LATIHAN-LATIHAN DI SINI DAN SAAT INI: Aksan Jamet
Hari pertama puasa, 1 September, tiba-tiba seorang teman meditasi  menelepon. Ngobrol  santai tentang ceramah dowsing, puasa  sampai tiba-tiba dia bilang mau belajar dari saya tentang bagaimana caranya mengendalikan emosi. Katanya, dia menjadikan saya sebagai model yang riil tentang bagaimana seseorang yang awalnya keras dan siap untuk kasar, berubah menjadi lebih tenang. 
Tentu saja, dia tahu bagaimana saya dulu dari cerita saya sendiri padanya, suatu waktu, saat ia masih aktif di Tim Kepanitiaan Meditasi Bali Usada Jakarta. Saya cerita bahwa sampai tahun 1998, saya termasuk orang yang melihat semua persoalan  sebagai menang dan kalah, bertempur atau lari, saya atau lawan saya. Ketika pertama kali  masuk Pertamina tahun 1996 yang lalu, saya sanggup bertempur kata-kata lengkap  dengan caci-maki dan sumpah serapah dengan boss saya (etnis tertentu)  dari pukul 08.30 pagi sampai pukul 15.00, dari ruangan ke koridor, balik lagi ke ruangan, dan hanya dipotong shalat Jumat. Dan itu tidak cuma sekali, tetapi sampai tiga kali.  
Harap maklum, saya lama ikut karate (Inkai, 1974 – 1076)  dan silat (Perisai Diri, 1978 – 1991). Di silat, saya sampai tingkatan  ke-8, asisten pelatih, yang kalau dikonversikan dengan system beladiri Jepang, setara sabuk hitam Dan II.  Kemana-mana pergi, sering membawa double stick di dalam tas. Jadi mungkin waktu itu saya  seperti kebanyakan para praktisi seni beladiri, terkena sindrom kawan atau lawan, menang atau kalah, beertempur atau lari. Ada  istilah psikologisnya, tetapi saya sudah lupa. 
Itu dulu sampai tahun 1998. Setelah itu, karena faktor usia,  saya beralih dengan mengikuti  latihan-latihan spiritual, diantaranya  seperti yoga, meditasi dan chikung. Termasuk Meditasi Bali Usada yang berbasiskan Buddhisme. Secara pribadi, saya memang tertarik dengan ajaran-ajaran Buddha, terutama konsep karma dan reinkarnasinya.   
Pertanyaannya, kenapa saya bisa berubah menjadi seperti yang dia lihat? Bagaimana saya bisa berubah? Atau pertanyaan besarnya, apakah latihan-latihan spiritual memang ada manfaatnya pada perkembangan kepribadian dan spiritualitas seseorang?
Jika Anda mengikuti sebuah latihan, tentu Anda punya alasan kenapa ikut dan ingin mencapai target tertentu dalam latihan tersebut. Saya percaya banyak latihan yang bermanfaat bagi para pesertanya, sebesar apapun atau sekecil apapun. Tetapi jika ingin melihat hasilnya yang riil, jangan dengarkan testimony atau sharing di depan kelas, karena itu bisa menipu. Ketika memberikan testimony atau sharing, umumnya peserta akan bicara yang baik-baik saja. Everything is good. 
Bukan itu hasilnya. Lihat hasilnya pada kehidupan ia sehari-hari, baik di lingkungan tempat tinggal  atau tempat kerja. Dari sana bisa dilihat, apakah latihan-latihan yang diikutinya memang memberikan manfaat pada diri orang tersebut. 
Saya tidak pernah percaya pada klaim-klaim lembaga pelatihan atau pemberdayaan diri yang menyatakan telah memberikan pelatihan pada sekian puluh ribu orang di seantero  negeri. Atau klaim yang menyatakan  bahwa pesertanya telah berhasil dan mencapai ini itu dan bla…bla…bla… Yang terjadi adalah para peserta tersebut menjadi penjelajah berbagai pelatihan, membawa kebingungannya kemana-mana dan mengumpulkan sertifikat yang banyak. Selebihnya nothing. Saya banyak ketemu dengan orang-orang seperti ini. 
Dari sekian banyak pelatihan, pada akhirnya saya memilih untuk stay di Bali Usada, dengan segala keterbatasan yang saya  punya dalam waktu dan dana, selain menjadi aktivisnya. Dari sana, saya lalu mencoba untuk secara pribadi, mempelajari Buddhisme melalui buku-buku yang banyak dijual di toko buku. 
Buddhisme tidak pernah mengikat murid-muridnya, dan selalu terbuka untuk siapapun yang mau bejalan di jalan itu. Ada kata-kata Buddha yang pernah saya baca di sebuah artikel, mengatakan bahwa muridnya  yang tidak menjalankan ajarannya adalah hidup di luar jalannya, sedangkan orang lain yang bukan muridnya tetapi menjalankan ajarannya  berarti berjalan di jalannya.  
Artinya, Buddha tidak hanya sebuah agama, tetapi juga bisa dilihat sebagai sebuah sistem etika yang bisa diikuti dan dijalankan oleh siapa saja, tanpa harus melewati ritual semacam pembaptisan. 
Buddha lebih menekankan latihan-latihan sebagai sebuah kesadaran, dan bukan karena perintah dan kewajiban sebagaimana yang ditemui dalam kitab-kitab suci agama-agama langit. Hidup dilihat sebagai sebuah latihan terus-menerus untuk mengembangkan kesadaran spiritual mereka. Karena itu, prinsip yang berkembang adalah di sini dan saat ini. Hiduplah di sini untuk saat ini. Bukan  nanti yang entah kapan. Padahal Anda tahu, Buddhisme percaya reinkarnasi, kehidupan yang berulangkali.
Maksudnya, apapun perbuatan Anda, semua itu akan kembali pada Anda. Alam semesta akan mengembalikan semuanya, tanpa kecuali. Baik ataupun buruk. Perbuatan baik akan meringankan beban karma dari kehidupan lalu dan menambah karma baik untuk kehidupan yang akan datang. 
Saya secara pribadi menjadikan konsep  karma dan reinkarnasi sebagai kerangka berpikir saya untuk menjalani hidup ini dan melihat berbagai persoalan yang saya hadapi. Nah, apakah kemudian konsep-konep ini mengalami internalisasi pada diri saya, mungkin iya.  Tetapi  saya juga tidak bisa menjawabnya secara pasti. Namun mudah-mudahan teman saya itu punya sedikit jawaban, daripada tidak sama sekali. 
Soal marah? Ya, masihlah sedikit-sedikit. Hahaha….  Namanya juga manusia. *** 
(1 – 2 September 2008, UHK) Labels: Esai