The Urheka Project : Mimpi Dalam Mimpi

"All that we see, or seem, is but a dream within a dream." - Edgar Allan Poe, A Dream Within A Dream, 1846.

Sunday, June 28, 2009

Cun Kuan Ce

CUN KUAN CE

1/

Kau letakkan jari-jemari lentikmu di kedua pergelangan tanganku. Tangan kananmu di tangan kiriku, tangan kirimu di tangan kananku. Jari telunjuk, jari tengah dan jari manis di posisi cun kuan ce. Paru-paru, limpa dan pericardium di tangan kanan. Jantung, hati dan ginjal di tangan kiri. Belajar merasakan nadi. Kau meletakkan jari-jemarimu, tanpa menekan. “Auw, bagus sekali jemarimu,” pikirku.

“Nadimu mengambang, cepat dan kuat!”
katamu sambil tersenyum.

Ah, apa kau tidak merasakan detak jantungku yang berdebar-debar?

2/

Aku meletakkan jari-jemariku di kedua pergelangan tanganmu. Tangan kananku di tangan kirimu, tangan kiriku di tangan kananmu. Aku meletakkan jari-jemariku, tidak merasakan apa-apa. Aku menekannya, juga tidak merasakan apa-apa.

“Nadimu tenggelam, lambat dan lemah ya?”
kataku agak ragu.

Ah, apa kau tidak merasakan apa-apa saat kusentuh kulitmu yang halus itu?

Jakarta, 29 Juni 2009

Urip Herdiman K.

Catatan :
Cun kuan ce, tiga titik penting di pergelangan tangan bagian dalam sebelah luar, untuk perabaan nadi dalam akupunktur.

Labels:

Tuesday, June 23, 2009

Bukan Kecap Pilpres 2009

BUKAN KECAP PILPRES 2009

Satu putaran?
Lanjutkan!
Lebih cepat, lebih baik

Jakarta, 24 Juni 2009

Urip Herdiman K.

Labels:

Renungan Bhisma Di Depan Pintu Maut

RENUNGAN BHISMA DI DEPAN PINTU MAUT

: Anwar Holid


1/

Hari kesepuluh Perang Bharatayudha di padang Kurusetra. Matahari ada di sebelah selatan.


Menjelang petang, akhirnya ksatria tua itu tumbang setelah dihujani panah oleh Srikandi, tanpa perlawanan. Tubuhnya seperti landak, rebah di atas puluhan anak panah yang menyangganya sehingga tidak jatuh di atas tanah.

Seperti ketika ia mengucapkan sumpahnya dahulu untuk hidup selibat, hujan bunga-bunga nan wangi jatuh di Kurusetra yang panas dan penuh darah.

Pertempuran terhenti. Semua pihak tergopoh-gopoh datang menghampiri Bhisma dan memberikan sembah hormatnya. Arjuna membuat bantalan dari anak panah untuk menyangga leher dan kepala kakeknya.

“Aku belum akan mati saat ini. Aku menunggu matahari kembali ke titik baliknya di utara,” kata Bhisma perlahan-lahan pada yang hadir di sekitarnya, baik dari pihak Pandawa maupun Kurawa.

Hanya Bhisma satu-satunya manusia yang bisa menentukan sendiri kapan waktu yang tepat untuk kematiannya.

“Pulanglah, dan hentikan perang yang sia-sia ini. Perang ini tidak ada manfaatnya, perang ini hanya membawa kehancuran dan luka-luka!”

2/

Padang Kurusetra menjadi sepi. Hanya ada kesunyian dan bau anyir darah yang mengambang. Di bawah tenda darurat yang didirikan untuk melindunginya dari panas dan hujan, Bhisma menatap langit malam penuh bintang. Sang Resi mencoba memahami mengapa perang saudara ini harus terjadi.

3/

Ia sadar bahwa semua sebab akan menghasilkan akibat. Sesuatu yang terdahulu menyebabkan sesuatu yang datang belakangan. Sesuatu yang kecil akan bisa mengakibatkan sesuatu yang besar di kemudian hari.

Ia mengingat-ingat bagaimana ia dahulu bersumpah selibat hanya untuk memberikan jalan pada ayahnya menikahi seorang wanita muda, putri seorang nelayan. Apakah ini yang menjadi penyebab?

Ia menolak permintaan ibu tirinya untuk menikahi salah satu dari istri-istri kedua adik tirinya, agar wangsa Bharata punya keturunan. Apakah ini yang menjadi penyebabnya?

Ia mendidik cucu-cucunya, anak-anak Pandu dan Destrarastra sejak mereka kecil. Ia menyayangi Pandawa dan Kurawa sama rata sama rasa, tidak membeda-bedakan keduanya. Tetapi ia melihat mereka berkembang ke arah yang berlawanan. Apakah ini yang menjadi penyebabnya?

Ia bersedih hati ketika Pandawa kalah bermain dadu dan harus mengembara di hutan selama dua belas tahun. Sementara Kurawa memegang kekuasaan di Hastina. Apakah ini yang menjadi penyebabnya?

Ia bisa menerima ketika Pandawa menuntut hak atas takhta Hastina, dan marah dengan penolakan Kurawa. Apakah ini yang menjadi penyebabnya?

Ia sadar bahwa kata-katanya hanya didengar oleh Pandawa, dan diabaikan oleh Kurawa. Apakah ini yang menjadi penyebabnya?

4/

Kata-kata Bhisma tidak bisa menghentikan peperangan. Di hari kesebelas, perang berlanjut kembali. Derap kereta kuda bergemuruh. Panah-panah beterbangan, pedang-pedang beradu, darah dan air mata membasahi bumi.

5/

Ia sadar bahwa kematiannya di perang besar telah digariskan dewata. Ia sadar pula bahwa cara kematiannya adalah karma masa lalunya, ketika ia menolak cinta Amba yang setia mengikuti kemana pun ia pergi. Amba yang tewas tertembus anak panahnya tanpa sengaja. Amba yang bersumpah untuk menitis dalam tubuh prajurit wanita untuk menjemputnya.

Airmata menitik dari sudut matanya.

Dan ketika ia melihat Srikandi hadir di medan perang, ia tahu bahwa waktunya telah tiba. Ia melihat inkarnasi Amba menitis di dalam diri prajurit wanita itu, istri Arjuna. “Aku datang untuk menjemputmu, Kakanda. Kita akan bersama menuju alam keabadian,” kata Amba.

Ia menikmati hujan panah yang diarahkan ke tubuhnya, tanpa perlawanan.

6/

Perang berakhir di hari kedelapan belas. Hanya Pandawa yang datang menjenguk, tak ada lagi Kurawa. Tetapi matahari belum kembali ke titik baliknya di utara. Dan masih ada pertanyaan yang menggantung di depan pintu maut. Kenapa ia bisa sampai terlibat di dalam perang ini?

“Aku tidak memusuhi Pandawa, karenanya aku tidak bertempur melawan mereka. Tetapi aku juga bukan membela Kurawa, walau aku makan dari mereka. Apakah aku benar, ataukah aku salah, ketika aku memutuskan maju berperang membela negeriku, tanah airku?”
tanya Bhisma pada Krishna, sebelum perang pecah.

“Kakek Bhisma, kau tidak bersalah. Tugasmu sebagai ksatria, sebagai prajurit, adalah berperang membela negara. Kau berperang untuk membela negaramu,”
jawab Krishna.

7/

Dan kini, di malam-malam yang panjang, pertanyaan itu menggema kembali. “Apakah aku benar? Apakah aku salah?”

“Dewabrata, anakku, kau telah mengambil keputusan yang benar. Kau lahir dari kelas ksatria. Kau makan dari hasil bumi negerimu, dan kau minum air tanah negerimu sendiri. Sudah tugasmulah berperang untuk membela negara. Keputusanmu sudah benar, anakku,”
bisik ibunya, Dewi Gangga, dalam mimpinya di malam terakhir.

8/

Malam terakhir yang sunyi, malam yang penuh bintang. Bhisma tersenyum dan menutup mata. Wajahnya tenang dan bercahaya.

9/

Matahari telah berada di titik baliknya di sebelah utara.

Semua yang berdaging dan berdarah, akan menjalani penyucian setelah kematiannya. Dari tanah kembali ke tanah, dari cahaya kembali ke cahaya.


Jakarta, 23 – 24 Juni 2009

Urip Herdiman K.

Labels:

Monday, June 22, 2009

Cermin Sang Nyonya

CERMIN SANG NYONYA

Cermin memang ajaib. Cermin menangkap dan memantulkan apa yang ada di depannya, tak peduli bagus atau jelek, elok atau buruk. Cermin berbicara apa adanya, tidak membeda-bedakan, dan juga tidak menyensor.

Setiap hari, bisa pagi bisa petang bisa juga malam, ia selalu duduk di depan cermin. Atau sesekali berdiri dan berjalan-jalan. Jika sudah begitu, ia tahan berlama-lama menatap wajah dan dirinya sendiri. Melihat, mengamati, meneliti, menelaah, menjelajah. Matanya, hidungnya, telinganya, rambutnya, lehernya, dadanya…aih. “Tak ada yang menyamai diriku, tak boleh ada yang menyamaiku!” pikirnya.

Dahulu ketika masih muda dan belum punya apa-apa, ia tak peduli cermin seperti apa yang ada di depannya. Cermin yang ia punya hanya cukup seukuran tubuhnya saja. Langsing.

Tetapi kini, setelah ia bisa memiliki semua yang diinginkannya, ia menjadi peduli pada cermin seperti apa yang harus ada di depannya. Apakah datar, cembung atau cekung. Satu hal yang pasti, cermin itu harus lebih lebar dari bentuk tubuhnya yang meluas beberapa millimeter setiap tahunnya. Ia bisa tersenyum dan tertawa senang karenanya. Atau merengut, cemberut, marah-marah dan memaki-maki.

Dan semua dipantulkan oleh cermin itu, tak ada satu pun yang terlewatkan.

Suatu malam menjelang tidur, seperti biasa, ia duduk berjam-jam di depan cerminnya. Ia memang sudah tidak muda lagi. Tetapi lekuk-lekuk tubuhnya masih bisa membetot mata para lelaki. Tubuh yang subur dan indah permai.

Ditatapnya rambut yang mulai dihiasi warna putih. Keriput yang mulai bisa dihitung. Kantung mata yang agak gelap. Kulit yang harus selalu diberi pelembab. Dan ia masih bisa tersenyum melihat bibirnya yang mungil, tipis, basah, merekah. “Bibir ini tidak perlu ikut-ikutan menjadi tua,” ucapnya lirih.

Tiba-tiba ada sebuah lampu yang menyala di dalam otaknya. Cling! “Aku bosan menatap diriku sendiri setiap hari. Aku ingin sesuatu yang berbeda.”

Pagi berikutnya, pembantu masuk ke dalam kamar sang nyonya. Tidak ditemukan majikannya yang biasa menatap dirinya sendiri di cermin setiap pagi, tetapi ia mendengar seseorang memanggil-manggilnya. “Surti, Surti…kemari.”

Surti, pembantu itu, celingak-celinguk hingga mengarahkan pandangan matanya pada cermin sang nyonya. “Aku disini, di dalam cermin!”


Jakarta, 22 Juni 2009

Urip Herdiman K.

Labels:

Wednesday, June 17, 2009

Isu Pertahanan Dalam Kampanye Pilpres 2009

ISU PERTAHANAN DALAM KAMPANYE PILPRES 2009

Bulan Mei 2009 lalu, ketika saya sakit dan menginap di rumah sakit selama empat hari, pesawat Hercules milik TNI – AU jatuh di Magetan, Jawa Timur yang menewaskan sekitar 100 orang. Setelah itu, dua pesawat heli militer menyusul jatuh. Pesawat heli MBB milik TNI – AD jatuh di Cianjur, lalu heli Super Puma milik TNI – AU jatuh di Lanud Atang Sanjaya. Keduanya terjadi minggu lalu, saat latihan. Sekali lagi, jatuh dalam latihan, bukan jatuh dalam operasi militer. Menyedihkan dan memalukan.

Semua pejabat militer dari yang paling rendah sampai yang paling tinggi, Panglima TNI, dan juga Menteri Pertahanan, tidak mengatakan apa penyebab sebenarnya. Ada yang mengatakan faktor cuaca, ada yang menyebutkan kesalahan manusia (human error). Semua mengakui usia pesawat yang sudah tua, tetapi tidak menyalahkan kurang dan minimnya anggaran pertahanan, termasuk anggaran untuk pemeliharaan alat utama sistem persenjataan (alutsista) TNI.

Itu baru tiga kecelakaan terakhir yang belum terlalu jauh dari ingatan kita. Sebelumnya sudah banyak kecelakaan yang melibatkan alutsista TNI. Semuanya bisa disederhanakan. Usia alutsista TNI yang sudah uzur, rata-rata diatas usia 30 tahun, dan kurangnya biaya perawatan, sudah seharusnya diganti. Tetapi kemauan politik Pemerintah termasuk politik anggaran Pemerintah membuat peremajaan mesin-mesin perang tersebut terlambat, sehingga sistem pertahanan Indonesia masuk dalam ruang gawat darurat. Tegasnya, Pemerintah tidak memberikan prioritas pada pembangunan TNI yang professional, kuat dan modern.

Situasi ini bisa kita tarik jauh ke awal periode Orde Baru, ketika Soeharto memulai kekuasaannya. Soeharto, untuk meredam kecemasan Malaysia dan Singapura, mengembangkan kebijakan politik luar negeri yang bertetangga baik. Anggaran militer dialihkan ke sektor ekonomi, pembangunan militer direm, dan sebagai kompensasinya, banyak petinggi-petinggi militer mendapat imbalan jabatan-jabatan politik di luar militer, yang dikenal luas sebagai dwifungsi ABRI. Politik pertahanan Pemerintah saat itu adalah membangun tentara yang kecil, efektif dan efisien, dengan ujung tombak pada TNI – AD.

Namun kemudian situasi politik regional berubah, ironisnya, politik luar negeri dan politik pertahanan Indonesia tidak berubah, sekalipun Soeharto sudah jatuh pada bulan Mei 1998. Karena tuntutan reformasi, maka ABRI dikembalikan menjadi TNI dan Polri, serta harus meninggalakn gelanggang politik. Sebagai imbalannya, Pemerintah menjamin akan memberikan anggaran yang cukup bagi TNI untuk dapat mentransformasikan dirinya menjadi tentara yang professional, kuat dan modern. Nyatanya, sampai saat ini hal tersebut tidak dapat direalisasikan.

Pemerintah selalu beralasan bahwa ada sektor pembangunan yang lebih penting dan diprioritaskan, sehingga anggaran pembangunan militer selalu menjadi pilihan pertama untuk disunat, karena Pemerintah kita tetap menjalankan politik luar negeri bertetangga baik sesuai dengan spirit ASEAN.

Akibatnya jelas, pembangunan militer menjadi tertinggal jauh dibandingkan dengan negara-negara tetangga. Banyak ahli yang menaruh perhatian pada masalah ini menggungkapkan kekhawatirannya, karena anggaran pertahanan Indonesia merupakan yang paling rendah di Asia Tenggara, sementara cakupan wilayah laut, udara dan darat yang harus dicovernya adalah paling luas.

Kasus Ambalat hanya merupakan akibat saja dari melemahnya kemampuan dan kesiapan TNI dalam menjaga wialayah NKRI. Malaysia pasti tahu betul bahwa kemampuan alutsista TNI yang ditempatkan di Ambalat tidak ada apa-apanya dibandingkan milik mereka yang lebih muda tahun pembuatannya dan lebih canggih sistem persenjataannya. Makanya mereka berani memprovokasi Indonesia, sementara Indonesia hanya bisa melayangkan protes. Tidak ada kekuatan diplomasi yang tidak didukung oleh kekuatan militer yang memadai. Dan Indonesia merasakan hal itu, dilecehkan negeri jiran.

Kasus Ambalat bukan satu-satunya. Masih ingat, ‘kan dengan perjanjian kerjasama Indonesia – Singapura yang ditandatangani beberapa tahun lalu di Denpasar? Indonesia butuh uang, Singapura butuh lahan untuk latihan pesawat-pesawat tempurnya. Untung saja perjanjian itu macet dan gagal, karena dikaitkan dengan perjanjian ekstradisi yang juga merugikan Indonesia.

Banyak contoh kecil lainnya yang bisa ditambahkan. Perlahan tapi pasti, kontrol atas Selat Malaka pun menjadi lemah, dan Singapura menjadi lebih menentukan dibandingkan Indonesia. Pencurian ikan di wilayah perairan Indonesia oleh nelayan-nelayan dari negeri-negeri tetangga seperti Thailand, Vietnam, Malaysia, Filipina bahkan Taiwan, jelas sekali menunjukkan lubang-lubang kelemahan dalam sistem radar pertahanan laut Indonesia.

Ketertinggalan Indonesia juga diperparah oleh paradigma berpikir para perwira tinggi TNI, yang masih menempatkan TNI – AD sebagai ujung tombak dari sistem pertahanan kita. Seorang jenderal bintang empat yang pernah menjabat sebagai KSAD pernah mengatakan, biarkan saja musuh menyerang dan akan digempur habis-habisan di daratan Indonesia. Benar-benar suatu kesalahan yang konyol punya jenderal bintang empat seperti itu.

Di era post modern ini, keunggulan udara dan atau maritime merupakan suatu keharusan yang mutlak dalam membangun tentara yang professional, kuat dan modern. Memang biaya untuk itu sangatlah besar, karena angkatan laut dan udara full technology, tetapi ini merupakan konsekuensi kita sebagai negara maritime.

Nah, di masa kampanye pilpres 2009 ini, dari tiga pasangan calon, ada tiga jenderal yang semuanya dari angkatan darat. Dan ketiganya mewakili cara pandang militer Indonesia yang sudah ketinggalan zaman, yang berorientasi pada pertahanan darat, namun mengabaikan peretahan udara dan laut. Menurut pandangan saya, ketiganya sangat menyedihkan dalam hal wawasan pertahanan. Ketiganya tidak punya wawasan pertahanan yang komprehensif bagaimana seharusnya membangun pertahanan Indonesia. Memang satu calon presiden, yang sedikit lebih punya visi dan menaruh perhatian pada masalah ini, walau seperti slogannya, dia ingin membereskan masalah pertahanan ini lebih cepat lebih baik.

Tetapi apakah mungkin membangun militer yang profesional, kuat dan modern hanya dalam tiga bulan atau seratus hari? Omong kosong ini membuat saya tertawa terpingkal-pingkal. *** (UHK, 17 - 18 Juni 2009)

Labels:

Tuesday, June 09, 2009

Sakit dan Aspek Spiritual dari Sakit

SAKIT DAN ASPEK SPIRITUAL DARI SAKIT

Tanpa sengaja, bulan Mei 2009 kemarin saya harus menginap empat hari tiga malam di RS Bhakti Yudha, Depok, dari hari Senin, 18 Mei sampai Kamis, 21 Mei, karena kena demam berdarah (DB). Sebelumnya, demam tinggi terlebih dahulu selama empat hari dari Kamis, 14 Mei, memaksa saya istirahat di rumah. Baru kemudian setelah tidak tahan dengan panas tinggi empat hari dan masukan cairan yang terus berkurang, selaput lidah menjadi kuning tebal dan bibir pecah-pecah, saya menyerah untuk masuk rumah sakit. Ternyata kena demam berdarah.

Tetapi ngomong-ngomong, apa sih ‘sakit’ itu?

Sakit, kalau mengikuti definisi WHO yang panjang itu, saya tidak terlalu ingat walau sudah beberapa kali mendengrnya. Tetapi kalau mengikuti definisi Bali Usada Meditasi, kira-kira adalah tidak harmonisnya antara tubuh, pikiran dan jiwa. Dan kalau mengikuti difinisi akupunktur, sangat mudah mengikutinya, yaitu hilangnya keseimbangan yin dan yang.

Sehat adalah kondisi dimana terdapat kesimbangan yin dan yang. Jadi kalau tidak ada keseimbangan yin dan yang, artinya kita sedang dalam keadaan sakit. Mungkin kita tidak merasakannya, sehingga tidak merasa perlu ke dokter atau rumah sakit. Baru setelah parah, demam tinggi beberapa hari, ambruk dan terkapar di tempat tidur, kita merasa perlu mencari bantuan atau pertolongan dokter.

Tentang sakit ini, saya berani katakan, tidak ada satu orang pun yang ingin sakit. Tetapi kalau sakit datang berkunjung dan menginap di tubuh kita, mau tidak mau, kita harus beristirahat, mungkin minimal bedrest. Tetapi bisa saja sakit itu berlanjut dan menjadi parah.

Kalau mengikuti kedokteran barat yang mekanis, sakit dilihat sebagai gangguan yang sifatnya fisik. Namun saya juga mencoba melihatnya dari aspek penyembuhan alternatif. Dalam berbagai teori penyembuhan alternatif, sakit bukanlah sekadar kerusakan mesin saja, tetapi juga melibatkan aspek spiritual. Manusia bukan cuma sekadar tubuh yang berdarah-daging saja, tetapi juga meliputi aspek pikiran dan jiwa. Sakit bisa datang dari unsur-unsur pikiran dan kejiwaan.

Dalam teori lima unsur akupunktur, jelas perannya emosi atau yang resminya disebut penyebab penyakit dalam (PPD). Yaitu marah yang berhubungan dengan Liver/Gall Bladder, terkejut/gembira dengan Heart/Small Intestine, berpikir/rindu dengan Spleen/Stomach, kuatir/sedih dengan Lung/Large Intestine, dan takut dengan Kidney/Bladder. Segala yang berlebihan, akan mengganggu meridian-meridian dan organ-organ tersebut, tinggal seberapa jauh gangguan itu terjadi. Apakah yin dan yang, apakah letaknya masih di luar atau sudah di dalam, apakah jenisnya dingin atau panas, dan apakah sifatnya lemah atau kuat.

Sementara itu saya juga percaya bahwa ada penyakit karena faktor spiritual, yang mungkin jarang atau tidak banyak diketahui, seperti misalnya penyakit karma, akibat dari karma di kehidupan-kehidupan kita yang lampau. Penyakit bisa muncul tiba-tiba, mendadak tetapi bisa juga lama menetap tetapi sulit disembuhkan. Anda percaya? Hahaha…

Setelah di rumah sakit, saya pun bisa melihat aspek yang lain dari sakit. Yah, mungkin Tuhan sedang berbaik hati pada saya, sehingga memberikan sakit untuk beberapa hari. Dengan demikian, saya bisa ‘cuti’, alias terbebas dari rutinitas pekerjaan sehari-hari, walau harus tidur di rumah sakit. Maklum, sebagai pekerja outsourcing, saya tidak punya cuti. Hehehe…

Di saat-saat seperti itulah, ketika sakit, adalah kesempatan yang baik bagi kita untuk introspeksi melihat ke dalam diri sendiri. Mungkin saja selama ini, urusan kantor dan pekerjaan, urusan mencari uang, sudah terlalu banyak menyita energi kita. Kalau tidak dapat cuti, ya tubuh sendirilah yang akan memintanya dengan sakit itu. *** (UHK, Rabu, 10 Juni 2009)

Labels: