Concept Anthology :
Alternatif Dalam Penggarapan Kumpulan Puisi
(Bagian 3)
Menemukan Antologi Konsep Dalam Dunia Puisi
Setelah membahas album konsep dalam musik, lalu bagaimana dengan antologi konsep yang saya maksudkan dalam penggarapan antologi puisi ini ?
Pemikiran ini muncul setelah saya mengamati buku-buku antologi puisi yang ada, baik koleksi saya pribadi maupun yang ada di pasaran. Umumnya antologi puisi disusun dengan cara yang sama, yaitu merupakan kumpulan puisi yang bersifat periodik, untuk mudahnya sebut saja antologi konvensional, yang menggambarkan perkembangan kepenyairan seseorang dari suatu kurun waktu tertentu. Hal ini tentu saja sah, dan tidak ada yang salah. Saya sendiri juga melakukan cara yang sama pada buku pertama yang saya terbitkan sendiri, dan beredar di lingkungan teman-teman dengan cara gerilya.
Tetapi kemudian saya menemukan beberapa buku kumpulan puisi yang sedikit berbeda dan menarik perhatian saya. Ada tiga buku kumpulan puisi yang digarap dengan cara berbeda dan mempunyai tema besar yang diusung ketiga buku tersebut. Ketiga buku ini tidak disusun secara konvensional. Ketiganya adalah, pertama, buku kumpulan puisi Binhad Nurrohmat berjudul Kuda Ranjang (Melibas, Jakarta, 2004). Kedua, buku kumpulan puisi Wendoko berjudul (Oratorium) Paskah (Penerbit akubaca, Jakarta, 2006). Dan yang ketiga, buku kumpulan puisi dari Asep Sambodja berjudul Ballada Para Nabi (bukupop, Jakarta, 2007).
Membaca ketiga buku tersebut, saya lalu tiba-tiba teringat dengan album-album konsep dari para musisi rock, khususnya progressive rock . Dan saya yakin, masih ada antologi puisi lain yang digarap dengan cara yang sama, namun saya tidak memilikinya.
Dalam Kuda Ranjang, penerbit memberikan catatan pengantarnya dengan menyatakan bahwa,”Puisi ini berkisah tentang dunia kelamin. Dunia zakar. Dunia tengah manusia. Dunia terkutuk. Dunia tabu…” (hal. 7).
Membaca puisi-puisi dalam Kuda Ranjang, dimulai dari puisi pertama berjudul Berak hingga puisi terakhir berjudul Menopause, kita akan menemukan dunia seks yang sebenarnya dekat dengan kita, tetapi tidak pernah kita pikirkan secara mendalam . Beberapa judul lain misalnya Foreplay, Bunting, Sundal, dan lain-lain mengacu pada seks dan perkelaminan. Dalam bahasa gaul anak-anak Jakarta, mungkin kata -kata yang pas adalah ,”Seks abiss!”
Buku (Oratorium) Paskah digarap Wendoko dengan cara yang lebih rumit . Antologi ini penuh dengan puisi-puisi dan prosa lirik yang berasal dari kutipan-kutipan Injil, cerita pengakuan (confessio) dan renungan dari hasil meditasi. Bambang Sugiharto dalam pengantarnya menyatakan,”Puisi-puisi Wendoko lebih bermain dengan teks dan konteks. Intertekstualitas, juga interkontekstualitas. Teks-teks itu – yang umumnya dari kisah sengsara Yesus dalam kitab Injil, - dipunguti, dilepaskan dari konteks bangunan wacana asalinya yang lebih besar, dan diletakkan dalam dlam konteks baru. Semacam penulisan kembali, pemberian nyawa baru pada teks, namun dengan cara menjejerkannya (juxtaposing)…” (hal. V).
Barangkali untuk memahaminya, pembaca perlu juga membaca sejarah Yesus dengan cara yang normal, tidak langsung masuk pada sekumpulan puisi yang rumit ini.
Dan buku ketiga, Ballada Para Nabi, merupakan kumpulan puisi yang mengisahkan sejarah para nabi. Mulai dari Manusia Pertama, hingga Nabi Terakhir. Buku yang terbit tanpa kata pengantar, kata penutup ataupun catatan si penyairnya ini, jelas bersumberkan dari kisah-kisah dalam kitab suci Al Quran.
Ketiga buku puisi tersebut di atas, jelas berbeda dengan antologi puisi konvensional yang disusun untuk menggambarkan perjalanan kepenyairan seseorang. Ketiga kumpulan puisi ini mengusung suatu tema besar, atau juga tema lain yang masih saling terkait, dan melatari semua puisi yang ada di dalamnya. Tak pelak lagi, saya semula menyebut buku puisi ini sebagai concept album, yang kemudian saya ganti dengan istilah concept anthology yang rasanya lebih pas untuk dunia puisi.
Puisi-puisi dalam antologi konsep terkait satu sama lain, dan saling melengkapi, bukan suatu kumpulan puisi yang terpisah. Puisi-puisi tersebut baru bisa dipahami secara menyeluruh jika kita membaca dari awal sampai akhir. Agak berbeda dengan kumpulan puisi konvensional , yang mungkin akan melahirkan pemahaman pada si penyairnya.
Ada beberapa persamaan dalam antologi konsep yang saya temukan. Pertama, mempunyai suatu tema (dan mungkin tema-tema lain yang terkait) yang kuat, melatari semua puisi yang ada dari awal sampai akhir. Kedua, membentuk suatu alur cerita. Dan yang ketiga, puisi-puisinya cenderung bersifat terbuka.
Tentu dalam hal ini saya mungkin bisa salah atau kurang tepat, karena saya hanya memakai tiga buku tersebut sebagai ukuran. Tetapi saya yakin sudah ada dan banyak menerbitkan antologi konsep walau tidak menyebutnya demikian. ***
(Jakarta, November 2007UHK)