The Urheka Project : Mimpi Dalam Mimpi

"All that we see, or seem, is but a dream within a dream." - Edgar Allan Poe, A Dream Within A Dream, 1846.

Thursday, September 25, 2008

Lebaran

LEBARAN

selamat terlahir kembali
di hari yang fitri
dengan hati yang suci

Jakarta, 10 Oktober 2007

Urip Herdiman K.

Labels:

Stairway To Heaven










STAIRWAY TO HEAVEN
(Led Zeppelin)


There’s a lady who’s sure
All that glitters is gold
And she’s buying a stairway to heaven
When she gets there she knows
If the stars are all closed
With a word she can get what she came for
Wo…
And she’s buying a stairway to heaven

There’s a sign on the wall
But she wants to be sure
Cause you know sometimes words have no meaning
In the tree by the brook
There’s a song bird who sings
Sometimes all of our thoughts are misgiven
Uh…makes me wonder
Uh…makes me wonder

There’s a feeling I get
When I look to the west
And my spirit is crying for leaving
In my thought I have seen
Rings of smoke through the trees
And the voices of those who stand looking

Uh…makes me wonder
Uh…really makes me wonder

And its whisper that soon
If we all call the tune
And the piper will lead us to reason
And the new day will down
For those who stand long
And the forest will echo with laughter

If there’s a bustle in your hedge-grow
Don’t be alarmed now
It’s just a spring clean for the May Queen
Yes there are two paths you can go back
But in the long run
And there’s still time to change the road you’re on
And it makes me wonder
Your head is humming and it won’t go in case you don’t know
The pipers calling you to join him
Dear lady can you hear the wind blow and did you know
Your stairway lies on the whispering wind

And as we wind on down the road
Our shadow taller than our souls
There walks a lady we all know
Who shines white light and wants to show
How everything still turns to gold
And if you listen very hard
The tune will come to you at last
When all are gone and one are all yeah
To be rock and not to roll
And she’s buying a stairway to heaven

Catatan :











Album : Led Zeppelin IV, 1971
Composed : Jimmy Page and Robert Plant
Robert Plant : lead vocals
Jimmy Page : lead guitars
John Paul Jones : bass guitars
John Bonham : drums and percussion

Stairway To Heaven adalah lagu rock yang paling banyak
dan paling sering diputar di berbagai stasiun radio di seluruh dunia.
Menjadi ikon era hard rock tahun 1970-an.

Labels:

Tuesday, September 23, 2008

Tahajud

TAHAJUD

Air matanya menitik
pukul satu pagi
: khusyuk

Tugu, 23 September 2008

Urip Herdiman K.

Labels:

Monday, September 22, 2008

Kenapa Harus Mudik?

KENAPA HARUS MUDIK?

Lebaran tinggal seminggu lagi. Pikiran orang-orang sudah berlari pada rencana mudik, atau mengantisipasi jika para pembantu mudik. Soal puasanya, sudah masuk ke urusan yang sekunder atau tertier. Hehehe… Maksudnya, boleh puasa, boleh juga ditinggal. Hahaha…

Di Stasiun Depok Baru, setiap pagi selalu ada orang-orang dengan tas-tas besar lengkap dengan kardusnya. Kereta Depok Ekspres dan Pakuan pun tidak lagi berhenti di Stasiun Gambir, tetapi dari Gondangdia langsung ke Djuanda. Artinya, ada peningkatan frekuensi perjalanan kereta api ke arah Jawa Tengah dan Jawa Timur dari Gambir.

Mudik punya banyak arti. Bisa ‘pergi ke udik (hulu sungai, pedalaman)’. Bisa pula ‘pulang ke kampung halaman’. Nah, dalam konteks berlebaran, berarti pulang ke kampung halaman. Kembali ke asal.

Saya masih ingat artikel yang ditulis harian Sapmok beberapa tahun lalu. Kalau pergi bisa kemana saja, sesuka hati, sesuka kaki melangkah. Tetapi yang namanya mudik, pasti pulang kembali ke rumah, ke kampung halaman, ke tempat orang tua. Tidak ada mudik ke tempat lain. Kalau ada, ya namanya bukan mudik donk… Gheeto aja kok repot.

Kenapa seeh mudik, sekarang ini, selalu bikin heboh, bikin repot? Saya juga tidak tahu persis. Tetapi seingat saya, mudik menjadi suatu aktivitas ekonomi sejak sekitar akhir 1990-an. Mudik bukan lagi sekedar kegiatan sekelompok kecil masyarakat, namun sudah melibatkan masyarakat yang lebih luas lagi.

Tahun 1970-an, walau tidak setiap tahun, keluarga saya masih sempat mudik ke Semarang dengan santai dan ceria. Tidak ada yang berdesak-desakan, tidak ada yang berjejal-jejal. Pelayanan bus antar kota pun masih oke. Kereta juga tidak mengecewakan.

Tahun 1980-an, suasana berubah. Mungkin juga karena masyarakat berubah. Hidup yang lebih makmur dan sejahtera ternyata tidak cukup. Mereka, orang-orang sukses itu, juga perlu dikagumi, dipuji-puji atas sukses mereka di perantauan yang jauh dari kampung halaman. Kalau yang memuji orang sebelah rumah sih, bisa dicurigai sebagai iri hati. Tidak cukup tetangga. Mereka ingin keluarga besar mereka, dan orang-orang sekampung, tahu bahwa mereka sukses. Sukses dalam karir, sukses dalam pekerjaan, sukses dalam mencari uang, sukses untuk bisa memamerkan kekayaan, dan sukses punya banyak istri dan simpanan. Sukses perlu dipamerkan!

Sampai tahun 1997, saya masih sempat ke rumah nenek di Wonodri Baru, Semarang. Berangkat naik kereta pada hari kedua, menginap semalam di Semarang, lalu keesokan harinya balik ke Jakarta. Jadi saya tidak pernah terjebak dalam keruwetan mudik yang konyol.

Sekarang mudik adalah suatu upaya yang luar biasa keras, penuh penderitaan, penuh kesengsaraan, sampai meminta korban jiwa. Mulai dari jauh hari, bahkan sebelum Ramadhan tiba, banyak yang sudah kasak-kusuk mencari tiket kereta dan pesawat untuk hari-hari sekitar Lebaran itu. Bayangkan, mereka rela antri beberapa jam dari tengah malam hanya untuk mendapatkan beberapa lembar tiket. Dan itu dilakukan dengan mengorbankan puasa mereka.

Mudik sekarang merupakan suatu aktivitas ekonomi yang luar biasa. Melibatkan banyak pihak. Mulai dari pemerintah sebagai pembuat regulasi, polisi yang mengamankan perjalanan pemudik, instansi pemerintah yang harus mempersiapkan infrastruktur transportasi, perusahaan-perusahaan besar yang bergerak dalam sektor-sektor energi, transportasi, telekomunikasi, perbankan, jamu, restoran dan rumah makan, penyewaan kendaraan bermotor, bengkel, rumah sakit dan dokter, dan lain-lain. Bisa juga ditambahkan dengan partai-partai politik dan ormas-ormas.

Mudik menjadi suatu aktivitas ekonomi yang punya nilai triliunan rupiah, suatu jumlah yang tidak kecil. Mudik telah bermetamorfosa menjadi roda penggerak kegiatan ekonomi yang membawa uang sampai ke desa-desa, dusun-dusun dan kampung-kampung yang jauh di pedalaman.

Namun pertanyaannya adalah tetap sama. Kenapa harus mudik? Apakah sebanding dengan penderitaan dan pengorbanan yang harus dialami banyak pihak? Apakah cara untuk memamerkan sukses mereka hanya dengan mudik? Apakah hanya dengan mudik saja, maka uang yang trilunan rupiah itu bisa menetes sampai ke pedalaman yang jauh?

Aih, repotnya… *** (23 September 2008, UHK)

Labels:

Undangan Partisipasi untuk Tim Angklung BU Jakarta










Undangan Partisipasi untuk Tim Angklung BU Jakarta

Sahabat meditasi,

Sehubungan dengan akan diselenggarakannya Meditasi Tutup Tahun 2008 pada Minggu, 30 November 2008, maka kami dari Tim Panitia Bali Usada Jakarta, mengundang sahabat-sahabat meditasi BU Jakarta untuk berpartisipasi dalam Tim Angklung BU Jakarta. Sebagai informasi, kami membutuhkan 20 anggota untuk Tim Angklung BU Jakarta dan terbuka untuk siapa saja yang berminat, tanpa dibatasi usia.

Latihan akan dilaksanakan setiap hari Minggu, dimulai sejak Minggu, 12 Oktober 2008 hingga Minggu, 23 November 2008 pukul 10.30 s.d. 12. 00 WIB bertempat di rumah Ibu Laksmi Djuwita, Jl.Cisanggiri IV/21, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Latihan dirancang untuk 7 kali pertemuan.

Untuk yang berminat ikut serta, bisa memberikan jawaban kepada saya melalui email uripherdimankambali @gmail.com atau SMS 0815 - 9042515. Kami menunggu partisipasi Anda.

Semoga semua hidup berbahagia. *** (UHK, Ketua Panitia)

Labels:

Thursday, September 18, 2008

Persephone









PERSEPHONE
(Wishbone Ash)


There’s a light that shines on Persephone
Always a fire in her eyes
And the last time that I went to her
I could tell things weren’t light

I just don’t care to see your years go wasting
There’s no longer magic in your eyes

In your time, you could outshine everybody else around
But your off-stage ways might be a bore
You take a bow, you take a fall

I came to be here in the footlights
To live with you through every song
And your face displays a peaceful field
I can’t believe the curtain has to fall

Now I know your years were never wasted
Tonight I saw the magic in your eyes

Catatan :
Wishbone Ash, kelompok progressive rock asal Inggris,
yang dibentuk oleh Martin Turner dan Steve Upton di Devon, Inggris, 1969.
Terkenal dengan permainan dua guitarnya.

Labels:

Monday, September 15, 2008

Lebaran Sebentar Lagi...

LEBARAN SEBENTAR LAGI…

“Lebaran sebentar lagi…” Itu sepotong lirik lagunya Bimbo yang selalu dinyanyikan menjelang Lebaran tiba. Yes, tinggal (atau masih?) dua minggu lagi, maka Ramadhan pergi dan Syawal pun datang. Sebagian karena kita punya memori tentang Lebaran pada tahun-tahun yang lalu, sebagian lagi karena tanda-tanda alamnya sudah mulai kelihatan.

Tanda alam yang pertama, tentu saja, karena pikiran kita sudah tidak terkonsentrasi lagi pada ibadah puasa Ramadhan yang sedang kita jalani. Puasa memang jalan terus, tetapi pikiran kita sudah kemana-mana, menembus waktu. Pikiran kita sudah berpikir tentang acara mudik, cari mobil sewaan, makanan saat Lebaran, baju baru, sepatu baru, cari pembantu pengganti, berapa banyak uang receh yang harus disiapkan untuk anak-anak, dan lain-lainnya yang menyita energi dan bisa membatalkan (atau mengurangi) puasa kita.

Diakui atau tidak diakui, suasana pekerjaan kita di kantor(baca ; tempat kerja) sehari-hari juga menurun perlahan-lahan, bahkan mungkin cenderung menunggu selesainya Ramadhan. Tetapi Ramadhannya tidak salah, manusianya yang salah. Maklumlah, manusia ‘kan memang tempatnya salah.

Entah mana yang harus disalahkan, tetapi suasana Ramadhan sudah jauh berubah dibandingkan yang saya alami tahun-tahun 1970-an sampai 1980-an. Setelah itu, dengan berkembangnya industri televisi, maka ibadah puasa di bulan Ramadhan mengalami komersialisasi. Ramadhan menjadi pasar, festival dan karnaval. Ada ceramah, ada keramaian, ada transaksi bisnis,, ada pameran, ada yang sok pamer, ada yang sosial dan sok sial, dan ada-ada yang lain-lainnya. Semua ada di televisi.

Di bulan Ramadhan ini, tiba-tiba banyak orang berubah 180% menjadi baik. Pakai baju muslim atau baju koko, pakai peci, pakai sarung. Lalu menyumbang kesana, menyumbang kemari. Memberikan santunan pada anak-anak yatim piatu. Ada yang melakukannya dengan ikhlas dan tulus, tetapi banyak juga yang melakukannya dengan harapan diliput media cetak dan elektronik, meningkatkan citranya, menaikkan ratingnya. Lho, kok jauh sekali pikiran saya melantur? Ah, kayak Anda tidak tahu saja.

Anda percaya semua itu datang dari hati mereka yang terdalam, karena kesadaran diri mereka sendiri menuntun mereka untuk memenuhi kewajiban pada Allah Swt.? Ketika agama mengalami komersialisasi dan menjadi komoditas ekonomi, apalagi yang tersisa?

Hal ini tidak hanya terjadi pada Ramadhan dan Idul Fitri. Hampir semua perayaan hari-hari besar keagamaan mengalami proses komersialisasi. Bisnis, bisnis, bisnis. Uang, uang, uang. Dan uang pun telah menjadi Tuhan! *** (16 September 2008, UHK)

Labels:

Pikiran yang Liar

PIKIRAN YANG LIAR

pikiran selalu berjalan
seribu langkah di depan
meninggalkan nafas
seribu langkah di belakang

Sawangan, 18 September 2007

Urip Herdiman K.

Labels:

Waktu

WAKTU

Lingyuan berkata kepada Changling Diao :

Aktivitas Jalan pasti memiliki waktunya sendiri. Dahulu kala, tatkala Ciming menjadi seorang gelandangan, ia dihina setiap orang. Tapi ia cuma tertawa. Tanyalah mengapa ia tertawa, Ciming bilang,”Jika sebutir permata dan sebutir batu beradu, kalian tahu batu tak akan menang.”

Lalu setelah ia bertemu dengan Acarya Shending, nama harum Ciming terdengar di seluruh dunia Buddhis. Akhirnya ia membangkitkan kembali sekte Linji agama Buddha Chan yang telah hampir musnah.

Jalan dan waktu – bisakah mereka dipaksa?

Sebuah gulungan ***

Catatan :

Dipetik dari Dua Angin, Seni Kepemimpinan Zen, Jilid 1, halaman 86. Terjemahan Inggris oleh Thomas Clearly. Terjemahan Indonesia oleh Swarnasanti. Bandung, Yayasan Penerbit Karaniya, 1996.

Labels:

Thursday, September 11, 2008

The First Time Ever I Saw Your Face

THE FIRST TIME EVER I SAW YOUR FACE
(Shirley Bassey)










The first time
Ever I saw your face
I thought the sun
Rose in your eyes
And the moon and the stars
Were the gifts you gave
To the dark
And the empty skies
My love
To the dark
And the endless skies

The first time
Ever I kissed your mouth
I felt the earth
Move in my hand
Like the trembling heart
Of a captive bird
That was there
At my command,
My love
That was there
At my command

The first time
Ever I lay with you
I felt your heart
So close to mine
And I knew our joy
Would fill the earth
And last
Till the end of time
My love
And would last
Till the end of time

The first time
Ever I saw
Your face
Your face
Your face
Your face

Catatan :
Ditulis oleh Ewan MacColl, 1957 untuk dinyanyikan oleh Peggy Seeger.
Dinyanyikan ulang oleh banyak penyanyi, diantaranya Shirley Bassey
dalam album And I Love You So, 1972.

Labels:

Wednesday, September 10, 2008

Para Pencari Tuhan, Puzzle yang Tak 'Kan Selesai

PARA PENCARI TUHAN, PUZZLE YANG TAK ‘KAN SELESAI

Sebenarnya saya paling malas menonton sinetron-sinetron Indonesia, termasuk sinetron religi ataupun spiritual. Dulu, pertengahan tahun 1990-an, saya suka menonton sinetron Indonesia, tetapi itu sebatas sinetron laga Brama Kumbara dan sejenisnya. Tetapi sekarang, sinetron laga pun sudah tidak terlalu menarik lagi, karena terlalu banyak special effect atau trik-triknya. Dan yang jelas, ceritanya tidak masuk akal.

Namun bulan Ramadhan tahun ini, sama seperti tahun lalu, saya mau berlama-lama menunggu sinetron ini, Para Pencari Tuhan di SCTV (sebut saja lengkap, biar pun bukan iklan dan karenanya saya tidak dapat uang…hehehe…). Apa sih istimewanya sinetron ini?

Okelah, terpaksa saya harus angkat topi untuk sinetron ini. Sinetron Para Pencari Tuhan jelas sangat beda dengan sinetron lainnya yang sampai harus berurai air mata, dengan sedikit campuran darah, mistik atau horor dan doa yang keluar dari mulut seorang ustadz sebagai juru bicara Tuhan.

Pertama melihat PPT, sebut saja demikian, saya sama seperti penonton yang lain. Mencari hiburan yang menyegarkan di tengah himpitan humor-humor yang seragam di banyak stasiun televisi saat sahur tiba. Tetapi setelah lewat satu pekan bulan puasa 2008 ini, saya mulai melihat ada sesuatu yang lain itu.

PPT harus dilihat sebagai sebuah puzzle, yang harus direkontruksi oleh pemirsanya perlahan-lahan, karena memang alur ceritanya yang lamban. PPT menempatkan agama dalam suatu konteks sosial budaya masyarakat dimana agama tersebut hadir. Dalam hal ini, masyarakat kelas bawah dengan tingkat pendidikan yang rata-rata rendah. Tingkat pendidikan yang rendah ini melahirkan pemahaman yang berbeda-beda dari masing-masing karakter dalam sinetron ini. Tingkat pendidikan yang tinggi pun tidak menjamin pemahamannya baik.

Karena itu, PPT mempunyai banyak juru bicara yang menyuarakan kebenaran, tidak melulu harus seorang ustadz. Seorang ustadz pun masih bisa salah. Dan seorang maling jaket pun masih bisa membawakan pesan yang benar.

Artinya, setiap karakter dalam sinetron ini selalu mempunyai kesempatan yang sama untuk membawakan pesan-pesan religi atau spiritual yang tersembunyi. Di suatu waktu ia mungkin bisa benar, di lain waktu ia bisa salah. Atau sebaliknya. Hal ini terjadi pada semua karakter yang ada dalam PPT. Termasuk karakter Mira, istri Asrul, yang kelihatan begitu ikhlas dan tidak berdaya dalam kemiskinannya, namun bisa juga tegas mengingatkan suaminya.

Dalam pandangan saya, tanpa mengesampingkan karakater-karakter lainya, ada dua karakter yang paling menarik dari sinetronnya Deddy Mizwar ini. Pertama, Ustadz Ferry yang diperankan Akrie Patrio. Dan kedua, Pak Jalal yang diperankan Jarwo Kuat. Ustadz Ferry yang seharusnya mengurusi ummat, malah tergoda dengan tawaran seorang produser. Bayangan ketermasyhuran dan uang banyak tak pernah bisa hilang dari pikirannya, hingga ia menyadari dalam satu episode, bahwa memang banyak ummat di sekelilingnya yang butuh bimbingan dalam beragama.

Ustadz Ferry menjadi cerminan yang sesungguhnya dari masyarakat kita sendiri. Sudah menjadi rahasia umum, banyak pemuka agama yang berlomba-lomba untuk bisa siaran di stasiun televisi, jadi penceramah atau bintang sinetron. Dan pada gilirannya, popularitas dan order tinggal menunggu. Padahal lebih banyak lagi dari mereka yang hidupnya biasa-biasa saja, bahkan miskin, seperti kata-kata Ustadz Ferry dalam salah satu episodenya.

Demikian pula dengan Pak Jalal, yang pada dasarnya orang kikir alias pelit. Perlahan-lahan ia pun mau peduli pada masyarakat sekitarnya dengan memberikan bantuan yang bisa ia berikan, walau selalu dengan omongan yang kadang nyelekit. Ikhlaskah ia? Ah, itu sih urusan Tuhan.

Sebagai suatu puzzle, apakah mereka akan menemukan apa yang mereka cari? Saya harap tidak, karena proses ini tidak akan pernah selesai. Biarlah mereka terus mencari Tuhan itu. Apakah Tuhan itu ada jauh di sana, di langit ketujuh, atau mungkin Dia ada dekat dengan kita, bahkan ada di dalam diri kita sendiri.

Saya pikir ini masalah kesadaran yang relatif. Yang saya khawatirkan, sekali mereka ketemu Tuhan, mereka akan mengklaim pengalaman-pengalaman itu sebagai wahyu dan menjadikan interpretasi mereka sebagai satu-satunya kebenaran. Artinya, terjadi monopoli interpretasi.

Yang terakhir ini bukan bagian dari sinetron PPT ini he he he…, tetapi sering terjadi di dalam masyarakat kita sehari-hari. Tiba-tiba saja ada yang mengaku mendapat wahyu dan mengangkat diri sendiri sebagai nabi. Atau di lain waktu ada yang menjadikan diri dan kelompoknya sebagai serdadu Tuhan, lalu mereka pun menudingkan jarinya ke kelompok-kelompok lain. Mereka tidak sadar, satu jari menunjuk orang lain, empat jari lain menunjuk diri sendiri. Ah, ngeri sekhaleee….! *** (9 – 10 Septembeer 2008, UHK)

Labels:

Monday, September 08, 2008

Menonton Para Pencari Tuhan

MENONTON PARA PENCARI TUHAN


aku sedang menonton para pencari Tuhan
ketika adzan berkumandang
tetapi episode ini terlalu panjang
- belum selesai

Tuhan, maaf
aku menunda shalatku
dan tolong,
jangan tutup pintu subuh-Mu

Sawangan, 8 Oktober 2007

Urip Herdiman K.

Labels:

Tiga Jangan

TIGA JANGAN

Mian berkata :

Dalam kepemimpinan terdapat tiga jangan: jika banyak yang harus dikeerjakan, jangan takut; jika tidak ada yang dikerjakan, jangan terburu-buru; dan jangan membicarakan pendapat tentang benar atau salah.

Pemimpin yang berhasil di dalam tiga jangan ini tidak akan dibingungkan atau pun dikotori oleh obyek-obyek luar.

Catatan Seorang Pengikut

Catatan :

Dipetik dari Dua Angin, Seni Kepemimpinan Zen, Jilid 3, halaman 76. Terjemahan Inggris oleh Thomas Clearly. Terjemahan Indonesia oleh Swarnasanti. Bandung, Yayasan Penerbit Karaniya, 1996.

Labels:

Thursday, September 04, 2008

Some Other Time

SOME OTHER TIME
(The Alan Parsons Project)


In a matter of a moment
Lost till the end of time
It’s the evening of another day
And the end of mine

Now the starlight which has found me
Lost for a million years
Tries to linger as it fills my eyes
Till it disappears

Could it be that somebody else is
Looking into my mind

Some other place
Somewhere
Some other time

Some other place
Somewhere
Some other time

Like a mirror held before me
Large as the sky is wide
And the image is reflected
Back to the other side

Some other place
Somewhere
Some other time

Some other place
Somewhere
Some other time

Catatan :










Album : I Robot, 1977
Bass : David Paton
Electric guitars : Ian Bairnson
Acoustic guitars : Ian Bairnson, David Paton, Alan Parsons
Keyboards : Eeric Woolfson, Duncan Mackay, Alan Parsons
Steel guitar : BJ Cole
‘Projectron’ and vocoder : Eric Woolfson, Alan Parsons
Cimbalom and Kantele : John Leach

Labels:

Tuesday, September 02, 2008

Latihan-latihan Di Sini dan Saat Ini

LATIHAN-LATIHAN DI SINI DAN SAAT INI

: Aksan Jamet

Hari pertama puasa, 1 September, tiba-tiba seorang teman meditasi menelepon. Ngobrol santai tentang ceramah dowsing, puasa sampai tiba-tiba dia bilang mau belajar dari saya tentang bagaimana caranya mengendalikan emosi. Katanya, dia menjadikan saya sebagai model yang riil tentang bagaimana seseorang yang awalnya keras dan siap untuk kasar, berubah menjadi lebih tenang.

Tentu saja, dia tahu bagaimana saya dulu dari cerita saya sendiri padanya, suatu waktu, saat ia masih aktif di Tim Kepanitiaan Meditasi Bali Usada Jakarta. Saya cerita bahwa sampai tahun 1998, saya termasuk orang yang melihat semua persoalan sebagai menang dan kalah, bertempur atau lari, saya atau lawan saya. Ketika pertama kali masuk Pertamina tahun 1996 yang lalu, saya sanggup bertempur kata-kata lengkap dengan caci-maki dan sumpah serapah dengan boss saya (etnis tertentu) dari pukul 08.30 pagi sampai pukul 15.00, dari ruangan ke koridor, balik lagi ke ruangan, dan hanya dipotong shalat Jumat. Dan itu tidak cuma sekali, tetapi sampai tiga kali.

Harap maklum, saya lama ikut karate (Inkai, 1974 – 1076) dan silat (Perisai Diri, 1978 – 1991). Di silat, saya sampai tingkatan ke-8, asisten pelatih, yang kalau dikonversikan dengan system beladiri Jepang, setara sabuk hitam Dan II. Kemana-mana pergi, sering membawa double stick di dalam tas. Jadi mungkin waktu itu saya seperti kebanyakan para praktisi seni beladiri, terkena sindrom kawan atau lawan, menang atau kalah, beertempur atau lari. Ada istilah psikologisnya, tetapi saya sudah lupa.

Itu dulu sampai tahun 1998. Setelah itu, karena faktor usia, saya beralih dengan mengikuti latihan-latihan spiritual, diantaranya seperti yoga, meditasi dan chikung. Termasuk Meditasi Bali Usada yang berbasiskan Buddhisme. Secara pribadi, saya memang tertarik dengan ajaran-ajaran Buddha, terutama konsep karma dan reinkarnasinya.

Pertanyaannya, kenapa saya bisa berubah menjadi seperti yang dia lihat? Bagaimana saya bisa berubah? Atau pertanyaan besarnya, apakah latihan-latihan spiritual memang ada manfaatnya pada perkembangan kepribadian dan spiritualitas seseorang?

Jika Anda mengikuti sebuah latihan, tentu Anda punya alasan kenapa ikut dan ingin mencapai target tertentu dalam latihan tersebut. Saya percaya banyak latihan yang bermanfaat bagi para pesertanya, sebesar apapun atau sekecil apapun. Tetapi jika ingin melihat hasilnya yang riil, jangan dengarkan testimony atau sharing di depan kelas, karena itu bisa menipu. Ketika memberikan testimony atau sharing, umumnya peserta akan bicara yang baik-baik saja. Everything is good.

Bukan itu hasilnya. Lihat hasilnya pada kehidupan ia sehari-hari, baik di lingkungan tempat tinggal atau tempat kerja. Dari sana bisa dilihat, apakah latihan-latihan yang diikutinya memang memberikan manfaat pada diri orang tersebut.

Saya tidak pernah percaya pada klaim-klaim lembaga pelatihan atau pemberdayaan diri yang menyatakan telah memberikan pelatihan pada sekian puluh ribu orang di seantero negeri. Atau klaim yang menyatakan bahwa pesertanya telah berhasil dan mencapai ini itu dan bla…bla…bla… Yang terjadi adalah para peserta tersebut menjadi penjelajah berbagai pelatihan, membawa kebingungannya kemana-mana dan mengumpulkan sertifikat yang banyak. Selebihnya nothing. Saya banyak ketemu dengan orang-orang seperti ini.

Dari sekian banyak pelatihan, pada akhirnya saya memilih untuk stay di Bali Usada, dengan segala keterbatasan yang saya punya dalam waktu dan dana, selain menjadi aktivisnya. Dari sana, saya lalu mencoba untuk secara pribadi, mempelajari Buddhisme melalui buku-buku yang banyak dijual di toko buku.

Buddhisme tidak pernah mengikat murid-muridnya, dan selalu terbuka untuk siapapun yang mau bejalan di jalan itu. Ada kata-kata Buddha yang pernah saya baca di sebuah artikel, mengatakan bahwa muridnya yang tidak menjalankan ajarannya adalah hidup di luar jalannya, sedangkan orang lain yang bukan muridnya tetapi menjalankan ajarannya berarti berjalan di jalannya.

Artinya, Buddha tidak hanya sebuah agama, tetapi juga bisa dilihat sebagai sebuah sistem etika yang bisa diikuti dan dijalankan oleh siapa saja, tanpa harus melewati ritual semacam pembaptisan.

Buddha lebih menekankan latihan-latihan sebagai sebuah kesadaran, dan bukan karena perintah dan kewajiban sebagaimana yang ditemui dalam kitab-kitab suci agama-agama langit. Hidup dilihat sebagai sebuah latihan terus-menerus untuk mengembangkan kesadaran spiritual mereka. Karena itu, prinsip yang berkembang adalah di sini dan saat ini. Hiduplah di sini untuk saat ini. Bukan nanti yang entah kapan. Padahal Anda tahu, Buddhisme percaya reinkarnasi, kehidupan yang berulangkali.

Maksudnya, apapun perbuatan Anda, semua itu akan kembali pada Anda. Alam semesta akan mengembalikan semuanya, tanpa kecuali. Baik ataupun buruk. Perbuatan baik akan meringankan beban karma dari kehidupan lalu dan menambah karma baik untuk kehidupan yang akan datang.

Saya secara pribadi menjadikan konsep karma dan reinkarnasi sebagai kerangka berpikir saya untuk menjalani hidup ini dan melihat berbagai persoalan yang saya hadapi. Nah, apakah kemudian konsep-konep ini mengalami internalisasi pada diri saya, mungkin iya. Tetapi saya juga tidak bisa menjawabnya secara pasti. Namun mudah-mudahan teman saya itu punya sedikit jawaban, daripada tidak sama sekali.

Soal marah? Ya, masihlah sedikit-sedikit. Hahaha….  Namanya juga manusia. *** (1 – 2 September 2008, UHK)

Labels: