The Urheka Project : Mimpi Dalam Mimpi

"All that we see, or seem, is but a dream within a dream." - Edgar Allan Poe, A Dream Within A Dream, 1846.

Wednesday, November 11, 2009

Skenario Menghitung Mundur...

SKENARIO MENGHITUNG MUNDUR…



Nama dan wajahnya setiap hari menghiasi halaman muka suratkabar.
Tak ketinggalan pula setiap jam selalu muncul dalam breaking news stasiun teve berita.

Lelaki itu duduk sendiri di ruang kerjanya. Tumpukan koran dan majalah memenuhi meja kerjanya. Ia sudah malas membacanya, karena semua isinya sama. Tuntutan mundur untuknya. Huh! “Apa mundur memang budaya kita? Sewaktu sekolah dulu, rasanya tidak ada pelajaran tentang budaya mundur. Ataukah ketika itu aku sedang tidak masuk sekolah?” pikirnya mengingat-ingat masa sekolah dulu.

Di luar, lalu lintas di sekitar kantornya tidak pernah sepi. Selalu ramai, selalu macet. Demikian pula dengan otaknya. Terus mencari jalan keluar dari kebuntuan. “Apakah kalau aku mundur dari jabatan lalu persoalan selesai? Lalu siapa yang akan melanjutkan tugas ini? Tak ada alasan untuk mundur. Kenapa aku harus mundur?”

“Bukankah budaya kita mengagungkan kedudukan yang tinggi, harta yang banyak, tunggangan apa yang kita naiki, kesaktian apa yang kita miliki, dan wanita cantik sebagai pendamping? Mengapa sekarang aku harus mundur?”

Awan gelap menyelimuti langit Jakarta. Awan mendung yang menjambret pikiran dan perasaan semua orang di republik ini. “Berapa banyak pejabat kita yang pernah mundur dari jabatannya? Hatta? Ah, itu kan sudah lebih dari lima puluh tahun yang lalu. Tidak banyak yang ingat siapa dia. Hoegeng? Ah, dia cuma bikin susah generasi berikutnya dengan citra bersihnya seperti polisi tidur. Soeharto? Dia kan mundur setelah ditinggalkan semua pendukungnya.“

Teleponnya berdering terus-menerus. Telepon kantor dan telepon genggam. Ia diam saja, tidak mengangkatnya dan masih berdiri di dekat jendela. “Bagaimana aku bisa keluar dari situasi ini? Institusi tidak kehilangan muka, aku pun tidak malu. Hmm…aku harus menyiapkan kalimatnya, tetapi bagaimana ya yang enak…?”

Matanya menerawang jauh, melampaui batas cakrawala yang mulai benderang dengan nyala lampu-lampu di sekitar kantornya. Ia ingat istrinya, anak-anak dan cucunya. “Saya tidak akan mundur. Buat apa mundur? Apakah kalau saya mundur, lalu persoalan ini selesai?”

Bagus, pikirnya lagi. Bukankah semua pejabat disini pertama-tama akan mengatakan demikian? Malu? Ah, rasanya tidak perlu malu. Apa ada kalimat lain sebagai alternatif? “Maaf, saya tidak melakukan seperti apa yang dituduhkan itu. Maaf, saya tidak akan mundur!”

Bagus juga. Apa ada yang lain lagi? . “Saya tidak mundur, hanya tidak aktif untuk sementara waktu. Nanti saya akan kembali.”

Boleh juga. Apa masih ada yang lain? Pikirannya terus bekerja. Seribuan kalimat berseliweran di kepalanya. Bintang-bintang bertebaran. Satu kalimat yang selalu diingatnya. “Semua sudah saya serahkan pada atasan saya.”

Bukankah semua atasan bertanggung jawab akan kelakuan anak buahnya? Dan tidak ada atasan yang akan menyuruh bawahannya mundur. Atasan pasti sudah memikirkan yang terbaik untuk bawahannya. Ya, ini dia kalimat yang pas, pikirnya.

Kepalanya pening, entah bintang entah kunang-kunang yang dilihatnya. Ia pun meneguk puyer tjap bintang toedjoeh nomor enam belas. Lalu ia mengulang-ulang lagi kalimat yang sudah diucapkan di dalam hati tadi. “Semua sudah saya serahkan pada atasan saya. Semua sudah saya serahkan pada atasan saya. Semua sudah saya serahkan pada atasan saya. ”

Kalimat sakti yang sudah menjadi mantra untuk semua pejabat, untuk semua birokrat.

“Semua sudah saya serahkan pada atasan saya.
Semua sudah saya serahkan pada atasan saya.
Semua sudah saya serahkan pada atasan saya.”

Mantra yang harus diucapkan setiap saat, dimana pun berada. Diucapkan ketika bangun tidur, menjelang tidur dan selagi tidur.

“Semua sudah saya serahkan pada atasan saya.
Semua sudah saya serahkan pada atasan saya.
Semua sudah saya serahkan pada atasan saya.”


Jakarta, 8 – 12 November 2009

Urip Herdiman

Labels:

1 Comments:

Blogger Unknown said...

Hm.... :) Langit Jakarta semakin kelabu, hujan pun turun...

9:06 PM  

Post a Comment

<< Home