The Urheka Project : Mimpi Dalam Mimpi

"All that we see, or seem, is but a dream within a dream." - Edgar Allan Poe, A Dream Within A Dream, 1846.

Monday, June 30, 2008

Tuhan dan Hal-hal yang Tak Selesai di Dalam Gelas

TUHAN DAN HAL-HAL YANG TAK SELESAI
DI DALAM GELAS


Di dalam gelas, kita duduk bercakap-cakap
membicarakan Tuhan dan Hal-hal yang Tak Selesai,
serta persoalan yang kunjung selesai
menghabiskan anggur malam

Kau percaya pada satu kali kehidupan,
aku berbicara tentang hidup yang berulang kali

Kau berkisah tentang Dewi Kwan Im,
aku bercerita tentang Bunda Maria

Kau senang mendengar suara adzan subuh
dari mesjid dekat rumahmu
yang membuatmu menangis
sementara aku selalu terpesona pada dentang lonceng gereja
yang menggetarkan

Kau menulis tentang Stonehenge
aku menulis Borobudur

Kau ingin melihat Machu Picchu
aku ingin mengunjungi La Sagrada Familia

Indah sekali…

Belum habis anggur di dalam gelas ini
dan kita berdebat tentang apakah anggur ini
masih sisa setengah atau tinggal setengah lagi,
sementara pagi sudah mengintip
: kita telanjang bersama

Kau menatap bintang-bintang yang berserakan
dan berbicara tentang zodiakmu, Gemini
sedangkan aku mencari bintang pagi Sirius

Apakah kita mabuk?
Tidak,
terlalu banyak hal yang harus diselesaikan
tidak ada waktu untuk mabuk

“Semua butuh biaya,”
katamu

“Tentu!”
jawabku

Apa?
Kau bertanya tentang berapa jumlah kartu kredit yang kumiliki
Oh!
Dan berapa jumlah uang dalam rekeningku
Ugh!

Heh… gerah sekali
aku ingin semua cepat berakhir
tidak apa-apa kalau tidak selesai

“Hey, kau mau kemana?”
tanyaku

“Ya, sebenarrnya kita mau kemana?
Mau ke altar, atau ke penghulu, atau ke catatan sipil?”
katamu balik bertanya

Aah…!


Sawangan, 22 Desember 2007 – Jakarta 1 Juli 2008

Urip Herdiman K.

Catatan :
Tuhan dan Hal-hal yang Tak Selesai,
kumpulan esai Goenawan Mohamad, 2007.

Labels:

Sunday, June 29, 2008

Pikiran dan Jejak-jejak

PIKIRAN DAN JEJAK-JEJAK

Ying Shaowu berkata kepada Pan Yanzhi:

Mereka yang belajar di zaman dahulu kala mengendalikan pikiran mereka, murid-murid di zaman sekarang berurusan dengan jejak-jejak pikiran. Perbedaan antara pikiran dan jejaknya adalah seperti langit dan bumi.

Catatan : Dipetik dari “Dua Angin : Seni Kepemimpinan Zen” , Jilid 1. Oleh : Thomas Clearly. Penerjemah : Swarnasanti. Yayasan Penerbit Karaniya, Bandung, 1996, halaman 35 ***

Labels:

Thursday, June 26, 2008

We Are The Champions

WE ARE THE CHAMPIONS
(Queen)


I’ve paid my dues
Time after time
I’ve done my sentence
But committed no crime
And bad mistakes
I’ve made a few
I’ve had my share of sand kicked in my face
But I’ve come through

We are the champions, my friends
And we’ll keep on fighting till the end
W e are the champions
We are the champions
No time for losers
‘Cause we are the champions of the world

I’ve taken my bows
And my curtain calls
You brought me fame and fortune and everything that goes with it
I thanks you all
But it’s been no bed of roses
No pleasure cruise
I consider it a challenge before the whole human race
And I ain’t gonna lose

We are the champions, my friends
And we’ll keep on fighting till the end
W e are the champions
We are the champions
No time for losers
‘Cause we are the champions of the world

Catatan :
Album : News of The World, 1979
Freddie Mercury : vocals
Brian May : guitars
John Deacon : bass
Roger Taylor : drums and percussion

Labels:

Kemenangan dan Kekalahan

KEMENANGAN DAN KEKALAHAN

Seberapa jauh atau dekatkah kemenangan dan kekalahan itu? Ketika sebuah ramalan atau prediksi dibuat, kita meramalkan suatu kemenangan untuk suatu tim, dan kekalahan untuk tim yang lain. Sialnya, ramalan tidak selalu tepat, lebih sering meleset dan tertukar.

Bisakah dikatakan kemenangan dan kekalahan sama dekatnya, sama jauhnya? Dekat karena merupakan dua sisi mata uang logam. Dan jauh karena faktor-faktor yang bisa muncul tiba-tiba, sesuatu yang mengejutkan dan tidak diprediksi. Kemenangan yang di depan mata bisa lepas tiba-tiba, sementara kekalahan bisa tiba-tiba demikian akrab.

Kemenangan membawa kegembiraan. Wajah-wajah yang tertawa lebar. Ceria. Sementara kekalahan membuat wajah-wajah yang nelangsa. Menatap kosong.

Kemenangan dan kekalahan memang sulit dipahami, karena dia bagian dari kehidupan yang harus dijalani. Mungkin kemarin kalah, sekarang menang, besok kalah lagi atau menang lagi. Begitu terus mengikuti roda kehidupan yang selalu berputar. Penuh misteri. *** (24 – 26 Juni 2008, Urip Herdiman K.)

Labels:

Monday, June 23, 2008

Soulmate

SOULMATE

dalam kegelapan
kau telah menjadi hantu
bagiku
jauh sebelum kehadiranmu

tanpa nama
tanpa wajah
tanpa nomor
tanpa alamat

dan mungkin
aku telah menjadi hantu
bagimu
jauh sebelum kehadiranku

Gambir, 29 Agustus – 20 September 2007

Urip Herdiman K.

Labels:

Seorang Buddha yang Tak Dimengerti

SEORANG BUDDHA YANG TAK DIMENGERTI

Bila Acarya Chan Wuzu Fayan bertemu dengan bhiksu-bhiksu yang penuh integritas dan pantas untuk dipromosikan, di dalam pertemuan-pertemuan pribadi ia akan mengabaikan mereka dengan tidak mengucapkan satu kata pun atau menunjukkan tanda-tanda sapaan.

Jika ia melihat mereka yang berprasangka buruk dan tercemar batinnya, suka menjilat dan penuh muslihat, rendah tingkah lakunya, ia akan bersikap ekstra baik dan hormat pada mereka. Tidak ada orang yang mengerti sikapnya ini.

Pilihan Wuzu tentang mana yang harus diambil dan mana yang harus dibuang, selalu ada alasannya.

(Tambahan Geng Longxue untuk ceramah Wuzu)

Catatan : Dipetik dari “Dua Angin : Seni Kepemimpinan Zen” , Jilid 1. Oleh : Thomas Clearly. Penerjemah : Swarnasanti. Yayasan Penerbit Karaniya, Bandung, 1996, halaman 35 ***

Labels:

Friday, June 20, 2008

I Talk To The Wind

I TALK TO THE WIND
(King Crimson)


Said the straight man to the late man
Where have you been
I’ve been here and I’ve been there
And I’ve been in between

I talk to the wind
My words are all carried away
I talk to the wind
The wind does not hear
The wind cannot hear

I’m on the outside looking inside
What do I see
Much confusion
Disillusion
All around me

You don’t possess me
Don’t impress me
Just upset my mind
Can’t instruct me or conduct me
Just use up my time

I talk to the wind
My words are all carried away
I talk to the wind
The wind does not hear
The wind cannot hear

Catatan :









Album : In The Court of The Crimson King, 1969
Lyrics : Ian McDonald and Peter Sinfield
Guitar : Robert Fripp
Bass : Greg Lake
Woodwind, keyboards and mellotron : Ian McDonalds
Drums and percussion : Michael Giles
Words and illumination : Peter Sinfield

Labels:

Thursday, June 19, 2008

Tuhan Diingat Saat Adu Penalti









TUHAN DIINGAT SAAT ADU PENALTI

Apakah kita selalu ingat Tuhan setiap saat?
Mungkin ya, mungkin tidak

Adakah saat yang tepat untuk mengingat-Nya?
Tentu selalu ada saat untuk itu,
salah satunya ketika adu penalti harus dilakukan

Kini aku mengerti,
mengapa stadion-stadion, di barat,
selalu lebih penuh
dibandingkan rumah-rumah ibadah

Di stadion,
orang menemukan gairah karena ada harapan
ada pelampiasan walau kecewa
Setidaknya, orang bebas berekspresi
di sini, saat ini
: hangat dan meriah

Di rumah-rumah ibadah
orang lebih banyak menemukan khotbah
tentang kehidupan akhirat setelah mati
nanti
yang entah kapan tiba
: dingin dan beku

Dan di stadion
siapa pun yang hadir di sana
melihat ke atas
menangkupkan kedua telapak tangannya
atau membuat tanda salib di tubuh
: berdoa

Tuhan pun maha adil untuk semua
tanpa membeda-bedakan

Maka dari itu
dilemparkanlah ke tengah lapangan hijau
: koin keberuntungan

Sawangan, 2 Juli 2006

Urip Herdiman K.

Catatan :

Diinspirasikan dari adu penalti Inggris – Portugal dalam babak 8 besar Piala Dunia 2006. Inggris kalah adu penalti 1 – 3.
Diposting pertama kali pada milis BungaMatahari dan Meditasi Bali Usada, sehari kemudian.

Labels:

Wednesday, June 18, 2008

Siapa Menyanyikan We Are The Champions di Akhir Euro 2008?

SIAPA MENYANYIKAN WE ARE THE CHAMPIONS DI AKHIR EURO 2008?

Piala Eropa 2008 telah berjalan hampir dua minggu, terhitung sejak kick off Sabtu, 7 Juni 2008. Dua pertandingan setiap malam, pukul 23.00 WIB dan pukul 01.45 WIB dinihari, menjadi santapan wajib yang tidak boleh dilewatkan setiap penggila bola. Nama stasiun televisinya, maaf, tidak usah disebut, karena ini bukan iklan, dan Anda pun pasti sudah tahu. Kalau Anda tidak tahu, memangnya Anda hidup dimana?

Okelah, apa sih enaknya atau nikmatnya menonton bola?

Untuk saya, bola adalah permainan kuno yang bermetamorfosis menjadi permainan modern untuk menggantikan perang dan pertempuran. Sebelas pemain di satu tim, berhadapan dengan sebelas pemain tim lawan. Apa artinya saling berhadapan? Artinya harus dicarikan siapa tim yang terbaik. Tim pemenang, dan tim pecundang. Seri bukanlah pilihan yang pertama, tetapi hasil akhir yang tidak jelek juga. Tergantung situasinya.

Dengan sepakbola, manusia menyalurkan semangat agresivitasnya yang purba untuk mengalahkan, menaklukkan, menghancurkan atau membantai lawannya. Kalau satu tim menang 1 - 0, namanya mungkin mengalahkan. Kalau dengan skor 3 – 0, namanya menghancurkan. Tetapi kalau 5 – 0, mungkin ya pembantaian.

Setiap tim, apakah itu di level klub atau tim nasional, membangun skuadnya berdasarkan materi yang ada. Biasanya yang normal, adalah ditunjuk dahulu seorang pelatih (di Inggris disebutnya manajer) untuk membangun tim. Pelatih mempunyai filosofi sepakbolanya, dan menentukan skema permainan apa yang akan diterapkan. Baru setelah itu ia mencari pemain-pemain yang mendukung filosofi dan skema tersebut. Sederhanya demikian, tetapi dalam praktik, tidak sesederhana saya menulis. Berbagai kepentingan ikut beradu dalam pembentukan tim, apalagi di level tim nasional yang membawa nama negara.

“Hey, mana ngomong Euronya? Jangan ngomong filsafat bola seperti Sindhunata ah…”

Iya ya…ngapain juga bicara filosofi dan skema sepakbola. Nanti saja deh, kapan-kapan seperti lagunya Koes Plus. Langsung saja deh, kebetulan saya dan mungkin Anda juga sedang mabuk bola Euro 2008 ini. Nah, babak penyisihan grup sudah selesai. Juara dan runner up-nya pun sudah diketahui. Dari Grup A, muncul Portugal dan Turki. Dari Grup B lolos Kroasia dan Jerman. Dari Grup C, melaju Belanda dan Italia. Dan dari Grup D, Spanyol dan Rusia.

Di babak perempat final ini, yang memakai system sudden-death, Portugal bertemu Jerman, Kroasia bertemu Turki, Belanda bertemu Rusia, dan Spanyol bertemu Italia.

Saya pikir, berdasarkan pengalaman mengikuti (baca : membaca koran dan menonton televisi) turnamen-turnamen besar seperti Piala Dunia dan Piala Eropa, turnamen yang sesungguhnya dimulai di babak sudden death ini. Permainan normal 90 menit. Jika seri, ditambah perpanjangan waktu 30 menit. Jika masih seri juga, adu penalty. Adu penalti ini merupakan saat yang tepat bagi semua untuk mengingat Tuhan. Baik yang di tengah lapangan, di stadion, atau penonton lain di seluruh dunia.

Dengan sudden death ini, yang menang melaju terus, yang kalah so pasti tersingkir. Dengan demikian, kejutan sebagai bumbu penyedap turnamen, diharapkan akan terus terjadi, bahkan hingga babak final.

Jadi jangan heran dan terkejut jika misalnya nanti juaranya adalah tim seperti Italia yang nyaris terdepak di babak penyisihan grup. Boleh saja Portugal menari-nari samba dengan lincah, Spanyol berdansa dengan gitar flamenco, dan Belanda bergerak terus dengan total fottball-nya. Tetapi itulah, kejutan selalu siap hadir. Tim yang bermain cantik dan indah, disukai penonton, dipuji habis oleh para pengamat dan kritisi, tidak selalu berakhir dengan mahkota juara. Sementara tim yang melaju dengan tersendat-sendat, compang-camping karena didera berbagai cedera pemain dan persoalan non-teknis seperti Italia, eh, tahu-tahu malah masuk final dan juara. Siapa yang tahu?

Coba saja kita ingat Belanda 1974 (Piala Dunia), Brazil 1982 (Piala Dunia), Prancis 1986 (Piala Dunia). Mereka hanyalah juara tanpa mahkota, juara di hati para pencinta sepakbola. Ingat juga dengan Denmark 1992 (Piala Eropa), tim yang datang menggantikan Yugoslavia karena skorsing UEFA. Para pemain Denmark sudah berjemur di pantai menikmati liburan musim panas, ketika dipanggil untuk memperkuat tim nasional Denmark. Mereka pikir,”Okelah, ini mungkin liburan musim panas yang berbeda dari yang biasanya.” Dan mereka tidak salah, mereka bermain dengan gembira, dan tertawa paling akhir karena mereka juara.

Oh, ya, tentu saja saya juga berharap tim saya selain bermain cantik dan indah, menggiurkan, juga bisa melaju terus sampai final dan juara. Siapa sih? Inggris tidak ada, jadi ya, Belanda donk. Ik houd van Nederlands Elftal.

Untuk menjadi juara, tentunya perlu tim yang solid, mental juara dan keberuntungan. Bermain cantik tetapi tanpa mental juara, percuma. Mental juara tanpa keberuntungan, percuma juga. Lalu kemana arahnya Dewi Fortuna akan hinggap? Tidak ada yang tahu. Tunggu saja Tuhan melempar koin keberuntungannya.

Soal keberuntungan, saya selalu ingat dengan Ron Atkinson, manajer Manchester United sebelum Alex Ferguson. Ia menyatakan bahwa ada banyak manajer yang hebat dan brilian, tetapi hanya ada satu manajer yang beruntung. Yaitu manajer yang mengangkat piala di akhir dari kompetisi atau turnamen.

Manajer ini dan timnyalah yang akan menyanyikan We Are The Champions milik Queen.






“I’ve paid my dues/Time after time/I’ve done my sentence/But committed no crime/And bad mistakes/I’ve made a few/I’ve had my share of sand kicked in my face/But I’ve come through…”

“Hahaha… Itu sih lo takut mau bilang Belanda pasti juara. Makanya lo bilang tim yang beruntung. Hahaha…!”

“Hahaha… So, enjoy the game.”

“We are the champions, my friends/And we’ll keep on fighting till the end/We are the champions/We are the champions/No time for losers/’Cause we are the champions of the world…” *** (17 – 19 Juni 2008, Urip Herdiman K.)

Labels:

Tuesday, June 17, 2008

Platonist Kesandung Cinta










PLATONIST KESANDUNG CINTA

Ia selalu mengembara dari hati ke hati
hingga suatu waktu tersandung
yang membuatnya lebih berhati-hati

Sawangan, 12 November 2007

Urip Herdiman K.

Labels:

Sunday, June 15, 2008

Menguasai Pikiran


MENGUASAI PIKIRAN

Acarya Yuan berkata pada Wuzu:

Pikiran adalah tuan dari jasmani, berjuta aktivitas; jika pikiran tidak dicerahkan dengan sempurna maka noda batin akan muncul dengan sendirinya.

Apabila noda telah muncul, pengertian terhadap kebenaran tidak lagi jelas. Tatkala pengertian terhadap kebenaran tidak lagi jelas, benar dan salah menjadi kabur.

Karenanya, di dalam mengendalikan pikiran, seseorang mesti mencari pencerahan sempurna.

Tatkala cerah, semangat menjadi harmonis, nafas menjadi tenang, raut wajah menjadi agung, dan tubuh kokoh. Pandangan yang salah dan pemikiran yang emosional semua mencair di dalam pikiran sejati. Jika engkau mengatur pikiran dengan cara ini, pikiran akan dengan sendirinya bersih bercahaya terang.

Setelah ini, jika engkau membimbing orang yang tersesat dan bingung, siapa yang tidak akan mengikuti ajaran?

(Catatan Sejati Fushan)

Catatan :
Dipetik dari “Dua Angin : Seni Kepemimpinan Zen”, Jilid 1. Oleh : Thomas Clearly. Penerjemah : Swarnasanti. Yayasan Penerbit Karaniya, Bandung, 1996, halaman 23. ***

Labels:

Thursday, June 12, 2008

Di Bontang, Tuhan Berbicara Padaku

DI BONTANG, TUHAN BERBICARA PADAKU

Di saat aku masih menatap matahari
mencari arah menghadap kiblat
Kau berbicara padaku,
lewat angin yang berbisik
”Di mana pun tempat di muka Bumi, adalah milik-Ku.
Ke arah mana pun kau menghadap, Aku pasti ada di sana.”

Bontang - Jakarta 13 Mei – 13 Juni 2008

Urip Herdiman K.

Labels:

Desde La Vida

DESDE LA VIDA
(3)

A) La Vista

Fortunes drifting across the sierra…
Life, survived in visions of gold…
Spanish galleons of old upon El Man
Dance of a distant land from afar…
Con la vista desde la vida…

b) Frontera

(This movement is entirely instrumental.)

c) Sangre de Toro

Time to awaken daybreak begun
Feeling so strong here in the sun
The work has to be done, will be done
One thing that is believed we’ll be one
But is there more desde la vida

Sangre de toro, drinking the wine
Beneath la montan the shadows of time
Work now is done, has been done
Struggle that still goes on will be won
Knowing there’s more desde la vida

(Instrumental break)

Again we awaken there in the face of the sun
El tiempo es Buena, the time is good
A new day is born into our hands
Together we fall, together we stand
Hoping there’s more desde la vida

(Same movement as ‘Frontera)

Catatan :









Album : To The Power of Three, 1987
Keith Emerson : keyboards and synthesizers
Robert Berry : guitars and bass
Carl Palmer : drums and percussion

Labels:

Wednesday, June 11, 2008

Dongeng Versi Infotainment

DONGENG VERSI INFOTAINMENT

Dahulu kala ketika saya masih sekolah di sekolah dasar, sekitar 30 tahun yang lalu, saya suka membaca majalah-majalah anak (atau majalah anak-anak?). Sebut saja Bobo, Si Kuncung dan Kawanku. Atau juga komik-komik cerita Hans Christian Andersen. Tentu saja yang saya cari adalah cerita atau dongeng tentang kisah kasih puteri cantik dan pangeran tampan.

Mereka dipertemukan dalam berbagai cerita dan kesempatan, tentu dengan latar belakang kerajaan antah berantah. Saling jatuh cinta. Tetapi biasanya tidak semulus yang mereka perkirakan. Selalu ada yang menghalangi cinta mereka, mungkin saja perdana menteri, nenek sihir, atau ibu tiri, dan lain-lain.

Setelah melalui berbagai kesulitan, akhirnya mereka pun bisa bersatu, menikah dan hidup berbahagia untuk selama-lamanya. Hiks…!

Sekarang tentu saja saya tidak punya banyak waktu lagi untuk mencari majalah anak atau komik cerita seperti itu. Memang pernah saya lihat di beberapa stasiun televisi, ada cerita-cerita animasi tentang putri cantik, pangeran tampan dan kastil-kastil yang eksotis. Hmmm…mungkin kita akan ingat dengan kastil-kastil abad pertengahan di Eropa.

Tetapi apakah saya, dan juga Anda, tidak lagi melihat putri cantik dan pangeran tampan itu? Ah, jangan khawatir. Kita masih bisa melihat mereka setiap hari. Mungkin sore atau malam. Negeri-negeri kerajaan lengkap dengan kastilnya itu sudah berganti menjadi sinetron dan rumah-rumah mewah tempat cerita berlangsung. Putri dan pangerannya? Ya, itu para pemerannya yang masih muda, cantiuk, tampan dan kinyis-kinyis. Ada juga yang penyanyi atau anak band. Selebritislah. Semua cantik dan manis untuk yang cewek, dan semua tampan dan ganteng untuk yang cowok.

Anehnya, kok wajah mereka mirip dan serupa semua ya? Hahaha… Coba kalau kita lihat bintang-bintang film dulu banget, misalnya dari era 1970-an atau 1980-an, kita bisa bedakan mana Roy Marten, mana Rudy Salam, mana Cok Simbara, mana Rano Karno. Mana Yenny Rachman, mana Lidya Kandou, mana pula Yessy Gusman. Wajah mereka punya karakter, demikian pula vokalnya. Wajah bintang-bintang sekarang, saya lihat sama, serupa dan seragam. Entah siapa yang harus dipersalahkan kok ada generasi yang wajahnya mirip satu sama lain. Untungnya bagus. Lha, kalau jelek? Hehehe…

Soal jalannya cerita, saya agak bingung. Kalau hari Sabtu dan Minggu saya tidak bepergian, saya coba mengintip sinetron-sinetron yang ada di televisi. Terus terang agak sulit mengikuti cerita sinetron-sinetron itu. Logikanya kemana ya? Nah, mungkin lebih baik kita cerita di luar skenarionya saja.

Para putri dan pangeran sinetron ini, jelas cantik dan tampan. Sehingga mereka pun jatuh cinta satu sama lain. Seperti kisah-kisah dongeng, setelah melalui berbagai kesulitan dan halangan, mereka akhirnya menikah juga. Apakah lalu mereka berbahagia selamanya? Ups…nanti dulu.

Ini bukan lagi zamannya kastil-kastil kerajaan yang tertutup rapat. Para putri dan para pangeran itu kerap berpindah kerajaan atau sinetron. Ketemu lagi dengan lawan main yang tak kalah cantik dan tak kalah tampan. Jadi ceritanya sudah bisa ditebak. Hati mereka pun bercabang-cabang di setiap lokasi. Cinlok, kata orang film.

Hari Minggu kemarin, tanggal 8 Juni 2008, dua selebritis menikah, Cynthia Lamusu dan Surya Saputra. Tentu masyarakat mengharapkan pernikahan mereka awet dan bahagia sampai kakek ninen, seperti Widyawati dan Sophan Sophiaan. Tetapi kalau pun kemudian pecah, tidak apalah. Yang penting mereka sudah mencobanya.

Dunia selebriti mereka memang begitu banyak godaannya. Dapat istri cantik, sungguh repot. Repot biaya pemeliharaannya. Dapat suami tampan atau ganteng, juga repot. Repot biaya pengawasannya. *** (9 – 11 Juni 2008, Urip Herdiman K.)

Labels:

Sunday, June 08, 2008

Kilang LNG dan Maximum Security

KILANG LNG DAN MAXIMUM SECURITY

Ini bukan tentang judul sebuah film laga yang dibintangi Jean Claude van Damme. Cerita ini masih tentang kunjungan ke Bontang awal bulan Mei 2008 lalu, tepatnya Kilang LNG PT Badak NGL (Natural Gas Liquefaction). Kilang LNG (liquefied natural gases) ini terletak di Kota Bontang, dan dibangun pertama kali pada tahun 1973. Bontang dan Arun di Aceh menjadi tonggak sejarah gas alam di Indonesia, yang sekaligus mengukuhkan Indonesia sebagai eksportir gas alam terbesar di dunia.

Saya beberapa kali sempat masuk kilang, diantaranya kilang di Balongan, daerah Indramayu. Namun yang saya alami di Bontang, sangat berbeda dengan masuk kilang BBM yang biasa.

Jika kita masuk ke kilang, maka semuanya harus diperiksa dan ditinggal di pos penjagaan. Handphone, barang-barang elektronik dan mancis yang bisa menyebabkan percikan api, biarpun kecil, tidak boleh masuk. Kamera foto boleh masuk, tetapi tidak boleh menggunakan lampu blitz. Karena percikan api ini bisa menyebabkan kebakaran besar.

Di luar kompleks kilang pun, kita harus hati-hati. Dimana-mana selalu ada tanda peringatan yang berkaitan dengan safety, health and environment (SHE). Di kompleks kilang BBM, seingat saya untuk masuk hanya melalui satu lapis pagar pengamanan saja. Tetapi di kilang LNG, beda. Ada tiga lapis pagar pengaman, yang untuk masuk dan keluar mempergunakan system sensor elektronik.

Jarak pintu pertama dengan pintu kedua, dan kemudian ketiga, masing-masing tidak lebih dari 100 meter. Saya pikir hanya ada sekali pemeriksaan. Ternyata tidak. Jadi ketika kami datang dengan naik mobil dengan isi enam orang, termasuk sopir, maka tak terhindarkan lagi, kami harus naik turun mobil berulangkali, kecuali sopir. Naik, turun, naik lagi, jalan, turun lagi, naik lagi, jalan lagi, turun lagi, naik lagi dan jalan lagi. Yang tetap di dalam mobil hanya sopir. Benar-benar melelahkan dan berkeringat, apalagi mengingat udara di sekitar kilang, umumnya panas dan kering.

Kalau saya dan teman-teman dari Jakarta, yang datang hanya sekali, mungkin tidak masalah walaupun terkejut. Tetapi mereka, para pekerja yang setiap hari bertugas di dalam kilang, mau tidak mau harus mengikuti aturan seperti itu. Setiap hari, pagi dan sore, atau sore dan malam. Atau kapan pun mereka mau masuk dan mau keluar.

Pengalaman di kilang ini mengingatkan saya dengan kontroversi tentang apakah perlu Indonesia memiliki pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN). Dalam salah satu wawancara dengan pakar pembangkit listrik dari UI yang tidak menyetujui PLTN, disinggung bahwa kelemahan bangsa kita adalah tidak punya disiplin yang kuat untuk patuh pada aturan.

Tetapi dengan melihat apa yang ada di kilang LNG Badak di Bontang, pikiran saya agak berubah, walau saya masih belum setuju dengan PLTN. Saya yakin, bangsa kita juga bisa mempunyai disiplin kuat dan patuh pada aturan yang ketat, seperti yang diterapkan di tempat-tempat khusus. Sebagai perbandingan, insiden kebakaran di kilang LNG bisa menyebabkan ledakan yang besar, mendekati ledakan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki. Namun untungnya, hal itu belum pernah terjadi di Indonesia ini maupun di dunia.

Dan jangan lupa, Statoil dari Norwegia, Qatar, dan Yaman, mengirimkan para teknisinya ke kilang LNG Badak di Bontang untuk belajar mengoperasikan kilang-kilang LNG mereka.

Artinya, kita jangan meremehkan kemampuan bangsa kita sendiri. Kita bisa…! Ah, kok jadinya saya pinjam kata-kata orang lain ya… Entah kata-kata iklan minuman energi atau Presiden yang ngomong begitu duluan. Hahaha… *** (29 Mei - 9 Juni 2008, Urip Herdiman K.)

Labels:

Thursday, June 05, 2008

Narnia

NARNIA
(Steve Hackett)










Things they taught you at school
Can sometimes disappear
Why do you disbelieve
The things I said were true
Of a land nothing planned
It’s just happens
Girls and boys who shout come out to play

With a queen cold as ice
You’d best take my advice
To steer clear of her charm
She’s easily annoyed
What’s that sound, you turn around
There just happen to be bells
And reindeers drawing a sleigh

There troubled with snow covered peaks
Till the end of time
We know you’re a daughter of eve
And a friend of mine

Yes I’m certain that you
Will influence the rest
She could turn you to stone
You’re suitably impressed
And so easily led
There just happen to be repercussions
Months ahead

Catatan :









Based on the childrens's book - "The Lion The Witch & The Wardrobe" by CS Lewis
Album : Please Don’t Touch, 1978
Vocals : Steve Walsh and Steve Hackett
Electronic and acoustic guitar : Steve Hackett
Keyboards : Dave Lebolt, John Acock, Steve Hackett, John Hackett
Drums and Percussion: Chester Thompson, Phil Ehart
Flutes, Piccolos, Bass pedals : John Hackett
Bass : Tom Fowler
Violin : Graham Smith
Cello : Hugh Malloy

Labels:

Wednesday, June 04, 2008

Ketika Negara Lemah dan Pemerintah Tidur

KETIKA NEGARA LEMAH DAN PEMERINTAH TIDUR

: Catatan Kecil dari Perisitiwa Monas, 1 Juni 2008

Ketika negara menjadi lemah dan pemerintah tertidur, yang ada mungkin bisa disebut sebagai mimpi buruk. Semua tiba-tiba muncul entah darimana, berteriak-teriak keras dan kasar, menteror pihak lain yang tidak sependapat atau berseberangan, bahkan menyerbu dengan brutal.

