidak selalu matching dengan perhitungan politis yang selalu berubah-ubah setiap saat.

Di tengah Pertamina yang terus disorot karena stigma beban warisan KKN yang dipikulnya dan upaya transformasi yang tengah dilakukan, ada sisi lain yang gelap, yang luput dari sorotan masyarakat. Apapun upaya Pertamina memperbaiki citranya, selalu ada cap negatif yang siap ditembakkan bila terjadi sesuatu dengan Pertamina. Dan setelah itu, berbagai isu dan teori muncul beredar, seperti yang bisa kita baca di media massa atau kita dengar dari media elektronik.

Ditambah ini adalah tahun politik, dimana Pemilu dan Pilpres akan digelar. Partai-partai butuh uang banyak untuk kampanye politiknya. Maka jangan heran kalau posisi direksi Pertamina digoyang, yang sebenarnya dibelakang itu adalah pertarungan partai-partai politik untuk menempatkan orangnya. *** (UHK, 19 – 30 Januari 2009)

Labels: