BEFORE SUNSET, BEFORE SUNRISE DAN SOULMATESaya sebenarnya bukanlah pencandu  film, tetapi setiap menjelang Hari Natal dan Tahun Baru, saya suka menyetel TV dan menungguin  film-film drama yang  bagus., yang diputar dinihari.  Mungkin tentang Natal, atau Tahun Baru, biasanya percintaan. 

Dinihari tadi, Senin (22/12) pukul 02.00, di stasiun Trans TV saya mendapatkan film 
Before Sunset yang dibintangi Julie Delphy (sebagai  Celine) dan Ethan Hawke (sebagai Jesse). Memang sudah agak lambat masuknya, tetapi masih dapat ceritanya. Jesse,  seorang penulis muda Amerika , melaunching bukunya di sebuah toko buku di Paris. Dan ia pun bertemu kembali dengan seorang wanita yang dikenalnya setahun lalu, di kereta Paris – Wina. Namanya Celine. 
Mereka keluar dari toko buku, berjalan-jalan menyusuri lorong-lorong kota Paris yang eksotis. Pertanyaan dari Celine pada Jesse adalah,”Apakah enam bulan yang lalu, kau  jadi ke Wina?” Pertanyaan itu dijawab tidak oleh Jesse, namun belakangan diakui olehnya bahwa enam bulan yang lalu ia memang datang ke Wina dengan harapan bisa bertemu kembali dengan Celine. 

Sedikit mundur, akhir tahun 2006, saya ingat menonton  sebuah  film di stasiun TV7 dengan judul 
Before Sunrise, yang dibintangi Ethan Hawke dan Julie Delphy ini. Kisahnya tentang  seorang pemuda Amerika, Jesse,  yang naik kereta dari Paris menuju Wina, tanpa tujuan tertentu, hanya sekadar jalan-jalan saja. Di kereta, ia bertemu dengan Celine, wanita Perancis. Mereka lalu menghabiskan waktu dengan berjalan-jalan menyusuri  lorong-lorong kota Wina malam hari, termasuk hubungan cinta semalam. Mereka bertemu dengan penyair jalanan yang mencari nafkah dari menulis puisi untuk orang-orang yang ditemuinya di tepi sungai. Dan setelah itu, mereka berjanji untuk bertemu kembali enam bulan kemudian, di Wina. Mereka tidak meninggalkan alamat dan nomor telepon, kecuali  sebuah keinginan untuk bertemu kembali. 
Kembali ke film Before Sunset. Mereka jalan-jalan di kota Paris, singgah di kafe kesukaan Celine, menyusuri Sungai Seine yang membelah Paris, melihat Notre Dame dan akhirnya tiba di apartemen Celine di salah satu sudut kota tua Paris.
Di dalam apartemen, Celine membuatkan Jesse teh  campur madu. Lalu memperdengarkan sebuah lagu berirama  waltz yang ditulis setahun lalu setelah bertemu seorang pria. Celine lalu sekali lagi mengingatkan Jesse untuk segera ke airport, karena ia bisa ketinggalan pesawat meuju New York. Apa jawaban Jesse?
Nanti dulu soal jawaban Jesse itu. Saya tidak ingin bicara tentang alur cerita dan acting mereka, saya lebih ingin bicara tentang aspek hubungan mereka. 
Sering kita bertemu dengan seseorang yang baru sama sekali. Pria bertemu wanita, wanita bertemu pria, atau bahkan sesama jenis. Soal usia bisa dikesampingkan. Apalagi  soal apakah mereka menikah atau tidak menikah, atau belum menikah, juga abaikan saja. Mungkin itu di kota kita sendiri, atau di kota yang kita kunjungi. Kita berbicara satu sama lain, berusaha menarik perhatian lawan bicara kita dan berusaha untuk mendengarkan apa yang ia katakan. 
Ada pepatah yang pernah saya baca, ketika pria bertemu wanita, yang dipikirkan hanyalah seks saja. Dan wanita berpikir tentang cinta. Mungkin ada benarnya.  Yang pria ingin menikmati waktu yang singkat dengan bercinta dan selesai, sementara yang wanita ingin bercinta untuk mendapatkan si pria selamanya. 
Cerita akan semakin menarik ketika kita juga bicara tentang pasangan kita. Jesse sudah menikah dengan seorang guru SD di New York dan memiliki  seorang putra usia empat tahun. Celine lajang yang belum menikah, walau jam terbangnya dalam cinta sudah tinggi. Tetapi keduanya menikmati  pertemuan mereka. 
Hubungan suami – istri, dalam pandangan saya,  tidak selalu  berjodoh atau sejodoh. Ketika dalam proses pendekatan dan percintaan, semua terasa indah dan oke. Tetapi setelah menikah, mungkin baru ketahuan ketidak cocokan satu sama lain. Apalagi bersamaan  dengan berlalunya waktu, maka hubungan pun menjadi dingin dan kehilangan bara apinya. Yang satu merasa asing dengan yang lainnya, dan semua dilakukan sekadar memenuhi kewajiban sebagai suami istri saja. Tidak lebih, tidak kurang. 
Tentu ini cerita yang bisa terjadi dimana saja, denan siapa saja, walau mungkin terlalu didramatisir.
Dan suasana berubah ketika kita bertemu dengan orang lain. Di suatu tempat, di suatu waktu, di suatu acara, di suatu kelompok atau komunitas. Atau mungkin di kereta, seperti yang saya sering alami. Ada pertemuan yang berlanjut karena memang ada kecocokan diantara para pelaku, tetapi  ada juga  yang berhenti sampai di situ saja. Selesai. 
Soulmate atau  jodoh, atau belahan jiwa, saya lihat tidak harus selalu suami dan istri. Dia bisa siapa saja, teman yang baru kita kenal,  teman lama yang selalu kita ingat,  teman kantor, teman di lingkungan kita  tinggal, atau teman dimanapun juga kita merasa cocok satu sama lain dengan orang itu. 
Jadi singkatnya, suami dan istri tidak selalu jodoh, jodoh tidak selalu menjadi suami istri. Jodoh bisa saja sesama pria atau sesama wanita, dengan saudara pun bisa. Singkatnya,  dengan siapa pun kita bisa berbagi cerita dan perasaan. Bisa dekat secara emosional dan spiritual. 
Ah, panjang sekali  teori saya tentang perjodohan ini ya… 
O, ya,   ketika Celine mengingatkan Jesse bahwa ia akan ketinggalan pesawat, apa jawaban Jesse? Jesse bilang ia tahu akan ketinggalan pesawat. Ia memilih untuk ketinggalan pesawat. Film pun selesai. So? ML-kah mereka?
Sebagai pemanis, anggap saja mereka memang menghabiskan malam bersama-sama. Kita pun lebih senang dengan ending yang bahagia, kan? Hehehe… *** 
(UHK, 22 Desember 2008)Labels: Esai