The Urheka Project : Mimpi Dalam Mimpi

"All that we see, or seem, is but a dream within a dream." - Edgar Allan Poe, A Dream Within A Dream, 1846.

Wednesday, October 22, 2008

Membaca Sebuah Hati

MEMBACA SEBUAH HATI

kupikir sudah dekat, ternyata masih jauh
kupikir sudah jauh, ternyata masih dekat

September 2008

Urip Herdiman K.

Labels:

Thursday, October 16, 2008

Jiwa yang Bebas dan Kau

JIWA YANG BEBAS DAN KAU

“Sebuah jiwa bebas akan lebih tenang tanpa keterikatan.”
- Kahlil Gibran, The Prophet

Aku terkejut membaca pesanmu yang terakhir. Katamu, kau hanya mengintip sesaat The Prophet itu. Semula aku berpikir kau memetiknya dari langit yang mendung. Langit kota yang rajanya sedang gundah gulana.

Pernah kukatakan padamu bahwa kita teman sejiwa. Apakah kita pernah bertemu di masa silam, di kehidupan yang lalu? Mungkin. Mungkin kita pernah berjumpa di masa silam, di suatu tempat, di suatu waktu. Karenanya kau selalu bisa membaca pikiranku. Ah, seharusnya kau mendengarkan lirik sebuah lagu. “…I’m eye in the sky/Looking at you/I can read your mind… ”

Dan aku yakin bahwa kita akan bertemu suatu waktu nanti, karena kita punya kehendak untuk selalu berjumpa. Jika tidak sekarang, mungkin di kehidupan yang akan datang. Karena kehendak itu mendorong kita untuk terlahir kembali. Sungguh, aku menikmati lingkaran samsara ini untuk bertemu denganmu.

Sawangan - Jakarta, 14 -17 Oktober 2008

Urip Herdiman K.

Catatan :
Petikan dari Eye in The Sky, lagu The Alan Parsons Project
dalam album Eye in The Sky, 1982.

Labels:

Surat yang Datang Bertamu









SURAT YANG DATANG BERTAMU

Senja, ketika kau tiba di rumahmu yang selalu sepi, sepucuk surat tergeletak di depan pintu rumah. Sendiri. “Halo, sayang. Tolong buka diriku dan baca ya…” kata surat itu manja padamu.

Kau menatapnya dan meneliti siapa pengirim surat itu. Lalu kau letakkan di atas meja. “Nanti dulu, sayang, setelah mandi dan makan,” katamu bergumam lirih.

Selesai mandi, kau makan biskuit, membaca koran pagi yang letih seharian menunggu disentuh dan mendengarkan krisis keuangan global menderu-deru dari layar kaca. Kau menelepon seorang bidadari cantik yang belum pernah kau jumpai. Dan setelah itu berangkat tidur, entah pukul berapa saat itu. Kau tidak sempat lagi melihat jam meja.

Sepucuk surat datang bertamu dalam mimpimu. “Kenapa tidak segera kau buka diriku? “ katanya bertanya dengan nada kecewa.

Tiba-tiba kau terjaga, entah pukul berapa saat itu, lewat tengah malam. Dan mencoba mengingat-ingat apa mimpimu yang baru saja lewat.

Kau beranjak ke ruang tengah, mencari surat yang kau letakkan di meja, dekat koran yang terlipat rapi kembali. Kau temukan secarik kertas putih, berisi sebuah pesan singkat. “Sebuah surat dibuka untuk dibaca, sebuah mimpi dibaca untuk ditafsirkan. Aku pergi ke dalam mimpi-mimpimu.”

Sawangan - Jakarta, 14 Oktober 2008

Urip Herdiman K.

Labels:

Monday, October 06, 2008

Kepahlawanan yang Gagah dan Tragis

[RESENSI BUKU]

Kepahlawanan yang Gagah dan Tragis
Oleh Anwar Holid



Karna, Ksatria di Jalan Panah (buku puisi)
Penulis: Urip Herdiman Kambali
Penerbit: Citranusa Surya Prima, November 2007
Hal.: xli, 62 hlm.; 12 x 19,5 cm
ISBN: 979-3785-37-3


Sejak lahir hingga matinya, periode kehidupan Karna merupakan rangkaian kesedihan berbaur dengan keteguhan hati dan kejujuran. Perjalanan hidupnya sekaligus memperlihatkan perjuangan kelas, kesetiakawanan, balas budi, bahkan integritas, perlawanan terhadap kecurangan dan kesewenang-wenangan kelompok elite sosial. Dalam dunia pewayangan, dia merupakan contoh tragis kisah kepahlawanan.

Posisi Karna dalam kisah Mahabharata juga unik. Hubungannya baik dengan pihak Kurawa maupun Pandawa sangat sulit, berlapis-lapis, dan melahirkan kontroversi karena di satu sisi dia bersaudara seibu dengan Yudistira, Bima, dan Arjuna, namun dia menjadi panglima perang pihak Kurawa, dan berhasil membunuh Gatotkaca (anak Bima.) Tapi kisah Karna lebih dari sekadar bunuh-membunuh atau balas dendam dalam peperangan, melainkan melahirkan tragedi, ironi dramatik, yang memaparkan makna persaudaraan, pertemanan, juga kesetiaan dalam makna yang sering menyakitkan.

Karna adalah anak sulung Kunti dari Surya, dewa matahari. Untuk menghindari aib karena lahir di luar nikah, begitu lahir Karna langsung dibuang ke sungai. Secara ajaib Karna lahir dari telinga, sehingga keperawanan Kunti tetap terjaga, dan kehidupannya sebagai putri tetap terhormat. Setelah dibuang, Karna akhirnya ditemukan seorang kusir kerajaan Kuru bernama Adirata. Dibesarkan oleh suami-istri Adirata dan Radha, Karna kecil dikenal sebagai Radheya. Secara alamiah pada dasarnya Karna seorang Ksatria, karena dia keturunan raja. Hidup dalam lingkungan dalam kerajaan membuat Radheya sejak kecil ingin menjadi perwira. Namun niatnya ditolak guru kerajaan, yaitu Resi Durna, yang menyatakan bahwa yang berhak menjadi perwira ialah dari kelas Ksatria, sementara dia hanyalah anak seorang kusir kuda. Namun Karna pantang menyerah. Diam-diam dia mengintip para pangeran Kurawa dan Pandawa belajar menjadi Ksatria, menyerap pelajaran Resi Durna dengan sempurna.

Untuk membuktikan sebagai murid terbaik Resi Durna, Karna menyeruak hadir menantang Arjuna dalam sebuah pertandingan memanah. Namun segera dia ditolak oleh Bima dengan menyatakan bahwa Karna adalah anak rakyat jelata, sementara yang boleh belajar jadi perwira adalah para Ksatria. Namun Duryudana, pemimpin Kurawa, membela Karna dan mengangkatnya menjadi raja di Angga. Dengan begitu status Karna menjadi Ksatria.

Dalam sebuah sayembara memanah demi menyunting putri Drupadi, Karna hampir bisa memenangkan pertandingan, tapi dia pun ditampik Drupadi karena tahu dirinya berasal dari kelas bawah, meski awalnya sayembara itu terbuka untuk semua kalangan. Secara curang Karna dikalahkan oleh keputusan panitia, sampai Arjuna memenangi pertandingan secara gratis dan curang. Persaingan antara Arjuna dan Karna merupakan pertarungan klasik antara protagonis dan antagonis, penuh drama dan berakhir dengan pilu. Nasib membuat Arjuna memenangi pertarungan hidup dan mati di antara mereka, tapi Karna menghadapi suratan takdirnya dengan gagah, tanpa penyesalan, dan malah menimbulkan simpati siapapun yang membaca berbagai versi ceritanya. Yang paling dramatik boleh jadi ialah pengakuan Kunti sampai akhirnya para Pandawa tahu bahwa Karna saudara kandung mereka, tetapi mati sebagai pembela Kurawa.

* * *

Urip Herdiman Kambali menggarap kisah Karna menjadi rangkaian puisi epik dengan kualitas keterbacaan yang sangat baik, dan mampu menghadirkan sisi-sisi puitik yang berhasil. Pendekatan naratif (bercerita) yang diambilnya menghadirkan karakter Karna yang kuat, tergambar dengan jelas, mudah dipahami, menimbulkan simpati, dan melahirkan semangat kepahlawanan. Dengan tegas Urip memandang Karna sebagai seorang Ksatria yang sederhana, setia kawan, jujur, menghadapi banyak marabahaya, sementara hidupnya kerap berhadap-hadapan dengan risiko, keteguhan mengambil keputusan, dan kerja keras. Dalam puisi-puisinya, Urip menghadirkan Karna dengan sikap mental yang begitu tegas, mandiri, dan tidak cengeng, berkebalikan dengan Arjuna yang banyak dibantu para dewa agar bernasib mujur.

Keberhasilan menghadirkan karakter Karna sebagai rangkaian puisi dalam satu buku juga patut dipuji mengingat langkanya penulisan puisi epik yang ditekuni oleh para penyair Indonesia. Penyair kita amat mudah tergoda untuk menulis puisi-puisi lepas baik untuk eksplorasi estetika maupun menanggapi peristiwa tertentu, alih-alih dengan gigih menggarap satu tema utuh tertentu agar pembaca pun mampu menikmati kisah secara lengkap dan bernuansa banyak.

Terlahir sebagai perwira, Karna menghadapi nasibnya juga dengan perwira, meski jalan ke arah sana penuh luka. Dalam Karna, Ksatria di Jalan Panah yang terdiri dari 23 sajak, Urip menyuguhkan sebuah lakon yang kompleks, berpusat pada satu tokoh dengan pergolakan jiwa yang begitu terasa, termasuk dalam meluapkan kekecewaan dan kasih sayang. Terutama sekali pada rangkaian Sajak-Sajak Karna (I - XV) yang berpuncak pada Karna Tanding, dia dengan gemilang menghadirkan Karna yang gagah gugur di medan perang, bukan karena lalai maupun salah taktik, melainkan lebih karena persekongkolan para dewa dan penasihat perang dalam mencelakakan dirinya demi keinginan berlebihan melindungi Arjuna.

Lima belas sajak itu diperkuat oleh delapan puisi lepas, yang menyemen semua fragmen menjadi kisah seorang manusia di hadapan perang dan kehidupan yang lebih besar. Dalam buku ini pun, Karna menjadi sosok yang terasa lebih menonjol dibandingkan kisah Mahabharata dan Bharatayuddha itu sendiri. Karna hadir dengan daya tarik dan moral tersendiri, dan dengan baik bisa dimanfaatkan oleh Urip.

Urip menyebut pendekatan yang dia ambil dalam menulis puisi sebagai “concept anthology,” mengambil semangat concept album yang kerap digunakan kalangan musisi art rock dan progressive rock. Dia di antaranya menyukai The Alan Parsons Project dan Pink Floyd, band yang kerap menghasilkan concept album terkemuka. Urip menguatkan keyakinannya dalam sebuah esai dengan menyatakan: "Concept anthology mengusung suatu tema besar yang didukung beberapa puisi, atau sebanyak-banyaknya puisi. Dengan kata lain, puisi tersebut dirancang untuk mendukung tema, dan terkait satu sama lain." Dia telah menggunakan teknik serupa dalam sejumlah puisinya dalam buku pertamanya, Meditasi Sepanjang Zaman di Borobudur (2005), terutama puisi Meditasi Panjang di Borobudur 1 - 3. Buku puisi tersebut masuk 5 besar nominasi Khatulistiwa Literary Award (KLA) 2006.

Menulis puisi epik tampak jelas butuh stamina tinggi. Untuk menghadirkan sosok Karna yang teguh dalam versinya sendiri, Urip melahap belasan sumber kisah Mahabharata dan Bharatayudha, serta beragam literatur, baik Karna dari versi Jawa maupun India. Kegigihan Urip menghadirkan puisi epik mampu mengembalikan ingatan pada keberhasilan beberapa penyair Indonesia dalam menggarap tema-tema sejarah yang bukan saja membutuhkan keahlian sastrawi, melainkan juga keluasan wawasan, keteguhan mengambil sikap dan menentukan sudut pandang. Indonesia pun pada dasarnya menyimpan kekayaan mitos dan sejarah faktual yang pantas diolah menjadi epik, mulai dari folklor dan mitos, kisah kerajaan besar hingga kepahlawanan yang gagah berani. Sebagai pelengkap, buku ini disisipi interpretasi yang berimbang dan mengena oleh Totok AB Wibisono.[]

---ANWAR HOLID, eksponen TEXTOUR, Rumah Buku, Bandung; penulis Barack Hussein Obama.

Labels: