The Urheka Project : Mimpi Dalam Mimpi

"All that we see, or seem, is but a dream within a dream." - Edgar Allan Poe, A Dream Within A Dream, 1846.

Tuesday, January 27, 2009

Aku Menunggu Hujan

AKU MENUNGGU HUJAN

Aku menunggu hujan. Langit gelap. Awan menggantung di depan pintu. Angin menari-nari di halaman, menggoyang pucuk-pucuk pepohonan.

Aku menunggu hujan. Ramalan cuaca mengatakan puncak musim hujan akan datang pada akhir Januari hingga awal Februari. Hati-hati, kata peramal cuaca, kalau kita akan mengadakan perjalanan. Karena kau tahu, gelombang laut bisa mencapai tinggi lima meter. Cukup untuk menghempaskan kapal yang kau tumpangi. Atau mungkin cuaca buruk akan membahayakan penerbanganmu. Bisa juga mengganggu perjalanan kereta yang kau naiki.

Aku menunggu hujan. Suaranya telah kudengar dari jauh. Samar-samar. Melangkah dengan tegap dan pasti, datang berbaris. Gerimis kecil, rintik-rintik, semakin besar, dan melebat. Dan dewa-dewa bermain dengan cambuk apinya yang membelah langit. Langit menyala penuh kembang api. Membuat hujan turun semakin deras, tanpa bosan, tanpa henti. Hujan turun dengan hati senang dan bahagia.

Aku menunggu hujan. Dari balik kaca jendela, aku melihat pintu yang terbuka lebar. Pintu menuju ingatan yang semakin jauh, ingatan yang terkubur masa silam. Menghadirkan kembali moment-moment yang hilang. Tetapi juga membuka pintu ke masa depan. Imajinasi liar.

Aku menunggu hujan. Datang dan pergi. Gelap dan terang. Hitam dan putih. Malam dan siang. Kiri dan kanan. Timbul dan tenggelam. Basah dan kering. Wanita dan pria. Yoni dan lingga. Fu dan cang. Yin dan Yang.

“Aku tidak suka hujan!” katamu padaku, sedikit berbisik.
“Hujan membuatku repot. Sungguh. Misuh-misuh. ”

“Kenapa? Punya trauma?” balasku bertanya, setengah tak percaya ada orang yang tidak suka hujan.

“Mungkin karena aku dulu tinggal di daerah banjir,”
jawabnya lagi.

Aku menunggu hujan, tetapi aku tidak menunggu banjir. Banjir datang hanya karena kesalahan dan kecerobohan kita saja. Kita yang bebal, kita yang bodoh. Alam yang disalahkan.

Aku menunggu hujan, sepanjang malam dan sepanjang mimpi. Aku menunggu hujan, dan kamu, di sini, kapan pun kau datang. Ada angpao untukmu. Gong xi fa choi!

Jakarta, Rabu, 28, Januari 2009

Urip Herdiman K.

Labels:

Tuesday, January 20, 2009

Pertamina dan Stigma

PERTAMINA DAN STIGMA

Stigma, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, diartikan (1) ciri negatif yg menempel pd pribadi seseorang krn pengaruh lingkungannya; (2) tanda.

Keluarga tapol yang terkait Peristiwa G.30.S/PKI terkena stigma ‘kiri’. Aktivis Petisi 50 terkena stigma ‘pembangkang’. Megawati terkena stigma ‘pendiam’. Amien Rais punya stigma ‘plin-plan’. Tim nasional PSSI tidak bisa lepas dari stigma ‘kalah melulu’. Dan lain-lain. Termasuk BUMN terkena stigma ‘kinerjanya buruk’. Di sini, stigma menjadi semacam kutukan yang diterima turun-temurun, dari generasi ke generasi. Dan sulit untuk menolak atau menghindarinya, apalagi menghapusnya. Mungkin sampai terbawa ke dalam mimpi.

Minggu malam, 18 Januari 2009 sekitar pukul 21.30, Depot Plumpang di Jakarta Utara, milik Pertamina, meledak dan mengakibatkan kebakaran dahsyat sepanjang malam. Ketinggian api sampai 100 meter, bisa dilihat dari jarak 20 Km dari lokasi, sementara suasana panas karena kobaran api terasa sampai sejauh sekitar 1 Km dari pusat api.

Sebelumnya, kita hiruk pikuk dengan kasus minyak Zatapi. Belum sampai sebulan yang lalu, kita dipusingkan dengan (berita-berita) ‘hilangnya’ Elpiji (LPG) dari pasaran selama beberapa hari. Baru pulih dari demam LPG, disusul dengan krisis BBM di sekitar pergantian tahun 2008 menuju 2009. Krisis BBM reda, lalu tiba-tiba muncul kasus ledakan Depot Plumpang.

Ada apa dengan Pertamina? Kenapa segala sesuatu yang terjadi di BUMN itu selalu menarik perhatian orang?

Pertamina tentu saja baik-baik. Hehehe… Yang tidak baik adalah orang yang selalu ingin campur tangan urusan intern Pertamina, atau selalu mencari keuntungan dari semua persoalan yang dihadapi Pertamina.

Dalam banyak hal yang berkaitan dengan energi minyak dan gas bumi di negara ini, Pertamina selalu berada dalam keadaan serba salah. Hal ini bisa terjadi karena tidak banyak yang menyadari posisi hukum Pertamina.

Pertamina, yang didirikan pada 10 Desember 1957, pernah berkembang menjadi konglomerasi BUMN pertama di Indonesia, dibawah Ibnu Sutowo sampai kejatuhannya tahun 1975 karena terbelit skandal keuangan ratusan juta dollar tahun itu. Pertamina saat itu, sesuai dengan UU No. 8 tahun 1971 tentang Migas (ini satu-satunya undang-undang tentang badan usaha milik negara) mengemban dua tugas utama. Pertama, Pertamina sebagai regulator dimana semua kontraktor production sharing (KPS) tunduk pada Pertamina. Dan kedua, Pertamina sebagai player. Namun di era ini, peran Pertamina sebagai regulator yang lebih menonjol. Bahkan di tahun 1980-an, selama beberapa tahun APBN Indonesia ditulangpunggungi hasil dari ekspor minyak dan gas bumi. Tidak salah, karena saat itu produksi minyak Indonesia sedang top mendekati 2 juta barrel dengan jumlah penduduk masih di sekitar angkat 130 – 140 juta jiwa.

Inilah yang membuat orang melihat Pertamina dilihat sebagai agent of governement, tidak lebih dari kepanjangan tangan Pemerintah. Pertamina masuk ke semua sektor, seperti perhotelan, perumahan, pertanian, pupuk, penerbangan, dan lain-lain. Semua datang ke Pertamina untuk minta duit, termasuk Pemerintah. Sehingga Ibnu pun sering disebut sebagai presiden bayangan.


Namun pada saat yang sama, terjadilah pembusukan itu. Sehingga image Pertamina sebagai sarang korupsi mulai tumbuh dari era ini. Pertamina tidak perlu aktif berbisnis, semua datang ke Pertamina untuk berbisnis. Tidak ada satupun konglomerat Indonesia yang mulai tumbuh di tahun 1970-an hingga 1990-an, eranya Soeharto, yang tidak karena uang minyak Pertamina. Tetapi dari era inilah, BBM mulai disubsidi Pemerintah, yang sebenarnya merupakan politik Soeharto untuk membungkam masyarakat.

Zaman berubah, Soeharto jatuh, undang-undang pun berganti. Pertamina tunduk pada UU No. 22 tahun 2001. Peran Pertamina sebagai regulator diserahkan pada BP Migas (Badan Pelaksana Migas) di sektor hulu, yang embrionya adalah BPPKA, sebuah badan di dalam Pertamina. Sementara di sektor hilir, dibentuk BPH Migas (Badan Pengatur Hilir Migas). Dan Pertamina dikembalikan sebagai entitas bisnis yang harus mencari profit. Sebagai entitas bisnis, Pertamina juga tunduk pada UU tentang Perseroan Terbatas. Sehingga pada 1993, Pertamina pun berdiri sebagai badan hukum dengan nama PT Pertamina (Persero).

Namun, sebagai BUMN, Pertamina tetap harus mengemban tugas-tugas yang diberikan Pemerintah, yang dikenal sebagai public service obligation (PSO). Masyarakat mengenalnya sebagai BBM Bersubsidi. Dengan kata lain, tidak banyak yang berubah.

Posisi inilah yang tidak disadari masyarakat. Mereka terlena dengan jargon bahwa Indonesia negeri yang kaya, kaya sumber daya alam, kaya minyak dan gas. Tetapi mereka lupa bahwa jumlah penduduk bertambah lebih cepat, sementara jumlah produksi menurun lebih cepat lagi. (Dan jangan lupa, negeri yang kaya minyak dan gas, anehnya, terkena semacam kutukan. Pemerintahannya yang tidak demokratis, atau masyarakatnya menjadi malas dan tidak mau berpikir.)

Semua bisnis yang disubsidi, adalah bisnis yang tidak sehat. Itu dikatakan oleh Prof. Soebroto, mantan Menteri Pertambangan dan Energi yang flamboyant dengan dasi kupu-kupunya. Contohnya BBM yang bersubsidi, listrik PLN, tarif ekonomi Kereta Api Indonesia, tarif Pelni, dll. Semua bisnis yang tidak sehat secara ekonomis.

Saya bisa mengerti, tidak sehat karena sebenarnya supply and demand yang riil seringkali tidak didapatkan, dengan berbagai alasan politis atau manipulasi. Ditambah berbagai penyimpangan di lapangan yang sulit dijangkau hukum, termasuk pengoplosan dan penyelundupan BBM ke luar negeri karena adanya disparitas harga. Inilah yang dimanfaatkan para petualang.

Misalnya contoh kasus konversi minyak tanah ke Elpiji 3 Kg. Target semula tahun 2014, maju menjadi 2012, maju lagi menjadi 2010, sampai akhirnya 2009. Jelas target program yang dicanangkan Wapres Jusuf Kalla terlalu kental dengan nuansa politisnya. Akibatnya, percepatan pembangunan infrastruktur dan pasokan harus berlomba dengan target politis Sang Wapres memasuki gelanggang Pemilu dan Pilpres 2009.

Dalam beberapa kesempatan, seorang petinggi Pertamina mengatakan bahwa di Indonesia ini, tidak ada sector kehidupan yang tidak lepas dari (produk) Pertamina, bahkan 24 jam. Mulai dari isi tanki mobil atau motor kita, pelumas yan dipakai, bahan bakar di dapur, lilin, plastik, aspal jalanan, dan masih banyak lagi, lebih dari 100-an, produk turunan yang berasal dari minyak dan gas bumi.

Pertamina berbisnis di bisnis minyak dan gas bumi. Banyak pihak yang ingin menikmati uang hasil minyak ini. Mulai dari anak-anak Presiden Soeharto, kroninya, pensiunan jenderal-jenderal, orang-orang partai politik. Dalam suatu kesempatan wawancara dengan Prof. Dr. Bambang Permadi S. Brodjonegero, Dekan FE-UI saat ini, berkaitan dengan Seminar Mafia Minyak di UI, menyebutkan begitu banyak orang yang tertarik dengan uang minyak ini dan bermain di belakang layar.

Dalam hal PSO, Pemerintah memberikan tugas pada Pertamina, dan Pertamina tidak pernah bisa menolaknya. Ketika terjadi suatu krisis, Pemerintah tidak pernah membela Pertamina, dan Pertamina pun tidak bisa menyalahkan Pemerintah. Karena hitungan bisnis yang riil tidak selalu matching dengan perhitungan politis yang selalu berubah-ubah setiap saat.

Di tengah Pertamina yang terus disorot karena stigma beban warisan KKN yang dipikulnya dan upaya transformasi yang tengah dilakukan, ada sisi lain yang gelap, yang luput dari sorotan masyarakat. Apapun upaya Pertamina memperbaiki citranya, selalu ada cap negatif yang siap ditembakkan bila terjadi sesuatu dengan Pertamina. Dan setelah itu, berbagai isu dan teori muncul beredar, seperti yang bisa kita baca di media massa atau kita dengar dari media elektronik. *** (UHK, 19 – 20 Januari 2009)

Labels:

Tuesday, January 13, 2009

Pidato, Tangan, Sampah

PIDATO, TANGAN, SAMPAH

Tahun 2009 ini adalah tahun pemilu dan tahun pilpres. Jadi kita akan banyak melihat para politisi berpidato menjual kecapnya dalam kampanye untuk meraih suara sebanyak-banyaknya. Tetapi apa sih, pidato itu?

Pidato, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga (tetapi kayaknya bajakan neeh… - Pen.), berarti : (1) pengungkapan pikiran dl bentuk kata-kata yg ditujukan kpd orang banyak; (2) wacana yg disiapkan untuk diucapkan di depan khalayak.

Melihat arti tersebut, seseorang harus bisa merumuskan pemikirannya, baik lisan maupun tertulis, yang akan disampaikan kepada orang banyak. Sementara arti kedua lebih kepada tema apa yang mau disampaikan. Intinya, orang tersebut harus bicara tentang sesuatu hal (atau banyak hal).

Di instansi pemerintahan, pidato dan berbagai variannya seperti sambutan atau pengarahan, adalah hal yang biasa dan membosankan karena terlalu sering. Bahkan sebagian yang mendengarnya sampai tertidur. Ingat saja sewaktu Presiden SBY berpidato dalam sebuah acara di Lemhanas, tahun 2008 kemarin. Ada beberapa peserta, yang notabene adalah para kepala daerah, tertidur dan membuat murka Presiden. “Hey, bangun!” kata Presiden sambil menunjuk-nunjuk.

Kalau mendengar langsung memang bisa bikin kita tidur, tetapi kalau hanya melihat dari siaran televisi, mungkin bisa muntah. Soal pidato yang bikin muntah, tunggu sampai tulisan ini selesai ya…

Indonesia pernah punya jagoan pidato ulung. Soekarno. Dengan uniform militernya yang khas, kacamata hitam, peci dan tongkat, ia berpidato menyihir orang banyak. Bapak dan ibu saya dulu sering menceritakan bagaimana kalau Soekarno berpidato. Foto-fotonya memperlihatkan gaya pidatonya, dengan tangan kanan yang terangkat ke atas.

Gaya ini pula yang coba diikuti anaknya, Megawati. Mega selalu berpidato dengan gaya yang mendekati bapaknya, tangan terangkat ke atas, menunjuk langit. Ia pun sering difoto dengan latarbelakang foto bapaknya. Saya pikir mungkin Mega kurang percaya diri. Jadi dia perlu back up dari bapaknya, biarpun hanya foto saja.

Bung Tomo juga harus disebut sebagai jagoan pidato. Pidatonya pada peritiwa 10 November 1945, membakar hati pemuda-pemuda Surabaya (dan Jawa Timur) untuk bertempur melawan Inggris dan NICA. Fotonya juga hampir serupa dengan Soekarno. Diambil dari bawah, tangannya menentang langit.

Sedikit ke luar negeri, ada nama Fidel Castro, yang pernah lama memimpin Kuba. Tidak jelas, apakah dia jago pidato atau tidak, tetapi dia bisa berpidato sampai berjam-jam. Saya pernah membaca berita pndek tentang Castro yang pidato sampai 6 jam! Kalau saya di Kuba sana, saya bisa ditahan polisi rahasia, karena bolak-balik ke toilet setiap jamnya. Tuduhannya? Subversif. Tidak menghargai boss yang sedang berpidato.

Balik ke Indonesia lagi. Sugiharto, orang PPP yang pernah menjabat Menteri Negara BUMN, berpidato di acara BUMN Executive Club. Dalam tempo setengah jam, ia sudah akan selesai dan pamitan. Tahu-tahu, ia bercerita tentang perjalanan dengan Presiden ke Timur Tengah. Ujung-ujungnya, ia berpidato 2,5 jam, padahal sudah sempat pamitan sampai tiga kali. Gila.

Ada juga pidato yang bikin saya mau muntah. Pidatonya politisi Golkar yang punya stasiun televisi berita, Surya Paloh. Pidato dan penampilannya selalu mendapat porsi lebih panjang dari yang lain-lain, ketika disiarkan. Dia bisa dibiarkan sampai sepuluh menit, bahkan lebih. Maklum, televisi sendiri, boss! Dimulai dari tangannya yang terangkat ke atas, hingga tangannya sudah menuding ke bawah. Mungkin capai karena staminanya tidak mendukung.

Tidak apa-apa. Surya Paloh hanya mencontoh saja dari Harmoko, Ketua Umum Golkar yang adalah juara pidato tanpa tanding tanpa banding di era Orde Baru. Dia selalu berpidato dalam berbagai kesempatan, termasuk dalam Safari Ramadhan, atau juga berbicara pada wartawan selaku Menteri Penerangan yang adalah juru bicara Pemerintah. Rambutnya yang tebal, kaku dan licin, karena memakai minyak rambut satu tube penuh. Saking licin rambutnya, namanya pun kepeleset menjadi Hari-hari Omong Kosong.

Itu baru gaya pidatonya saja, belum wacananya. Bagaimana dengan tema atau topik yang dibicarakan?

Tentu ada pidato-pidato yang bagus dan tercatat dalam sejarah karena sangat monumental, biasanya menjadi milestone sebuah zaman. Tetapi saat ini tidak banyak pidato yang bagus seperti itu. Kecuali pidato kenegaraan di depan DPR yang memuat angka-angka APBN, menurut saya, pidato atau apapun juga namanya, hanyalah basa-basi dan puja-puji yang penuh penjilatan. Kalau masih mau bilang bagus, mungkin hanya bagus pada 10 sampai 15 menit pertama. Selebihnya cuma jualan kecap nomor satu yang mereknya Sampah. *** (UHK, 9 – 14 Januari 2009)

Labels:

Wednesday, January 07, 2009

Melihat Peta, Meramal Nasib

MELIHAT PETA, MERAMAL NASIB

Masih di sekitar tahun baru yang belum terlalu jauh, mungkin kita masih sempat merefleksikan diri kita setahun yang baru lewat dan setahun yang akan datang. Belum terlambat, karena walau tahun baru Islam dan tahun baru Masehi – dalam satu minggu yang sama di akhir tahun 2008 - baru lewat, masih ada tahun baru Imlek di depan mata.

Saya mau pergi ke sebuah kota, katakanlah Jogja, dan saya memilih naik kereta api. Makanya saya ingin tahu, lewat kota mana sajakah kereta yang saya naiki. Karena itu saya pun membuka peta. Setelah saya lihat, o, mungkin saya akan lewat Cirebon, Tegal, Purwokerto dan seterusnya ke selatan hingga akhirnya tiba di Jogja. Demikian saya membuat perkiraan perjalanan itu.

Begitu juga Anda kalau hendak bepergian jauh ke luar kota, ke luar pulau Jawa, atau ke luar negeri. Mungkin Anda akan melihat peta untuk melihat kota atau negeri tujuan, dan akan singgah dimana saja selama perjalanan itu. Bisa juga Anda tidak ingin melihat peta, tetapi saya yakin, Anda pasti ingin tahu lewat mana saja perjalanan Anda itu, entah bagaimana caranya.

Itu hal yang wajar, bahwa saya, Anda, dan kita semua selalu ingin tahu apa yang ada di depan kita di dalam perjalanan, sebagai suatu persiapan. Demikian pula kehidupan, sebagai suatu perjalanan. Orang ingin tahu apa yang akan terjadi dalam kehidupannya, di masa depan yang dekat, dan di masa depan yang jauh.

Kita mungkin pernah bertanya-tanya, seperti apa kita setahun yang akan datang, sepuluh tahun berikutnya, atau dua puluh lima tahun ke depan. Apakah hidup kita akan berbahagia? Atau malah susah terus-menerus? Apakah kita akan menikah sekali, atau berkali-kali? Atau mungkin malah tidak menikah sama sekali? Bagaimana dengan kesehatan kita? Apakah akan ada sakit yang berat? Keuangan kita? Anak-anak kita? Dan lain sebagainya.

Keingintahuan itu yang lalu mendorong kita untuk mencari tahu apa yang akan terjadi dengan hidup kita di masa depan. Melihat nasib dan peruntungan diri kita.

Ada banyak bidang keahlian yang katanya bisa membaca masa depan. Palmistri, astrologi, pembacaan kartu-kartu seperti tarot, remi, dll, pembacaan bola kristal, pembacaan ampas teh atau kopi, membaca asap, membaca awan, dan masih banyak lagi metode.

Untuk urusana yang satu ini, ternyata semua agama, apakah agama langit maupun agama bumi, kompak seia sekata. Sama-sama melarang, menentang dan tidak menyetujui peramalan nasib. Namun dasar namanya juga manusia, ada bagian dari otaknya yang korsluiting, sehingga sering salah membaca atau tidak menangkap apa yang dibacanya. Biasanya apa yang dilarang atau tidak disetujui, justru dilanggar dan diterjang.

Jadi, orang-orang tetap ada yang pergi mencari ahli peramalan nasib. Ada yang terang-terangan, tetapi mungkin lebih banyak yang diam-diam. Ssst…saya juga lho, tetapi saya tidak kemana-mana, saya hanya main-main dengn pendulum saya sendiri. Tanya-tanya sendiri, bikin prediksi, dan senyum sendiri. Juga ada kecutnya.

Kenapa agama melarang kita untuk melihat nasib? Entahlah, tetapi mungkin karena kita secara psikologis, sebenarnya tidak pernah benar-benar siap menerima kenyataan (negatif atau buruk) yang datang. Kita hanya mau yang baik-baik saja, tidak mau melihat yang buruk. Memang ada benarnya seperti itu. Namun jika hasil ramalan negatif, kebanyakan orang shock, terkejut, tidak bisa tidur berhari-hari dan bahkan sakit keras (misalnya stroke) karena memikirkannya.

Saya pernah mencoba menghitung usia saya dengan suatu metode palmistry tertentu. Dan saya benar-benar shock mengetahui hasilnya. Selama seminggu saya sulit tidur dan tidak nafsu makan. Barulah setelah saya shalat dan meditasi, saya mulai bisa ‘melupakan’ ramalan diri sendiri itu. Entah kalau nanti tiba waktunya. . Bukankah umur di tangan Tuhan? Hehehe... Eh, tangan kanan atau tangan kiri-Nya ya? Hahaha… *** (UHK, 7 Januari 2009)

Labels:

Saturday, January 03, 2009

Time

TIME
(Pink Floyd)


Ticking away the moments that make up a dull day
You fritter and waste the hours in an off hand way
Kicking around on a piece of ground in your home town
Waiting for someone or something to show you the way

Tired of lying in the sunshine staying home to watch the rain
You are young and life is long and there is time to kill today
And then one day you find ten years have got behind you
No one told you when to run, you missed the starting gun

And you run and you run to catch up with the sun, but it’s sinking
And racing around to come up behind you again
The sun is the same in the relative way, but you’re older
Shorter of breath and one day closer to death

Every year is getting shorter
Never seem to find the time
Plans that either come to naught or half a page of scribbled line
Hanging on in quiet desperation is the English way


The time is gone the song is over
Thought I’d something more to say

Catatan :










Album : The Dark Side of The Moon, 1973
David Gilmour : Vocals , guitars, VCS 3
Richard Wright : Keyboards, vocals, VCS 3
Roger Waters : Bass, vocals, VCS 3, tape effects
Nick Mason : Percussion, tape effects

Sound engineer: Alan Parsons
Backing vocals :Doris Troy, Leslie Duncan, Liza Strike, Barry St. John

Labels: