The Urheka Project : Mimpi Dalam Mimpi

"All that we see, or seem, is but a dream within a dream." - Edgar Allan Poe, A Dream Within A Dream, 1846.

Thursday, November 29, 2007

The Virgin and The Gypsi

THE VIRGIN AND THE GYPSI
(Steve Hackett)

A Gypsi compliment for (kneel down)
The scent of tyranny’s daughter (we are found)
At seventeen were bled in wild cream

Passing milk thistle by
Fox on the run
Old ragged robin flies
Virtue undone

A garland of green flower (field of time)
Surround a silver smoke tree (yours and mine)
Sweet marigold, not easy to find
Passing milk thistle by…

Catatan :
Dipetik dari album Steve Hackett, Spectral Mornings, 1979.
Pete Hicks – vocals
John Hackett – concert & Chinese bamboo
Nick Magnus – keyboards
Steve Hackett – guitars, backing vocals

Panah Tidak Dibuatnya, Kepaklah yang Dikibaskannya

Panah Tidak Dibuatnya, Kepaklah yang Dikibaskannya

: UHK

Dulu kuanggap kupu-kupu adalah kakekku. Maka perempuan kecil itu berseru,"kakek datang, kakek datang". Digiringnya kupu-kupu itu perlahan dengan sapu agar dapat masuk ke dalam kamar tidurnya. Berharap akan ada belaian lembut dari kakek yang tidak pernah dikenal sepanjang hidupnya.

Lucunya. Perempuan kecil itu sering kali bermimpi terbang dan melayang-layang di udara. Hingga juga begini dewasa. Tidak ada sayap, tidak ada juga kepak selayaknya seekor kupu-kupu. Tapi perempuan kecil itu bisa menari-nari di angkasa.

”Apakah kepak sayap kupu-kupu kecil di hutan belantara Brazil akan menghasilkan angin tornado di Texas?”

"Aah, manalah tau!"
Tapi perempuan kecil itu percaya kalau kepak kupu-kupu dapat menggelitik isi perutmu. Apalagi ketika kau bertemu dengan yang cantik atau rupawan. Dia dapat mendesirkan angin halus-halus di dalam hatimu. Hingga menderu-deru tak menentu.

Perempuan kecil itu kini sudah menjadi dewasa. Tigapuluh usianya.
Ia bangunkan kepaknya sendiri. Diberikannya warna yang ia mau. Djingga bertabur bubuk cemerlang berwarna ungu. Disobek-sobekannya sedikit ujung kepaknya yang licin. Agar terlihatlah motif yang tergirai melambai-lambai hingga menyapu peluh.

Begitulah kepaknya dibuat. Hingga ia menjadi begitu cantik dan jelita. Yang demi membiarkan kepaknya terperangkap pada jaring-jaring kupu yang dibawa oleh tangan gadis-gadis lucu. Atau sengaja menaburkan abu kepaknya di lorong hati yang tak menentu. Lalu hinggap pada hati seorang tua yang selalu merindu. Aah, siapa yang tau.....

Tuan Ksatria Karna memang benar, panah tidak dibuatnya. Kepaklah yang dikibaskannya. Mana tau hati Tuan Karna dapat pula merindu, biarlah waktu yang akan memberitahu. Siapa kelak yang akan jatuh terpanah terlebih dahulu. Bukankah begitu, Tuanku?

Jakarta, 29 November 2007

Vera Ernawati

Wednesday, November 28, 2007

Kupu-kupu, Chuang-Tzu dan Lorenz

KUPU-KUPU, CHUANG-TZU DAN LORENZ

: Vee

1/
Suatu pagi yang cerah, seekor kupu-kupu masuk ke dalam ruang tamuku.
Mataku mengikutinya kemanapun ia pergi.

Kupu-kupu selalu terbang bebas membawa kerendahan hati,
pengorbanan, perdamaian dan cinta.
Ada yang mengatakan kehadiran kupu-kupu akan membawa tamu.
Ada juga yang mengatakan akan ketemu jodoh.

Adakah tamu yang akan datang karenanya?
Atau adakah pesan yang ia bawa dari seseorang?

2/
Alkisah di zaman dahulu kala,
Chuang Tzu, seorang filsuf di China, tertidur.
Dalam tidurnya ia bermimpi menjadi seekor kupu-kupu
yang selalu terbang kesana-kemari.
Bebas, riang gembira dan bahagia.

Ketika ia terjaga dari mimpinya, ia mencoba mengingat-ingatnya.
Dan perlahan-lahan ia pun bertanya pada dirinya sendiri.
Apakah ia seorang manusia yang menjelma menjadi seekor kupu-kupu
dalam mimpinya,
ataukah ia seekor kupu-kupu yang menjelma menjadi seorang manusia
dalam kehidupan nyata?

Aku tersenyum menatapnya.
“Apakah kau seseorang yang nyata atau memang hanya seekor kupu-kupu?”
kataku bertanya

Ia pun terbang lagi

3/
Di zaman modern ini, kupu-kupu menjadi menarik
ketika orang bicara tentang efek kupu-kupu dalam teori chaos,
temuan tidak sengaja Edward Lorenz,
seorang professor meteorologi di MIT,
tahun 1961.
Sehingga terkenal dengan kata-katanya,
”Apakah kepak sayap kupu-kupu kecil di hutan belantara Brazil
akan menghasilkan angin tornado di Texas?”

Apakah segala sesuatu di alam semesta ini selalu saling terkait?
Begitu tipis batasan di antara keteraturan dan kekacauan,
lebih tipis dari yang pernah kita pikirkan.

Aku percaya bahwa segala sesuatu saling terkait.
Yang satu mendahului yang lain, yang satu di belakang yang lain.
Yang satu menyebabkan yang lain.
Tidak ada yang kebetulan.

4/
Kupu-kupu selalu ada di dekat kita, setiap saat,
mungkin di halaman rumah pada pagi yang cerah,
siang yang terik atau senja yang romantis.
Tetapi mungkin tidak semuanya sempat memberikan perhatian.

Kupu-kupu yang mungil dan cantik, dengan sayap penuh warna,
hinggap dari satu bunga ke bunga yang lain.
Terkadang tersesat masuk ke dalam rumah.

Aku masih menatapnya.
“Kau tidak perlu menjawabnya, sekarang atau nanti,”
kilahku pendek.
“Biar waktu yang akan menjawabnya.”

5/
Kau adalah kupu-kupu itu sendiri,
yang selalu bebas dan ceria, penuh warna.
Tidak masalah apakah kau seseorang yang menjelma sebagai kupu-kupu,
ataukah seekor kupu-kupu yang menjelma sebagai seseorang.
Tidak masalah apakah kau menyebabkan sesuatu di tempat lain.
Mungkin ada yang tiba-tiba jatuh hati padamu, mungkin juga tidak.

Tetapi apakah kepak sayap kecilmu
selalu membuat banyak orang jatuh hati terpanah?
Aih!

Jakarta, 26 – 29 November 2007

Urip Herdiman K.

Tuesday, November 27, 2007

Ada Apa Dengan Janda?

ADA APA DENGAN JANDA?

yang lelaki selalu ingin menggodanya
yang perempuan selalu waswas curiga

tetapi kenapa janda selalu menarik perhatian orang di sekitarnya?
hohoho…

mungkin karena ada pintu belakang yang tidak terkunci

Sawangan, 17 Oktober 2007

Urip Herdiman K.

Thursday, November 22, 2007

Gemini

GEMINI
(The Alan Parsons Project)

Watching waiting rising falling
Listening calling drifting
Touching feeling seeing believing
Hoping sending leaving
I couldn’t say why you and I are Gemini
If I tried to write a million words a day
I see your shadow coming closer
Then watch you drifting away

Watching waiting rising falling
Listening calling drifting
Touching feeling seeing believing
Hoping sending leaving
I couldn’t say why you and I are Gemini
We are traveling a million worlds away
I see your shadow coming closer
Then watch you drifting away

Catatan :
Dipetik dari album The Alan Parsons Project berjudul Eye in The Sky, 1982.
Musik : Alan Parsons
Lirik : Eric Woolfson
Lead vocal : Chris Rainbow
Bass : David Paton
Drums & percussion : Stuart Elliot
Guitar : Ian Bairnson
Keyboards : Eric Wollfson, Alan Parsons
Fairlight programming : Alan Parsons
Sax : Mel Collins

Siluet

SILUET

selalu ada yang datang
dan pergi,
tak ada yang tinggal

Jakarta, 22 November 2007

Urip Herdiman K.

Monday, November 19, 2007

{Diskusi 2 Pekan Apsas} Concept Anthology (4 - Terakhir)

Concept Anthology :
Alternatif Dalam Penggarapan Kumpulan Puisi

(Bagian 4 - Terakhir)


Sebuah Alternatif yang Menarik

Ketika tahun 2005 saya menyusun antologi puisi saya pribadi, Meditasi Sepanjang Zaman di Borobudur, saya masih berpikir menyusun antologi itu sebagai antologi puisi konvensional, namun saya menempatkan tiga puisi Meditasi Panjang di Borobudur 1 – 3 dan Borobudur sebagai kerangka utamanya. Dan kemudian seorang teman melihat ada tema yang lebih besar dalam buku itu yang ia lihat, yaitu tema penjelajahan spiritual dan hubungan dengan Tuhan, yang tercermin dalam puisi-puisi Poison Arrows, Nyanyian Peziarah, Chiffer, Transendensi yang Bersembunyi, Impian Abdi dan Aku Makhluk Cahaya. Hal ini mengingatkan ia pada model kerja para musisi rock yang menghasilkan album-album konsep. Ia melihat bahwa puisi-puisi saya ditulis itu bukan berdasarkan ilham, tetapi memang sengaja di-design setelah membaca sebuah buku atau mendengarkan lagu.

Mungkin ia benar, walau saya tidak terlalu berani membenarkan sepenuhnya. Jadi saya hanya berani menyebutnya – setengah bercanda - antologi pertama saya itu sebagai semi concept anthology.

Ketika saya menggarap antologi kedua, Karna, Ksatria di Jalan Panah, semula saya pun ragu apakah ini bisa disebut antologi konsep. Tetapi setelah seluruh teks selesai, antologi yang memua Sajak-sajak Karna I – XV plus delapan fragmen lain dari Mahabharata ini, saya baru berani mengatakan bahwa ini adalah antologi konsep.

Tentu ada persoalan yang muncul. Seberapa banyak puisi yang bisa ditampung dalam antologi konsep ini? Jika di dalam musik, rekaman album rata-rata berdurasi sekitar 40 sampai 60 menit. Para pemusik bebas melakukan eksplorasi atas segala kemampuan musical mereka. Tidak heran, lagu Close to The Edge milik Yes dari album yang berjudul sama bisa mencapai sekitar 23 menit. Jethro Tull juga menghasilkan album Thick as A Brick yang lagu-lagunya sangat panjang.

Nah, bagaimana dengan antologi konsep?

Saya pikir tidak ada keharusan dalam antologi konsep puisi-puisinya harus berpanjang-panjang, walau saya melakukannya di dalam antologi Karna, dengan menulis dua puisi yang panjang, yaitu Ksatria di Jalan Panah dan Karna Tanding.

Namun saya menulis di bagian akhir dari buku Karna, tentang concept anthology sebagai “…mengusung suatu tema besar yang didukung beberapa puisi, atau sebanyak-banyaknya puisi. Dengan kata lain, puisi-puisi tersebut dirancang untuk mendukung tema, dan terkait satu sama lainnya.”

Jika suatu antologi puisi seratus persen berisikan puisi dengan tema yang sama, dari awal sampai akhir, mungkin tepat disebut sebagai antologi konsep. Jika tidak mencapai seratus persen, namun separuhnya , hanya bisa disebut semi antologi konsep. Sekali lagi, ini hanya sebuah pemikiran saja.

Jadi tidak ada aturan yang baku berapa banyak puisi yang harus ditulis untuk bisa disebut antologi konsep, kecuali sebanyak-banyaknya.

Secara pribadi, saya pikir, antologi konsep bisa menjadi jalan keluar untuk men-trigger penyair menulis puisi dan menerbitkannya sebagai suatu buku, diluar antologi yang konvensional, yang membutuhkan waktu lebih panjang untuk mengumpulkannya. Dalam antologi konsep, seorang penyair bisa menulis secara tuntas dengan mengeksplorasi tema yang ditentukannya dari berbagai sudut dengan berbagai pendekatan.

Antologi konsep hanyalah salah satu alternatif dalam menggarap sebuah antologi puisi, bukan satu-satunya. Tidak tertutup kemungkinan ada cara lain dalam menggarap antologi puisi seorang penyair. Tetapi saya yakin, cara ini sangat menarik. Dengan memikirkan sebuah tema untuk antologi, kita (baca : penyair) ditantang untuk terus gelisah, menggalinya lebih dalam dan menuliskannya hingga tuntas.

Salam. Semoga semua hidup berbahagia. *** (Jakarta, November 2007/UHK)

Sunday, November 18, 2007

{Diskusi 2 Pekan Apsas} Concept Anthology (3)

Concept Anthology :
Alternatif Dalam Penggarapan Kumpulan Puisi

(Bagian 3)

Menemukan Antologi Konsep Dalam Dunia Puisi

Setelah membahas album konsep dalam musik, lalu bagaimana dengan antologi konsep yang saya maksudkan dalam penggarapan antologi puisi ini ?

Pemikiran ini muncul setelah saya mengamati buku-buku antologi puisi yang ada, baik koleksi saya pribadi maupun yang ada di pasaran. Umumnya antologi puisi disusun dengan cara yang sama, yaitu merupakan kumpulan puisi yang bersifat periodik, untuk mudahnya sebut saja antologi konvensional, yang menggambarkan perkembangan kepenyairan seseorang dari suatu kurun waktu tertentu. Hal ini tentu saja sah, dan tidak ada yang salah. Saya sendiri juga melakukan cara yang sama pada buku pertama yang saya terbitkan sendiri, dan beredar di lingkungan teman-teman dengan cara gerilya.

Tetapi kemudian saya menemukan beberapa buku kumpulan puisi yang sedikit berbeda dan menarik perhatian saya. Ada tiga buku kumpulan puisi yang digarap dengan cara berbeda dan mempunyai tema besar yang diusung ketiga buku tersebut. Ketiga buku ini tidak disusun secara konvensional. Ketiganya adalah, pertama, buku kumpulan puisi Binhad Nurrohmat berjudul Kuda Ranjang (Melibas, Jakarta, 2004). Kedua, buku kumpulan puisi Wendoko berjudul (Oratorium) Paskah (Penerbit akubaca, Jakarta, 2006). Dan yang ketiga, buku kumpulan puisi dari Asep Sambodja berjudul Ballada Para Nabi (bukupop, Jakarta, 2007).

Membaca ketiga buku tersebut, saya lalu tiba-tiba teringat dengan album-album konsep dari para musisi rock, khususnya progressive rock . Dan saya yakin, masih ada antologi puisi lain yang digarap dengan cara yang sama, namun saya tidak memilikinya.

Dalam Kuda Ranjang, penerbit memberikan catatan pengantarnya dengan menyatakan bahwa,”Puisi ini berkisah tentang dunia kelamin. Dunia zakar. Dunia tengah manusia. Dunia terkutuk. Dunia tabu…” (hal. 7).

Membaca puisi-puisi dalam Kuda Ranjang, dimulai dari puisi pertama berjudul Berak hingga puisi terakhir berjudul Menopause, kita akan menemukan dunia seks yang sebenarnya dekat dengan kita, tetapi tidak pernah kita pikirkan secara mendalam . Beberapa judul lain misalnya Foreplay, Bunting, Sundal, dan lain-lain mengacu pada seks dan perkelaminan. Dalam bahasa gaul anak-anak Jakarta, mungkin kata -kata yang pas adalah ,”Seks abiss!”

Buku (Oratorium) Paskah digarap Wendoko dengan cara yang lebih rumit . Antologi ini penuh dengan puisi-puisi dan prosa lirik yang berasal dari kutipan-kutipan Injil, cerita pengakuan (confessio) dan renungan dari hasil meditasi. Bambang Sugiharto dalam pengantarnya menyatakan,”Puisi-puisi Wendoko lebih bermain dengan teks dan konteks. Intertekstualitas, juga interkontekstualitas. Teks-teks itu – yang umumnya dari kisah sengsara Yesus dalam kitab Injil, - dipunguti, dilepaskan dari konteks bangunan wacana asalinya yang lebih besar, dan diletakkan dalam dlam konteks baru. Semacam penulisan kembali, pemberian nyawa baru pada teks, namun dengan cara menjejerkannya (juxtaposing)…” (hal. V).
Barangkali untuk memahaminya, pembaca perlu juga membaca sejarah Yesus dengan cara yang normal, tidak langsung masuk pada sekumpulan puisi yang rumit ini.

Dan buku ketiga, Ballada Para Nabi, merupakan kumpulan puisi yang mengisahkan sejarah para nabi. Mulai dari Manusia Pertama, hingga Nabi Terakhir. Buku yang terbit tanpa kata pengantar, kata penutup ataupun catatan si penyairnya ini, jelas bersumberkan dari kisah-kisah dalam kitab suci Al Quran.

Ketiga buku puisi tersebut di atas, jelas berbeda dengan antologi puisi konvensional yang disusun untuk menggambarkan perjalanan kepenyairan seseorang. Ketiga kumpulan puisi ini mengusung suatu tema besar, atau juga tema lain yang masih saling terkait, dan melatari semua puisi yang ada di dalamnya. Tak pelak lagi, saya semula menyebut buku puisi ini sebagai concept album, yang kemudian saya ganti dengan istilah concept anthology yang rasanya lebih pas untuk dunia puisi.

Puisi-puisi dalam antologi konsep terkait satu sama lain, dan saling melengkapi, bukan suatu kumpulan puisi yang terpisah. Puisi-puisi tersebut baru bisa dipahami secara menyeluruh jika kita membaca dari awal sampai akhir. Agak berbeda dengan kumpulan puisi konvensional , yang mungkin akan melahirkan pemahaman pada si penyairnya.

Ada beberapa persamaan dalam antologi konsep yang saya temukan. Pertama, mempunyai suatu tema (dan mungkin tema-tema lain yang terkait) yang kuat, melatari semua puisi yang ada dari awal sampai akhir. Kedua, membentuk suatu alur cerita. Dan yang ketiga, puisi-puisinya cenderung bersifat terbuka.

Tentu dalam hal ini saya mungkin bisa salah atau kurang tepat, karena saya hanya memakai tiga buku tersebut sebagai ukuran. Tetapi saya yakin sudah ada dan banyak menerbitkan antologi konsep walau tidak menyebutnya demikian. *** (Jakarta, November 2007UHK)

Thursday, November 15, 2007

Narcissus Jatuh Dari Langit

NARCISSUS JATUH DARI LANGIT

“Jeblug!”

Narcissus tiba-tiba jatuh dari langit,
dan terkejut setengah mati
menemukan ada banyak orang yang menjadi narsis,
atau mengaku narsis,
sementara ia tidak lagi menemukan banyak telaga, kolam, sendang, dan situ
untuk mereka bercermin menatap diri mereka.
Karena semuanya telah banyak yang dikubur
di bawah gedung-gedung tinggi atau perumahan.

Narcissus masuk ke sebuah galeri besar dekat Stasiun Gambir, tempat sebuah pameran keramik digelar, dan ia merasa geli melihat pria-pria berdandan seperti perempuan, dengan puting susunya ditindik dan diganduli anting-anting.

Ia pun melata dan merayap di jalan-jalan kota, melangkah ke dalam mall, plaza, center, square dan gedung-gedung tinggi lainnya. Ia melihat orang-orang yang berlatih fitness, aerobik dan semua jenis latihan untuk membentuk tubuh yang indah. Dan ia sadar bahwa ia telah ketinggalan zaman. Tidak perlu air bening untuk menatap diri sendiri, karena sudah ada banyak sekali cermin untuk menatap dan mengagumi wajah dan tubuh.

Yang pria ingin kelihatan muda dan gagah perkasa. Takut kehilangan rambutnya yang terus rontok. Takut dengan keriput. Takut dengan lengan yang menggelambir. Takut dengan perut yang gendut. Takut dengan pinggang yang melebar kemana-mana. Mereka berlatih membentuk tubuh agar punya perut six pack, mengencangkan otot, dan meningkatkan pesona untuk menarik lawan jenis.. Mereka narsis, tetapi tidak menolak berhubungan dekat dengan yang lembut-lembut. Tidak jelas, apakah mereka heterosex atau homosex. Apa bedanya? Hohoho…

Yang wanita ingin kelihatan muda dan cantik. Takut kehilangan pesonanya. Takut payudaranya turun. Takut tubuhnya tidak lagi sintal. Takut pantatnya tidak lagi semok. Takut pahanya menjadi tidak menarik lagi. Mereka berlatih membentuk tubuh agar tetap langsing, syukur bisa seksi seperti gitar spanyol. Aih!

Lebih terkejut lagi ia saat menemukan orang-orang betah duduk berjam-jam di depan layar komputer, menatap situs atau blognya sendiri. Orang-orang itu sedang memandangi diri mereka sendiri melalui tulisan dan foto yang dipajang.

Narcissus pening kepalanya, terhuyung-huyung dan kemudian ia melihat poster besar David Beckham. Diam-diam ia menyingkir merasa tidak ada apa-apanya dibandingkan si pria metroseksual jagoan tendangan bebas itu.

Tiba-tiba ia merasa sepi, tidak ada air bening yang tergenang agar ia bisa menatap wajahnya. Yang ada hanya aspal dan air keruh berwarna kecoklatan.

Jakarta, 9 Oktober – 16 November 2007

Urip Herdiman K.

{Diskusi 2 Pekan Apsas} Concept Anthology (2)

Concept Anthology :
Alternatif Dalam Penggarapan Kumpulan Puisi

(Bagian 2)

Beberapa Contoh Album Konsep

Banyak karya sastra yang dijadikan album konsep oleh kelompok-kelompok musik progressive rock dan non-progressive, tetapi tidak semua album konsep harus berdasarkan karya sastra. Pink Floyd menghasilkan banyak album konsep, seperti Dark Side of The Moon (1973), Wish You Were Here (1975), Animals (1977, didasarkan pada novel Animal Farm milik George Orwell), The Wall (1979) dan The Final Cut (1983). Album terakhir ini, terinspirasi dari Perang Falklands, 1982.

Rick Wakeman menghasilkan album-album Journey to The Center of The Earth berdasarkan novel Jules Verne dan 1984 berdasarkan novel George Orwell. Anthony Philips juga menghasilkan album 1984 yang suram, juga dari novel Orwell ini.

The Alan Parsons Project (APP), yang notabene bukan kelompok progressive, banyak menghasilkan album konsep, seperti Tales of Mystery and Imagination of Edgar Allan Poe (1976) dari karya-karya Edgar Allan Poe, dan I Robot (1977), adaptasi dari novel Isaac Asimov. Namun APP juga menghasilkan album konsep yang tidak berdasarkan karya sastra, seperti Gaudi (1987), yang diinspirasikan dari kehidupan Antonio Gaudi, arsitek dan seniman Spanyol yang membangun katedral La Sagrada Familia di Barcelona dan tidak pernah selesai. Atau ada contoh lain, Mike Oldfield mengeluarkan album The Songs of The Distant Earth, sebuah perjalanan musikal menjelajahi angkasa luar.

Tentu masih akan ada banyak lagi kelompok musik maupun para solois progressive rock yang menghasilkan banyak album konsep. Dan kecenderungn itu kini tidak lagi dimonopoli oleh pemusik-pemusik prog-rock saja.

Album konsep yang banyak diakui sebagai album konsep yang pertama dan monumental adalah Sgt. Pepper’s Lonely Hearts Club Band dari The Beatles, 1967, padahal The Beatles bukanlah kelompok progressive rock. Budiarto Shambazy, wartawan musik Kompas menulis pada 19 Desmeber 2003 tentang album ini sebagai beikut,” Sgt. Pepper’s Lonely Hearts Club Band adalah album rock ‘n’ roll terpenting yang pernah dibuat, yang merupakan petualangan tak terbatas baik dalam konsep, suara, penulisan lagu, sampul depan maupun teknologi rekaman”.
Koran Tempo (30/7/2006) dalam artikelnya berjudul Sastra Dalam Irama Rock menulis tentang album Animals , 1977, milik Pink Floyd sebagai berikut,”…materinya tergarap baik, kaitan antar lagu yang erat, serta melodi dan teksturnya yang menghanyutkan. Semua ini masih ditambah pembuka dan penutup yang ringkas, ringan, elegan, dan melegakan, menjadikan Animals sebagai album konsep yang matang dan jitu.”

Album Pink Floyd lainnya yang juga merupakan album konsep adalah Dark Side of The Moon, 1973. Budiarto Shambazy menulis pada Kompas (23/5/2007) bahwa Dark Side ditampilkan lewat album konsep dengan tema tentang kehidupan dan kematian serta mempunyai kekuatan dalam penulisan lirik oleh Roger Waters dan teknik rekaman modern oleh Alan Parsons .

Demikianlah album konsep dalam ranah industri musik rock, khususnya progressive rock. Album konsep bisa berasal utuh dari karya sastra, bisa juga tidak dari karya sastra. Namun umumnya dalam album konsep, satu lagu dengan lagu berikutnya, dari awal sampai akhir, baik ada liriknya maupun tanpa lirik (instrumentalia), selalu saling terkait satu sama lain, selalu ada benang merahnya.

Istilah ‘album konsep’ dari dunia musik, saya pinjam dan menjadi ‘antologi konsep’ yang saya sebutkan di atas. Jika dunia musik rock meminjam dan mengadaptasi karya-karya sastra, tidak ada salahnya kita meminjam metode kerja mereka dalam menggarap antologi.
Tetapi apa dan bagaimana antologi konsep ini? *** (Jakarta, November 2007/UHK)

Wednesday, November 14, 2007

{Diskusi 2 Pekan Apsas} Concept Anthology (1)

Concept Anthology :
Alternatif Dalam Penggarapan Kumpulan Puisi

(Bagian Pertama)

Ketika diminta mengisi “Diskusi 2 Pekan” di milis Apsas ini, berkaitan terbitnya antologi puisi kedua saya,”Karna, Ksatria di Jalan Panah”, yang langsung terlintas di dalam kepala saya adalah ‘ concept anthology’ yang saya introduce dalam buku ini.

Concept anthology (atau sebut saja antologi konsep) merupakan model kerja yang saya gunakan dalam menggarap antologi puisi saya yang kedua. Dengan concept anthology ini, saya menawarkan suatu model kerja dalam menyusun puisi yang akan terbit.

Tulisan ini terdiri dari empat artikel pendek. Semoga bermanfaat untuk teman-teman. Mohon maaf kalau ada kesalahan atau kekurangan.


Concept Album Dalam Industri Musik

Istilah ‘concept anthology’ sendiri sebenarnya saya adaptasi dari istilah ‘concept album’ (atau album konsep) yang berasal dari dunia musik rock, lebih khusus lagi progressive rock, seperti Yes, Pink Floyd,Emerson Lake & Palmer, Genesis (periode awal), King Crimson, Jethro Tull, dll; walau banyak juga kelompok non-progressive yang menghasilkan album konsep, seperti The Alan Parsons Project.

Dalam penelitian singkat saya, saya tidak menemukan suatu pembahasan tentang cara atau model kerja penyair dalam menggarap antologi puisinya, karena kebanyakan langsung mengarah pada isi dari antologi puisi itu sendiri. Sangat sedikit yang menulis proses kreatif penyair dalam menggarap sebuah antologi puisi, bahkan mungkin tidak ada.
Jadi di sini saya memang berangkat dari ranah musik rock, baru mencoba masuk ke dunia puisi.
Wikipedia mendefinisikannya sebagai “unified by a theme, which can be instrumental, compositional, narrative or lyrical”. Disatukan oleh sebuah tema, baik secara instrumental, kompoisisi, narasi dan liriknya. Ini dalam musik. Tentu sedikit berbeda dalam menggarap puisi dimana yang utama adalah pada kata-kata.

Seorang blogger bernama “duke” dalam blognya” see nO~dukEhear nO~dukEtalk nO~dukE” dalam postingannya pada 9 Februari 2005, menulis tentang album konsep sebagai,”biasa disebut untuk merujuk sebuah album utuh dengan kisah atau scenario tertentu yang sengaja disusun melalui lagu-lagunya”.

Seorang blogger lain bernama ‘tentangblog’ dalam blognya pada 3 April 2007 menulis tentang Chrisye dan progressive rock (2). Ia menyinggung album konsep sebagai,”Di sinilah mulai diperkenalkan album konsep (conceptual album), yang menjadikan sebuah album tidak sekadar terdiri dari sekumpulan lagu. Album konsep lebih merupakan naskah sebuah narasi yang utuh, dengan lagu sebagai elemen dalam bercerita”.

Album konsep bisa menjadi titik temu antara dunia musik progressive rock dengan dunia sastra. Banyak karya sastra yang diadaptasi dan mempengaruhi musik rock, walau tingkatannya bisa berbeda-beda. Ada yang sebatas hanya mempengaruhi liriknya saja, atau satu lagunya saja, tetapi ada juga yang menjadi satu album utuh, uaitu album konsep.

Koran Tempo edisi 30 Juli 2006 memberikan contoh dimana karya sastra mempengaruhi lirik sebuah lagu misalnya adalah saat Roger Waters ‘memungut’ larik-larik puisi karya penyair era Dinasti Tang untuk lagu Set the Control for The Heart of The Sun dalam album A Saucerful of Secrets, 1968. Lainnya adalah lirik dari lagu A Whiter Shade of Pale milik Procol Harum yang diduga dipengaruhi The Canterbury Tales karya Geoffrey Chaucer, penulis dan penyair Inggris abad ke-14, yang tidak pernah selesai.

Masih dari koran yang sama, lagu utuh yang diadaptasi dari novel misalnya adalah Wuthering Heights, yang dibawakan Kate Bush dalam album The Kick Inside, 1978. Lagu ini diadaptasi dari novel Emily Bronte tahun 1847.

Sementara di tingkat yang lebih jauh, adalah album konsep yang berasal dari adaptasi karya-karya sastra. Namun harus diingat, album konsep tidak selalu harus dari karya sastra. *** (Jakarta, November 2007/UHK)

Tuesday, November 13, 2007

Hujan Awal November

HUJAN AWAL NOVEMBER

Malam telah larut dalam mimpi,
saat telepon genggamku gemetar
bip…bip…bip…
menjerit

Sebuah pesan pendek masuk,
“Hujan memang keterlaluan.
Sepanjang hari kerjanya hanya turun melulu.
Aku menggigil kedinginan,
Tolong jemput aku di stasiun lama!”
tulis puisi

Sawangan – Jakarta , 4 – 14 November 2007

Urip Herdiman K.

Wednesday, November 07, 2007

Launching Buku Kumpulan Puisi "Karna, Ksatria di Jalan Panah"

Launching Buku Kumpulan Puisi “Karna, Ksatria di Jalan Panah”


Teman-teman,

Dengan ini saya mengundang Anda untuk menghadiri acara launching buku kumpulan puisi “Karna, Ksatria di Jalan Panah” yang akan diselenggarakn pada
Hari/tanggal : Jumat, 9 November 2007 pukul 19.00 – selesai
Tempat : Café Omah Sendok,, Jl. Taman Mpu Sendok No. 45, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan
Telp. 021-52104531, 021-52964745

Jadwal Acara

18.30 – 19.00 : Registrasi undangan
19.00 – 19.10 : Musik pembuka : Sirius/Eye in The Sky (The Alan Parsons Project)
19.10 – 19.30 : Pengantar oleh UHK dan penyerahan buku untuk Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin dan wakil-wakil komunitas (BungaMatahara, Apresiasi Sastra, Member Bali Usada, M-Claro, Sejarah UI)
19.30 – 19.45 : Pembacaan puisi “Ksatria di Jalan Panah” oleh UHK dan Prima Vega Capella.
19.45 – 20.15 : Bincang-bincang bersama Dr. Bambang Wibawarta (Staf Pengajar FS - UI) dan Candra Gautama (Editor KPG).
20.15 – 20.30 : Pembacaan puisi “Karna Tanding” oleh UHK
20.30 – selesai : - Pembacaan puisi “Setelah Perang” oleh Prima Vega Capella
- Pembacaan puisi spontan oleh wakil-wakil komunitas/hadirin.
21.30 : Musik penutup menuju antologi ketiga : A Dream Within A Dream (The Alan Parsons Project) *

* Ada tebakannya, berhadiah paket 1 buku “Meditasi Sepanjang Zaman di Borobudur” dan 1 buku “Karna, Ksatria di Jalan Panah” .

Salam. Semoga semua hidup berbahagia. *** (Urip Herdiman K., 0815 - 9042515/http://theurhekaproject.blogspot.com)

Tuesday, November 06, 2007

Eye In The Sky

EYE IN THE SKY
(The Alan Parsons Project)

Don’t think sorry’s easily said
Don’t try turning tables instead
You’ve taken lots of chances before
But I ain’t gonna give any more
Don’t ask me
That’s how it goes
Cause part of me knows what you’re thinking
Don’t say words you’re gonna regret
Don’t let the fire rush to your head
I’ve heard the accusation before
And I ain’t gonna take any more
Believe me
The sun in your eyes
Made some of the lies worth believing
I am the eye in the sky
Looking at you
I can read your mind
I am the maker of rules
Dealing with fools
I can cheat you blind
And I don’t need to see any more
To know that I can read your mind, I can read your mind
Don’t leave false illusion behind
Don’t cry cause I ain’t changing my mind
So find another fool like before
Cause I ain’t gonna live anymore believing
Some of the lies while all of the signs are deceiving
I am the eye in the sky…

Catatan :
Dipetik dari album The Alan Parsons Project berjudul Eye in The Sky, 1982.

Music and lirycs : Alan Parsons and Eric Woolfson
Bass : David Paton
Drums and percussion : Stuart Elliot
Acoustic and electric guitars : Ian Bairnson
Keyboards : Eric Woolfsons, Alan Parsons
Fairlight programming : Alan Parsons
Sax : Mel Collins

Monday, November 05, 2007

Seratus Dollar Per Barrel?

SERATUS DOLLAR PER BARREL?

Ketika Amerika masih terus petantang-petenteng di Timur Tengah,
menginjak-injak Afghanistan dan Irak, menodong Iran…
ketika Iran menghentikan pasokan minyaknya ke pasar dunia
menyebabkan situasi geopolitik Timur Tengah tidak kunjung stabil
ketika mesin-mesin ekonomi China dan India terus memanas
ketika badai demi badai bergiliran menerjang sumur-sumur minyak di Teluk Meksiko
ketika investor menjauh dari daerah-daerah frontier
ketika para pialang minyak bermain api di pasar spot
ketika supply dan demand minyak mentah dunia tidak seimbang

Dan ketika para pejabat bicara tentang harga minyak mentah dunia
dan dampaknya pada ekonomi nasional

Semua menjerit lantang setinggi langit,
“Auuwww!!!”

Awan gelap menggantung di pintu-pintu dapur

Dan harga minyak mentah terus melonjak secepat jarum speedometer mobil-mobil Formula 1 yang boros bensin

Seratus dollar per barrel? Atau melewati seratus dollar?

Aku mendengar degup jantung semua ibu rumah tangga

Jakarta, 6 November 2007

Urip Herdiman K.

Thursday, November 01, 2007

Eden

EDEN

(Callier/Callier)
Vocal : Sarah Brightman

Did you ever think of me, as your best friend
Did I ever think of you, I’m not complaining
I never tried to feel
I never tried to feel
This vibration
I never tried to reach
I never tried to reach
Your eden

Did I ever think of you, as my enemy
Did you ever think of me, I’m complaining
I never tried to feel
I never tried to feel
This vibration
I never tried to reach
I never tried to reach
Your eden

Catatan :
Dari album musik Sarah Brightman, Eden, 1999.