Setelah suatu peristiwa besar yang menarik perhatian publik sedemikian luas, kita memang selalu suka dengan berbagai ragam teori, seperti teori pengalihan isu, teori penyusupan, teori operasi intelijen, teori konspirasi dan yang paling akhir, teori kambing hitam. Tokh, yang menjadi korban adalah anak-anak bangsa juga, yang juga seiman.

Saya sendiri suka dengan teori konspirasi atau teori Wild Wild West, meminjam judul film seri koboi tahun 1970-an yang dibintangi Robert Conrad sebagai Jim West., dengan latar belakang Amerika pasca perang saudara.

Ada jenderal-jenderal yang tidak punya jabatan dan pasukan. Ada orang-orang kaya yang duitnya berlimpah dan butuh mainan baru setiap saat. Ada petualang-petualang psikopat yang hilir mudik menjual ide-ide politiknya untuk direalisasiskan dengan instant, segera dan secepat mungkin. Dan di bawah itu adalah para cecunguk, cecurut, tikus dan kecoa yang sebenarnya sibuk memikirkan perut mereka.

Negara menjadi lemah dan pemerintah tidur, karena kita tidak pernah tegas bagaimana seharusnya sistem politik kita. UUD 1945 bilang sistem presidensial, tetapi prakteknya, kita lebih mengarah ke sistem parlementer. Dengan sistem presidensial, seharusnya kita konsisten setelah memilih seorang presiden, berilah dia kesempatan menyelesaikan tugasnya yang lima tahun itu.

Tetapi prakteknya, para politisi kita dan partai-partai politik selalu berpikir pendek selangkah demi selangkah, dan hanya mau cari aman atau selamat saja. Akibatnya mereka selalu berpikir untuk menjatuhkan pemerintahan yang ada. Ini ‘kan jelas parlementer seperti Indonesia era tahun 1950-an. Kabinet jatuh bangun. Ada yang bertahan enam bulan, tetapi ada yang tidak sampai sebulan. Capek deh...!

Iklim demokrasi kita sekarang, jelas lebih maju dari ketika Indonesia dibawah Orde Baru. Tetapi perilaku mereka, para politisi, tidak berubah banyak dengan politisi tahun 1950-an yang hanya mencari kesempatan untuk mendapatkan kursi di kabinet dan parlemen. Sesuatu yang dikhawatirkan banyak pihak, diantaranya pemikir seperti Fachry Ali yang pernah saya wawancarai. Politik dagang sapi, katanya.

Perilaku politisi kita, dan juga aktivis-aktivis yang ada, mereka lebih senang menjadi raja biarpun di kandang kecil, daripada menjadi warga di kandang besar. Lihat saja partai politik beranak pinak tak terhitung lagi, setiap kali menjelang pemilihan umum. Dan kebanyakan dari mereka adalah bajing loncat atau kutu loncat yang selalu berganti jaket lima tahun sekali.

Arbi Sanit, pengamat politik dari UI, dengan jelas menyebut bahwa partai-partai politik punya peran besar dalam kerusakan sistem politik kita. Partai politik merupakan institusi yang tdaik tersentuh reformasi sekalipun.

Saya pikir Arbi benar juga. Partai politik tidak punya rekrutmen yang jelas dan transparan, tidak ada pendidikan politik, dan hanya menjadi kendaraan untuk siapa saja yang punya uang.

Kerusakan bertambah lagi dengan munculnya organisasi-organisasi sayap kepemudaan, atau apapun yang mengarah ke paramiliter. Akibatnya, setiap ada perbedaan dan konflik, selalu ada gerakan untuk mengerahkan massa dalam jumlah besar. Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono dalam beberapa kesempatan selalu menyatakan bahwa organisasi laskar tidak diperlukan di alam demokrasi seperti sekarang ini.

Tentu saja catatan kecil ini mungkin tidak cukup untuk menjelaskan persoalan bangsa dan negara yang kompleks. Iya, neeh, capek juga memikirkan negara dan bangsa ini. Padahal dalam pemilu-pemilu di era reformasi, saya selalu golput lho… Hahaha…hiks! *** (5 Juni 2008, Urip Herdiman K.)

Labels: