The Urheka Project : Mimpi Dalam Mimpi

"All that we see, or seem, is but a dream within a dream." - Edgar Allan Poe, A Dream Within A Dream, 1846.

Thursday, April 30, 2009

Anomali Politik dan Koalisi Tanpa Etika

ANOMALI POLITIK DAN KOALISI TANPA ETIKA

Pemilu 9 April 2009 telah berlalu, dan hasilnya kita sudah tahu melalui quick count yang menempatkan Partai Demokrat sebagai pemenang, sementara Golkar dan PDIP ada di urutan kedua dan ketiga. Kenapa quick count? Ya, karena perhitungan resmi dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) sampai tulisan ini dibuat, belum keluar, padahal dana untuk pengadaan perangkat IT-nya milyaran rupiah. Hehehe…

Pasca pemilu, yang kita lihat adalah manuver-manuver para politisi untuk membentuk koalisi menghadapi pemilihan presiden (pilpres) 9 Juli 2009 yang akan datang. Koalisi? Iyalah, ini memang fenomena aneh dan mungkin hanya ada di Indonesia saja.

Saya bukan ahli hukum tata negara, apalagi konstitusi, tetapi dari beberapa wawancara saya untuk majalah tempat saya kerja dengan para pakar politik, saya sepakat dengan mereka bahwa ini anomali dalam dunia ilmu politik.

Konstitusi kita, UUD 1945, mengamanatkan bahwa sistem pemerintahan kita adalah presidensil, dimana presiden menjadi kepala negara sekaligus kepala pemerintahan. Namun sejak reformasi bergulir, tepatnya pasca pemilu 1999, kita akrab dengan istilah ‘koalisi’, dengan berbagai judul dan penamaan yang memberikan kesan bahwa negara dan bangsa ini sedang ada di tepi jurang kehancuran dan perlu diselamatkan dari para bajak laut dan perompak.

Koalisi, dalam pemahaman saya, sebenarnya hanya ada di dalam sistem pemerintahan parlementer. Di dalam sistem itu, ketua partai pemenang pemilu menjadi perdana menteri. Atau kalau suaranya masih belum cukup, perlu didukung sejumlah partai untuk menjadi perdana menteri. Jadi bisa juga ketua partai minoritas menjadi perdana menteri, jika ia mampu menggalang dukungan untuk meraih mayoritas suara di parlemen.

Itulah yang terjadi di Indonesia. Hasil pemilu atau pemilihan legislative tidak menghasilkan partai mayoritas, sementara untuk masuk dalam pilpres, peraturan undang-undang – yang dibuat dengan wawasan jangka pendek per 5 tahun - menentukan hanya partai yang meraih suara 20 % atau koalisi yang menghimpun 25%, boleh mengajukan calon presiden dan wakil presiden.

Akibatnya yang terjadi adalah politik dagang sapi yang berwawasan jangka pendek dan mengorbankan kepentingan rakyat yang lebih luas. Tidak ada satu partai pun yang berani mencalonkan paket presiden dan calon wakil presidennya dari satu partai, termasuk partai yang meraih suara terbanyak. Pilihannya, ya koalisi itu yang sebenarnya sangat parlementer. Sangat menggelikan sekali.

Kerancuan sistem pemerintahan kita memang sudah dimulai dari saat Republik Indonesia ini masih balita, November 1945. Itu terjadi ketika Sutan Sjahrir melakukan silent coup (kudeta diam-diam) dengan menendang Soekarno dan Hatta ke atas, dan menjadikan dirinya sebagai perdana menteri, yang pertama untuk Republik Indonesia. Alasannya, karena Soekarno dan Hatta adalah kolaborator Jepang, sementara Sekutu hanya ingin berunding dengan orang yang bersih dari Jepang.

Hal itu berlanjut sampai perang kemerdekaan berakhir dan Indonesia menjelma sebagai negara bagian Republik Indonesia Serikat bentukan Belanda. Ketika RIS dibubarkan, dan RI yang berkedudukan di Jogjakarta dipulihkan, jabatan perdana menteri pun tetap ada, hingga periode akhir dari kekuasaan Soekarno. Justru ketika Soeharto berkuasa, ia meniadakan jabatan perdana menteri itu, dan menegakkan sistem presidensil yang kuat, dimana semua kekuasaan ada dalam genggamannya.

Sejarah Indonesia memang penuh dengan eksperimen politik, yang memberikan tempat luas pada para petualang politik untuk pamer diri dan unjuk gigi, dibungkus dengan slogan dan jargon yang memberikan kesan bahwa mereka adalah penyelamat, seperti ksatria-ksatria abad pertengahan. Tidak salah kalau ide-ide mesianistik seperti Ratu Adil, Imam Mahdi dan Satria Piningit selalu mendapat tempat.

Bayangkan, bagaimana seorang ketua partai yang cuma meraih tidak sampai 4% suara, bisa dengan pede menggalang koalisi untuk mendukung pencalonan dirinya sebagai presiden? Sungguh tidak masuk akal sehat. Kalau dia menang, ya mungkin memang nasibnya bagus. Kalau dia kalah, ya dia hanya akan menjadi catatan kaki dalam sejarah.

Akibat lebih jauh, bisa kita lihat sekarang di depan mata. Kabinet menjadi terbelah. Presiden dan Wakil Presiden yang berkuasa (incumbent) mungkin akan bertarung dalam pemilihan presiden. Belum lagi partai-partai yang ada di dalam kabinet juga punya agenda sendiri-sendiri, tergantung ke arah mana angin berhembus. Dan semua para calon itu selalu mengatakan bahwa mereka tidak punya ambisi untuk menjadi presiden.

Benar-benar sebuah anomali politik, terutama koalisi-koalisi yang sedang dibangun untuk pilpres mendatang. Koalisi tanpa etika. Mungkin ini hanya salah satu sinetron Indonesia saja, tanpa skenario dan hanya mengejar jam tayang. Kebetulan, yang satu ini bisa tayang di semua stasiun televisi dan media cetak nasional. *** (UHK, 30 April 2009)

Labels:

Sunday, April 26, 2009

Belajar Akupunktur, Membangun Puzzle

BELAJAR AKUPUNKTUR, MEMBANGUN PUZZLE

Akupunktur? Ya, banyak yang mengenal akupunktur dengan nama tusuk jarum. Akupunktur hanya salah satu bentuk pengobatan atau penyembuhan alternatif yang berkembang belakangan ini, sebagai alternatif atau pelengkap dari kedokteran barat (baca : konvensional) yang kita kenal.

Akupunktur bisa dilihat sebagai suatu bentuk penyembuhan yang berdiri sendiri, tetapi bisa juga dilihat sebagai bagian dari traditional Chinese medicine (TCM). Akupunktur sudah ada – dalam bentuk yang awal - sejak 3000 tahun sebelum masehi. Jadi jauh lebih tua dibandingkan dengan kedokteran barat. Atau mungkin seusia dengan pengobatan ayurveda dan yoga dari India.

Orang melihat pasien ditusuk tubuhnya dengan jarum-jarum dan sembuh. Tetapi orang banyak yang tidak paham bagaimana proses akupunktur bekerja dan menyembuhkan pasien. Dan yang lebih jauh lagi, ternyata belajar akupunktur jauh lebih sulit daripada yang terlihat atau yang diperkirakan. Bahkan dokter-dokter yang belajar akupunktur pun belum tentu lulus dari ujian lokal dan ujian komptensi nasional. Sebabnya, teori-teori akupunktur berbeda dengan teori kedokteran barat. Jadi dalam belajar akupunktur, dokter sama saja dengan peserta lain yang datang dari kalangan awam.

Pemahaman ini mulai saya dapat karena saya sendiri sedang belajar akupunktur, sebagai suatu bidang keahlian penyembuhan alternatif yang terukur dan dapat dipertanggung jawabkan. Keinginan saya tidak muluk, hanya ingin menjadikan akupunktur sebagai suatu profesi untuk bekeerja mandiri. Soalnya capai kerja di tempat sekarang, tidak ada penghargaan dan tidak ada pengembangan.

Belajar akupunktur berarti harus banyak dan kuat menghafal berbagai teori. Mulai dari teori Yin Yang, teori Lima Unsur (Wuxing), teori fenomena organ (Cang Siang), teori Chi dan cairan-cairan tubuh, teori meridian (ada 12 meridian utama plus 2 meridian istimewa yang wajib dikuasai) beserta perjalanannya dari awal hingga akhir, titik-titik akupunktur (sejumlah 361 titik, masih ditambah dengan titik-titik yang baru ditemukan), delapan dasar diagnosis, empat cara pemeriksaan, penggolongan sindrom, dll., dll. Fuih! Berat!!!

Begitu banyak teori yang harus dihafal, semua seolah berebut untuk masuk dalam ingatan, seperti hendak masuk ke dalam mulut botol. Padahal itu baru hanya sekadar menghafal dan mengingat, belum melihat logika dibalik teori-teori tersebut dan menghubungkannya satu sama lain.

Ketika sesi titik-titik akupunktur, saya merasa jenuh, bosan dan capai. Saya pikir lebih mudah belajar chikung, saudara akupunktur dalam rumpun TCM. Tidak perlu paham teorinya yang rumit, yang penting latihan setiap hari. Ternyata akupunktur tidak seperti itu.

Sejak tahun 1996, ketika saya memulai petualangan saya dengan belajar penyembuhan prana, latihan yoga, reiki, meditasi, chikung, saya belum menemukan bentuk peneyembuhan yang sedemikian rumit dan berat dalam proses belajarnya. Bentuk-bentuk penyembuhan ini hanya menuntut pemahaman dan latihan rutin setiap hari, setengah jam atau satu jam. Beda dengan akupunktur yang memakan waktu enam bulan bahkan lebih. Program yang saya ikuti saat ini rencanya sembilan bulan, sampai Oktober 2009. Dan kewajiban untuk ujian lokal dan ujian kompetensi nasional, tanpa ada jaminan akan lulus.

Tetapi okelah, semua sudah saya putuskan. Akupunktur harus jalan terus, lulus atau tidak lulus. Bagi saya akupunktur seperti membangun sebuah puzzle raksasa yang dimulai dari empat cara pemeriksaan, sesi yang saat ini sedang saja jalani. Di bagian ini, akupunktur kembali menjadi menarik untuk saya, karena saya mulai bisa melihat apa yang pertama dikerjakan seorang akupunkturis ketika menangani pasiennya. Setelah itu, saya harus mencari potongan-potongan puzzle lainnya untuk direkonstruksi, sehingga bisa membuat diagnosa apakah seseorang sehat atau sakit berdasarkan teori-teori akupunktur.

Dan tentu saja, saya harus kembali ke motivasi awal, untuk apa saya belajar akupunktur. Tanpa motivasi yang kuat dan utuh, mungkin memang akan gagal. Tetapi dengan motivasi yang kuat dan utuh, saya yakin saya bisa melewati ini. Bosan kerja untuk orang lain. Kalau bisa bekerja mandiri untuk diri sendiri, kenapa tidak?

Barangkali disini ujian yang sesungguhnya. Bukan hanya dalam akupunktur saja, tetapi juga dalam semua bidang kehidupan. *** (UHK, 27 April 2009)

Labels:

Thursday, April 02, 2009

Percakapan Dengan Yin Yang

PERCAKAPAN DENGAN YIN YANG

Aku menatap diagram Tai Chi di depanku.
Dan memikirkan bagaimana cara memahaminya,
ketika tiba-tiba ia berbicara padaku.

“Akulah Yin, si hitam dengan titik putih sebagai mata di kepalaku,”
kata Yin memperkenalkan diri.

“Dan akulah Yang, si putih dengan titik hitam sebagai mata di kepalaku,”
kata Yang memperkenalkan diri juga.

“Kalian bisa bicara?”
kataku bertanya setengah tak percaya.

“Ya!” kata Yin dan Yang bersama-sama.
“Kau ingin tahu lebih jauh tentang kami?”

“Ceritakanlah tentang diri kalian.
Aku akan mendengarkan.”

“Di alam semesta, aku adalah malam, rembulan, gelap,
bawah, dingin, air, barat dan utara,”
tutur Yin.

“Sementara aku adalah siang, matahari, terang,
atas, panas, api, timur dan selatan,”
sahut Yang.

“Di tubuh manusia, aku adalah perempuan, dada-perut,
tubuh bagian bawah, fisik, permukaan tubuh bagian dalam, cairan yang keruh”
ujar Yin.

“Sedangkan aku adalah lelaki, punggung-bokong,
tubuh bagian atas, psikis, permukaan tubuh bagian luar, cairan yang jernih,”
balas Yang.

“Sebagai organ, aku adalah cang, yaitu organ-organ padat,
seperti hati, jantung (dan selaput jantung), limpa, paru-paru dan ginjal,”
tambah Yin.

“Dan aku adalah fu, yaitu organ-organ berongga,
seperti kandung empedu, usus kecil (dan tiga pemanas), lambung, usus besar
dan kandung kemih,”
imbuh Yang.

“Jika tubuh manusia sakit, maka aku adalah kronis, tenang, lama,
dingin, lembab dan regresif,” lanjut Yin.

“Ya, jika sakit, lihatlah aku sebagai akut, gelisah, baru,
panas, kering dan progresif,” lanjut Yang.

“Untuk menegakkan diagnosa, lihatlah aku, Yin,
pada dalam, dingin dan lemah,”
jelas Yin.

“Maka aku, Yang,
ada pada luar, panas dan kuat,”
terang Yang.

“Rupanya kalian hadir dari tataran makrokosmos hingga mikrokosmos.
Dari jagad besar hingga jagad cilik.”

“Betul. Lihatlah kami sebagai suatu diagram yang utuh
dan berputar ke arah kanan, bukan ke arah kiri.
Banyak yang terbalik melihat kami.
Kami dinamis, saling tarik-menarik, saling melengkapi,
saling mendasari untuk mencapai keseimbangan.
Tidak ada yang murni, dan tidak ada yang mutlak,”
kata Yin dan Yang bersama-sama.
“Kami ada di alam semesta ini hingga di dalam tubuh manusia seperti kau.”

“Apakah ada terjemahan yang pas untuk nama kalian, Yin dan Yang?
Bagaimana dengan pasif dan aktif?
Atau negatif dan positif?”

“Tidak ada terjemahan yang sepadan untuk kami dalam bahasa apapun.
Pergunakan saja Yin dan Yang seperti aslinya,”
jawab Yin dan Yang bersamaan.

“Oke, Yin dan Yang.”

“Ya, dan kau bisa membaca kami sebagai sebuah frase,
di dalam Yin ada Yang, di dalam Yang ada Yin.”

Jakarta, 23 – 26 Februari 2009

Urip Herdiman K.

Labels:

Puisi yang Ditemukan Di Dalam Taksi, Malam Hari

PUISI YANG DITEMUKAN DI DALAM TAKSI,
MALAM HARI

detak jantung berhenti
detik jam berlari

: bibir pelangi

Jakarta, 18 – 19 Februari 2009

Urip Herdiman K.

Labels:

Brawn GP dan Semangat Olahraga

BRAWN GP DAN SEMANGAT OLAHRAGA

Brawn GP, yang dibangun Ross Brawn dari puing-puing Honda Racing Team, melakukan debut yang sangat gemilang mengawali musim kompetisi balap Formula I, dengan menjuarai GP Australia yang berlangsung di Sirkuit Albert Park, Melbourne, pada Minggu, 29 Maret 2009. Dua pembalapnya, Jenson Button dan Rubens Barrichello, menempati podium 1 dan 2, setelah sebelumnya juga merebut pole position pada babak kualifikasi.

Media-media menyambutnya bak kemenangan Cinderella. Saya melihatnya sebagai kemenangan semangat olahraga sejati, yang mengatasi segala-galanya, termasuk fanatisme pada tim.

Secara pribadi, saya pendukung tim McLaren sejak saya mengikuti berita-berita Formula 1, mungkin hampir 25 tahun lalu, bersamaan dengan terbitnya tabloid Bola. Dan di sepakbola, saya mendukung Everton FC di Liga Inggris, yang sempat menguasai puncak Liga Inggris periode 1984/1985 dan 1986/1987. Hal itu terbawa sampai sekarang.

Saya tetap mengikuti perkembangan kedua tim tersebut, jatuh bangunnya McLaren di Formula 1 dan Everton di Liga Inggris. Minimal, saya selalu ingin tahu hasil-hasil yang mereka capai setelah suatu race atau setelah pertandingan liga di akhir pekan. Menang, saya senang. Kalah, ya tidak apa-apa.

Tetapi zaman juga berubah. Selalu ada tim yang dominan, dan selalu ada tim yang menjadi penantang, atau sekadar cuma kuda hitam. Dan saya pun menikmatinya. Mendukung tim favorit saya secara tradisional, namun juga suka dengan mnculnya tim-tim baru yang punya potensi.

Bayangkan ketika Ferrari mendominasi balap Formula I selama 5 tahun pada awal milenium ini. Sangat membosankan. Seperti penonton yang lain di belahan dunia manapun, saya meninggalkan televisi. Tanpa perlu menonton teve, saya bisa menebak siapa juaranya. Michael Schumacher. Juga sangat membosankan ketika Manchester United selalu juara liga. Makanya saya pun suka dengan Arsenal ketika bisa mengganggu dominasi MU. Begitu pula ketika Chelsea juara dua kali berturut-turut.


Di satu sisi, saya punya tim favorit yang selalu saya dukung, seperti McLaren dan Everton. Tetapi di lain sisi, saya juga harus mengakui kalau ada tim lain yang kuat dan layak menyandang titel juara. Namun juga saya tidak suka dengan tim yang terlalu kuat dan terus-menerus mendominasi, karena mengakibatkan kebosanan.

Olahraga merupakan suatu arena untuk melihat munculnya juara-juara baru secara fair. Juara lama berjuang mempertahankan gelarnya, tim lain mencoba merebut gelar dari juara bertahan. Kemapanan membuat kompetisi jadi tidak menarik untuk ditonton, apalagi diikuti sampai akhir. Kejuatan tim baru, seperti Brawn GP di Formula I tahun 2009 ini, Hull City di Premier League dan Hoffenheim di Bundesliga, sangatlah menyegarkan.

Saya berharap selalu ada tim yang bisa menggangu, dan bahkan mematahkan dominasi tim juara yang terlalu kuat dan terlalu lama bertahta. Jika tidak ada kejuatan, buat apalagi menonton teve dan mengorbankan acara lain, kalau sudah tahu siapa yang menang dan siapa yang juara? Saya pikir, demikianlah semangat olahraga sejati. Harus ada penantang yang dapat memecahkan kemapanan, menghasilkan kejutan yang tidak cuma sekali, dan menjadi juara di akhir musim. *** (UHK, Selasa, 31 Maret 2009)

Labels: